Mengontrol Bantuan untuk Aceh

Sejak terjadi musibah gempa tsunami pada 26 Desember 2004, Aceh kebanjiran aneka ragam bantuan dari berbagai kalangan. Bantuan tersebut tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari pihak luar negeri. Sebagaimana diberitakan koran ini, bantuan yang dikirim ke Negeri Serambi Makkah tersebut, antara lain, berupa kebutuhan sandang, pangan, dan papan, bahkan sukarelawan dari luar negeri (koran ini 07/01/04).

Hingga hari ini, bantuan bagi korban bencana Aceh, Sumatera Utara, dan negeri lain yang terkena musibah memang terus dibutuhkan. Sebab, jumlah korban begitu banyak. Sebagaimana kita ketahui, menurut laporan Departemen Sosial (Depsos), jumlah korban musibah tsunami saat ini menembus angka seratus ribu. Tepatnya, total korban meninggal dunia 101.318 orang. Data yang dirilis Departemen Sosial (Depsos) itu naik signifikan jika dibandingkan dengan data sebelumnya, 94.200 korban meninggal dunia.

Jelas terjadi peningkatan jumlah korban tewas hingga 7.118 orang. Itu diketahui setelah ditemukan beberapa mayat di sejumlah lokasi yang sebelumnya tidak terjangkau. Misalnya, sejumlah kawasan di Meulaboh dan Aceh Barat (Alongan, Samatiga, Johan Pahlawan, dan Teurabu).

Di antara korban meninggal dunia di NAD, jumlah tertinggi di Meulaboh, 28.251 orang. Itu disusul Banda Aceh 20.066 orang, Aceh Besar 15.500 orang, dan Aceh Jaya (di luar Calang) 15.000 orang. Jumlah korban di Sabang mengalami revisi drastis dari 12.000 menjadi 12 orang. Depsos juga mencatat 10.000 orang lebih dinyatakan hilang (JP, 08/01/04).

Karena itu, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, hendaknya mau terus peduli dengan cara membantu sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka mau mengeluarkan sebagian harta-bendanya demi memulihkan kembali (recovery), merehabilitasi, dan merekonstruksi Kota Serambi Makkah tersebut.
***
Selanjutnya, seiring maraknya aksi penggalangan dana bantuan untuk korban Aceh, muncul fenomena baru yang sangat mengkhawatirkan pada benak sebagian kalangan dan patut direspons. Yakni, adanya pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan tragedi kemanusiaan itu sebagai ajang berbuat kemaksiatan, korupsi, dan penggalangan dana atas nama gerakan peduli korban Aceh. Alih-alih mencari dana demi kepentingan kemanusiaan, padahal tindakan tersebut dilakukan demi kepentingan perut sendiri atau kelompok dan bukan untuk korban Aceh (nauzubillah).

Karena itu, selain memberikan aneka bantuan, pemerintah dan semua kalangan -yang betul-betul mempunyai maksud melakukan pemihakan kepada korban bencana Aceh- hendaknya melakukan pengawasan terhadap bantuan yang dialirkan ke Tanah Rencong tersebut. Apakah bantuan itu telah sampai langsung ke tangan para korban ataukah belum?

Aksi pengawasan tersebut sangat penting dilakukan semua pihak. Kita bukan berarti tidak percaya kepada orang lain yang membantu menggalang dana di jalan-jalan dan memberikan bantuan bagi korban bencana, tetapi hal itu dilakukan dengan maksud sebagai prinsip kehati-hatian dan kontrol atas bantuan kemanusiaan tersebut.

Terkait hal itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pemerintah akan berusaha melakukan pengawasan dengan memastikan tidak ada sedikit pun penyimpangan, transparan, serta accountable. Itu dilakukan dengan mengupayakan berjalannya mekanisme pengawasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pernyataan presiden tersebut patut didukung dan diapresiasi secara positif oleh semua elemen masyarakat di negeri ini.

Tentu kita berharap, hal itu tidak hanya sekadar janji, tetapi perlu bukti konkret. Sekali lagi, rakyat butuh bukti bukan janji. Pengawasan hendaknya berlaku terhadap semua bantuan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Hasil pengawasan hendaknya juga dilaporkan kepada publik agar publik bisa mengakses dan mngetahui siapa yang berani menyalahgunakan bantuan Aceh tersebut. Yang lebih penting lagi, pelakunya dihukum seberat-beratnya. Sebab, bantuan yang seharusnya diberikan kepada yang berhak menerimanya (korban) itu diambil tanpa mempertimbangkan perikemanusiaan.

Menurut hemat penulis, pengontrolan dan pengawasan perlu dilakukan pemerintah, masyarakat, pers, dan aktivis LSM terhadap aneka bantuan dan sukarelawan, utamanya sukarelawan dari luar negeri, seperti yang akhir-akhir ini kita saksikan. Sebab, bantuan yang diberikan luar negeri tersebut dikhawatirkan sebagai bentuk imperialisme dalam wujud bantuan riil kepada korban bencana.(Choirul Mahfud, aktivis IMM dan peneliti LKAS Surabay

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 10 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan