Menguak Prahara Korupsi KPU
Korupsi di negeri ini telah kian menggurita, bagaikan jamur yang tumbuh subur di musim penghujan. Oleh karena itu, kasus dugaan korupsi terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W Kusumah beserta koleganya perlu diusut tuntas sehingga kebenaran dapat ditampilkan apa adanya. Dan yang paling penting adalah bagaimana setiap orang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik secara individual maupun secara institusional.
Penangkapan dan penahanan Mulyana W Kusumah di Hotel Ibis, Jumat (8/4), atas dugaan penyuapan terhadap tim investigasi auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut pengadaan logistik Pemilu 2004, kini telah menjadi opini publik dan menyita perhatian masyarakat secara luas.
Persoalannya adalah dugaan korupsi itu kini telah menjadi semacam bola liar yang terasa sulit untuk dikendalikan. Dan yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya politisasi karena ketidakjelasan persepsi mengenai kasus dugaan korupsi tersebut. Jika demikian yang terjadi, jelas misi suci untuk memberantas korupsi akan menjadi sangat absurd dan absurd. Mulyana W Kusumah mengaku dirinya diperas dan dijebak.
Setelah dugaan korupsi sesuai dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selesai dan diserahkan ke DPR, kontroversi pun tidak dapat dihindari. Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa untuk mengungkap kasus ini penting dibentuk sebuah panitia khusus (pansus), sedangkan sebagian yang lain berpendapat tidak perlu. Adalah Ketua Komisi III DPR Teras Narang menyatakan ketidaksetujuannya dibentuk pansus itu.
Menurutnya, DPR tidak perlu melakukan pengkajian lagi terhadap laporan BPK itu, dan laporan BPK itu mestinya langsung diteruskan ke aparat hukum, yakni kejaksaan dan kepolisian karena materi yang disampaikan ke DPR itu merupakan hasil audit investigasi yang sudah dilakukan secara komprehensif. Untuk itu, tidak perlu dibentuk pansus (Media Indonesia, 2/5/2005).
Dari pernyataan Teras Narang yang menolak tegas pembentukan pansus dan diperiksanya kembali laporan hasil audit BPK itu telah menggerakkan penulis untuk menuangkan gagasan ini dengan sebuah pertanyaan besar, ada apa dibalik cerita korupsi di KPU itu? Tegasnya, kenapa Komisi III DPR yang diwakili Teras Narang menolak usulan itu? Adakah kemungkinan anggota Dewan atau pejabat negara lainnya yang terlibat atau paling tidak ada terselubung kepentingan politik tertentu di balik prahara dugaan korupsi itu? Semua kemungkinan bisa saja terjadi.
Namun demikian, kami dari Komisi II DPR, seperti sering kali ditegaskan Pimpinan Komisi Ferry Mursyidan Baldan, tetap pada pendirian bahwa DPR berdasarkan permintaan Komisi II DPR periode 1999-2004 dalam dengar pendapat dengan KPU dan Panwaslu 2 Mei 2002 berkewajiban untuk mengkaji laporan investigasi BPK secara proporsional dengan menyertakan klarifikasi dari KPU. Hal ini penting dilakukan.
Pertama, perlu ditegaskan bahwa para anggota BPK itu diangkat berdasarkan hasil seleksi DPR. Oleh karena itu, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan sebagai representasi masyarakat, bangsa, dan negara. Kedua, bukan sekadar itu, BPK bukanlah lembaga absolut. Di dalamnya terdapat manusia-manusia yang secara teoretis memiliki potensi besar untuk melakukan berbagai kesalahan. Oleh karena itu, kebenaran yang mereka temukan menjadi sangat nisbi. Di sinilah letak pentingnya pemeriksaan kembali itu.
Seperti juga ditegaskan anggota Panitia Anggaran DPR Emir Moeis bahwa divisi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam laporan BPK harus ditelaah lebih lanjut karena bisa jadi penyimpangan yang ditemukan adalah kesalahan administratif, bukan tindak pidana. Untuk itu pun kita bertanya: benarkah Mulyana itu korupsi? Tidakkah terselubung kepentingan lain di dalamnya?
Memang, pesimisme banyak kalangan masyarakat tidak bisa kita nafikan. Banyak orang sangat trauma dengan perilaku para anggota Dewan atau pejabat negara selama ini. Dalam sejarah pembentukan panitia khusus (pansus) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini selalu menghilang ditelan hiruk pikuknya wacana politik lain yang terus bergulir ke arena publik.
Tentu saja pansus adalah baik daripada tidak sama sekali. Yang terpenting, jangan ada politisasi karena pansus membutuhkan anggaran, yang kalau diukur dengan kondisi kehidupan berbangsa yang sangat miskin kini, sangat besar. Jangan pernah dahulukan kepentingan pribadi dengan semata mengharap keuntungan bersifat finansial, sementara masyarakat kita pada umumnya menderita kelaparan dan seterusnya.
Rencana DPR membentuk pansus KPU itu sebenarnya kalau kita kaji dengan akal sehat juga mengandung sisi yang sangat positif, di antaranya (seperti telah disebutkan) dapat berfungsi sebagai mediasi untuk mempertemukan kedua belah pihak antara BPK di satu sisi dan KPU pada sisi yang lain. Adapun KPK adalah sisi lain pula versus Mulyana W Kusumah secara pribadi.
Ada pepatah, jangan pernah kita menggunakan sapu lidi kotor untuk membersihkan lantai yang bersih sehingga hasilnya pun tidak bersih. Inilah pentingnya pansus itu, yakni untuk mengurangi beban sapu lidi yang kotor dan sebagai check and richeck karena tidak ada umat manusia di dunia ini yang bersih nan suci. Meskipun mungkin hasilnya tidak bisa bersih secara total, tetapi semua persoalan bisa clear sehingga masyarakat dapat mengetahui secara pasti duduk persoalan yang sebenarnya.
Namun demikian, pertama, secara prinsipiil, yang mesti kita lakukan adalah mendorong upaya terciptanya birokrasi pemerintahan yang bersih dan transparan (good governance). Kedua, kita berupaya agar setiap manusia-