Mengubah Paradoks Politik

Sampai saat ini tercatat lebih dari 300 Kepala Daerah menjadi tersangka, terpidana atau terdakwa kasus korupsi. Juga ada banyak anggota DPR dan DPRD yang kini harus mendekam di penjara karena terbukti melakukan korupsi. Fakta di atas menunjukkan tingginya tingkat korupsi politik di Indonesia.

Dalam banyak hal, pendapat dan keinginan publik justru berseberangan dengan pendapat anggota DPR. Akal sehat dan keadaban publik tidak banyak mendapat dukungan dari para politisi. Justru pembelaan atas kepentingan pribadi yang mengemuka dari parlemen. Salah satu contohnya soal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak bisa ditutup-tutupi bahwa keinginan anggota DPR, terutama dari Komisi III adalah mengurangi kewenangan KPK, kalau tidak bisa membubarkan KPK. Sebaliknya, publik justru memberikan dukungan kuat kepada KPK karena lembaga independen ini mampu menangkap sejumlah koruptor kakap. Dalam hal pelanggaran HAM, banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu justru berhenti pengusutannya karena tidak adanya dukungan politik dari para politisi kepada para penegak hukum. Bahkan ada kecenderungan, para politisi justru tutup mata, kalau tak hendak disebut malah membela pelanggar HAM.

Perbedaan arah kebijakan antara parlemen dengan keinginan publik serta perilaku korup para politisi membuat kepercayaan publik terhadap politik semakin tergerus. Banyak pihak skeptis terhadap politik dan parlemen. Bahkan muncul gerakan yang menganjurkan tidak memilih atau Golput. Meskipun tidak diorganisir, Golput semakin meningkat dalam sejumlah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Partisipasi yang rendah di dalam politik berjalan seiring dengan menurunnya kepercayaan terhadap politik dan politisi.

Menurunnya kepercayaan terhadap politik sesungguhnya merupakan tanda bahaya bagi demokrasi. Terutama karena demokrasi menempatkan lembaga politik dan politisi di posisi yang penting dan terhormat. Kepada para politisi, kehidupan seluruh rakyat dipercayakan. Melalui politisi, rakyat turut menentukan arah perjalanan bangsa. Oleh politisi, negara diarahkan untuk melindungi kepentingan seluruh rakyat.

Politik pada hari ini adalah paradoks. Ia diharapkan menyelesaikan hampir sebagian persoalan yang dihadapi rakyat. Pada saat yang sama, ia juga dibenci. Paradoks ini muncul karena besarnya harapan publik ternyata tidak mampu direalisasikan oleh para politisi. Barangkali publik bisa menerima bila ketidakmampuan itu benar-benar karena besarnya persoalan. Tetapi akal sehat publik tidak bisa dibohongi karena ketidakmampuan itu terjadi karena memang para politisi tidak mau menyelesaikan.

Untuk mengubah paradoks, maka politik harus diubah. Proses rekrutmen politik harus dicermati dengan baik agar yang terpilih sebagai anggota parlemen bukan para politisi busuk yang melakukan korupsi, membela pelanggar HAM dan perusak lingkungan, juga bukan mereka yang tidak membela hak-hak perempuan. Politik harus diisi oleh orang-orang berintegritas yang mau bekerja keras. Karena itu, tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak yang baik, memiliki integritas tinggi dan mau mendengar kepentingan publik harus didukung. Agar politik menjadi harapan, bukan sumber kebencian, maka lembaga politik harus diisi oleh orang-orang yang mampu merealisasikan harapan itu.

Oleh J. Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan