Menguji Dugaan Suap di KPK
Pertemuan jajaran kejaksaan dengan kepolisian beberapa waktu lalu membahas satu masalah yang sangat serius, yakni dugaan suap di KPK. Lengkapnya, salah seorang pimpinan KPK diduga menerima suap dari PT Masaro senilai lebih dari Rp 6 miliar. Tujuannya tak lain adalah untuk menghentikan perkara dugaan korupsi yang melibatkan Anggoro, direktur PT Masaro, dalam proyek alat komunikasi (alkom) di Departemen Kehutanan (Dephut).
Kasus dugaan korupsi PT Masaro merupakan pengembangan dari kasus penyuapan dalam proyek alih fungsi hutan lindung di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang melibatkan Yusuf Emir Faisal cs sebagai anggota DPR dari komisi IV. Dari pengakuan yang diterima KPK, dana yang mengalir ke Komisi IV DPR ternyata bukan hanya untuk proyek alih fungsi hutan lindung, melainkan juga dari PT Masaro.
Berdasar informasi itulah, KPK lantas menggeledah Dephut yang di kemudian hari banyak ditemukan data yang mendukung dugaan adanya korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi di Dephut. PT Masaro merupakan rekanan Dephut yang sejak 1990-an menyuplai alkom.
Entah bagaimana prosesnya, melalui tender atau tidak, yang pasti PT Masaro kerap mendapatkan proyek untuk menyediakan kebutuhan alkom bagi Dephut. Sudah tentu, kasus PT Masaro yang kini ditangani KPK akan menyeret pejabat di Dephut, mengingat proyek alkom berlangsung sejak lama.
Mempertanyakan Motif
Kembali ke topik bahasan, dugaan suap di KPK ini informasinya dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar (AA). Menurut versi kepolisian, berdasar pemeriksaan terhadap laptop AA, ditemukan berbagai informasi serta petunjuk mengenai indikasi penyuapan yang diduga dilakukan Anggoro, direktur PT Masaro, terhadap salah seorang pimpinan KPK. Disebut-sebut, pimpinan KPK itu adalah Muhammad Jasin.
Senada dengan informasi lain yang berkaitan dengan dugaan penyadapan ilegal oleh pimpinan KPK Chandra M. Hamzah yang kasusnya juga masih diperiksa kepolisian, sumber informasi atas kedua hal tersebut bisa jadi berasal dari orang yang sama, yakni AA.
Mengingat kronologi kejadian antara indikasi penyadapan ilegal dengan dugaan penyuapan berlangsung secara simultan, motif pengungkapan kasus-kasus tersebut menjadi patut dipertanyakan. Benarkah AA tidak ingin dirinya sendiri yang diseret dalam sebuah kasus, sehingga perlu ''mengajak'' pimpinan KPK yang lain?
Terkesan, pengungkapan dua kasus, yakni indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan, sangat intens dilakukan kepolisian dengan berkoordinasi dengan kejaksaan tatkala KPK tengah gencar-gencarnya mengungkap berbagai kasus korupsi. Salah satu yang sebelumnya ditunggu publik luas adalah kasus dugaan penyuapan dalam pemilihan Miranda Goeltom.
Oleh KPK pasca ditinggal AA, status kasus tersebut ditingkatkan ke penyidikan. Karena yang mungkin terlibat dalam kasus Miranda Goeltom adalah elite politik di Senayan, pejabat BI, serta pihak-pihak tertentu yang sangat mungkin mendanai penyuapan tersebut, sangat mungkin proses hukum terhadap indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan oleh salah seorang pimpinan KPK merupakan sebuah proses hukum yang sudah tidak steril. Kepentingannya sangat jelas. Yakni, ingin menghentikan proses hukum kasus korupsi oleh KPK.
Benarkah Ada Suap?
Mengingat indikasi suap di KPK masih dalam tingkat penyelidikan oleh kepolisian, tentu bukan pada tempatnya menyimpulkan bahwa suap itu merupakan kasus yang direkayasa. Tanpa bermaksud mencampuri proses hukum oleh kepolisian atas indikasi suap di KPK, penulis ingin mengungkapkan beberapa hal mendasar yang bisa mengungkap lebih jauh benar atau tidaknya suap tersebut.
Pertama, biasanya motif penyuapan dalam proses hukum dilakukan untuk menghentikan sebuah kasus yang sedang ditangani aparat penegak hukum. Istilah mafia peradilan merupakan hal yang tepat untuk menggambarkan praktik penyuapan dalam proses peradilan. Dengan berbagai cara, pihak yang sedang diproses hukum memiliki kepentingan untuk menghentikan kasusnya. Entah berujung pada SP3 atau penghentian penyelidikan. Demikian logikanya.
Masalahnya, dalam kaitan dengan kasus pengadaan alkom oleh PT Masaro, KPK bahkan meningkatkan status hukumnya ke tingkat penyidikan. Anggoro yang disebut-sebut merupakan pihak yang mengemukakan adanya suap tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan karena menyembunyikan diri, KPK telah menetapkan status buron terhadap diri Anggoro.
Dengan penetapan status hukum ke penyidikan dan penetapan status tersangka atas diri Anggoro oleh KPK, dugaan penyuapan terhadap salah seorang pimpinan KPK menjadi sulit dipercayai. Meski dapat diasumsikan bahwa penyuapan itu telah terjadi, pihak yang disuap tidak sanggup membendung keputusan di KPK. Tapi, hal itu juga perlu didukung oleh data dan fakta hukum yang memadai.
Pada aspek yang terakhir ini, kasus penyuapan di KPK menjadi sangat sumir. Data yang diperoleh ICW menunjukkan bahwa sumber informasi atas indikasi penyuapan berasal dari Anggoro. Namun, Anggoro tentu tidak bisa dijadikan saksi karena dua hal. Pertama, yang menyebutkan adanya suap tersebut hanya Anggoro seorang. Dalam logika hukum pidana, satu orang tidak bisa disebut sebagai saksi.
Kedua, adanya penyuapan yang diakui atau dikatakan oleh Anggoro ternyata tidak bersumber dari Anggoro sendiri. Maksudnya, Anggoro bukanlah pihak langsung yang menyuap orang KPK. Dia mendapatkan informasi adanya penyuapan itu dari pihak ketiga.
Tentu saja, jika informasi mengenai adanya penyuapan tersebut berasal dari pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, kita dapat mengembangkan beberapa spekulasi. Bisa jadi, Anggoro telah ditipu oleh pihak-pihak tertentu yang selama ini terkesan ingin membantu dia menyelesaikan kasus dengan berperan sebagai penghubung ke pihak KPK.
Padahal, sangat mungkin uang yang sudah diberikan Anggoro untuk menyuap tidak pernah disampaikan ke pihak yang berkepentingan. Atau, ada pihak-pihak tertentu yang mengaku sebagai orang KPK dan memanfaatkan situasi kepanikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dari penjelasan tersebut, kasus suap di KPK masih sulit diyakini kebenarannya. (*)
Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Agustus 2009