Mengkorupsi Bea dan Cukai

Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008. Dari hasil inspeksi mendadak ini, KPK menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Selain melibatkan pegawai Bea dan Cukai, suap melibatkan pihak ketiga, seperti satuan pengamanan, bahkan petugas kebersihan. Sedangkan tempat transaksi tidak hanya di bawah meja, tapi juga di mobil, tempat parkir, hingga toilet.

Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008. Dari hasil inspeksi mendadak ini, KPK menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Selain melibatkan pegawai Bea dan Cukai, suap melibatkan pihak ketiga, seperti satuan pengamanan, bahkan petugas kebersihan. Sedangkan tempat transaksi tidak hanya di bawah meja, tapi juga di mobil, tempat parkir, hingga toilet.

Apa yang dilakukan oleh KPK layak mendapat apresiasi. Artinya, langkah yang dilakukan sudah sesuai dengan harapan masyarakat dan juga dunia usaha, agar KPK memprioritaskan penanganan korupsi di sektor pelayanan publik termasuk di dalamnya Bea dan Cukai. Prestasi ini tidak muncul pada periode KPK sebelumnya. Inisiatif pimpinan Bea dan Cukai, yang berani menempuh sikap tidak populer di mata anak buahnya dengan mengundang KPK membantu membersihkan oknum-oknum pegawai Bea dan Cukai, juga perlu dijadikan kriteria standar bagi siapa saja calon pejabat yang akan memimpin instansi pemerintah.

Pada sisi lain, langkah yang dilakukan oleh KPK seiring dan sejalan dengan reformasi birokrasi internal yang sedang dicanangkan di lingkungan Departemen Keuangan sejak 2007. Sebagaimana diberitakan, Departemen Keuangan, yang membawahkan Direktorat Bea dan Cukai, telah menghabiskan anggaran Rp 4,3 triliun untuk program reformasi birokrasi.

Anggaran reformasi birokrasi untuk Departemen Keuangan dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kerja serta pemberian munerasi (tunjangan kerja) kepada pejabat dan pegawai. Dengan adanya peningkatan gaji dan tunjangan yang diterima, para pegawai Departemen Keuangan diharapkan tidak menyalahgunakan wewenang. Pemberian tunjangan ini tercatat dilakukan sejak 1 Juli 2007 dalam bentuk tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN).

Bea-Cukai adalah sebuah lembaga penting dalam perdagangan internasional. Salah satu peran Bea-Cukai adalah fasilitator perdagangan (trade facilitator). Karena peran yang begitu serius, dalam aplikasinya lembaga yang berada di bawah Departemen Keuangan itu wajib memberikan pelayanan yang melingkupi empat hal, yaitu hemat waktu, hemat biaya, aman, dan mudah (save time, save cost, safety, dan simple). Cerminan layanan itu menjadi bagian integral dari sistem dan prosedur kepabeanan. Namun, praktek korupsi yang menyelimuti Bea-Cukai mengakibatkan pelayanannya menjadi buang-buang waktu, biaya mahal, tidak aman, dan sulit.

Memang perhatian publik terhadap Bea-Cukai selalu menarik dibanding instansi pemerintah lain yang juga tak kalah korupnya dibanding Bea-Cukai. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh KPK juga memperkuat penilaian publik mengenai maraknya praktek korupsi di Bea-Cukai. Pada awal 2007, survei Transparency International Indonesia (TII) menempatkan instansi Bea dan Cukai sebagai instansi terkorup bersama Kepolisian Republik Indonesia.

Masih pada 2007, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas Indonesia dan Bank Dunia merilis sebuah hasil survei mengenai dugaan korupsi di tubuh Bea-Cukai. Berdasarkan hasil survei LPEM-Bank Dunia tersebut, nilai korupsi di Bea-Cukai tidak tanggung-tanggung, sekitar Rp 7 triliun per tahun. Survei itu melibatkan tak kurang dari 600 pengusaha di bidang manufaktur, tersebar pada lima kota besar, Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Berbagai pungutan ilegal yang harus ditebus pengusaha dalam berurusan aparat Bea-Cukai.

Titik rawan pungutan liar di antaranya lahir dari kebijakan jalur merah dan jalur hijau. Modusnya, barang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tiba-tiba oleh petugas diarahkan pada jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya. Tindakan petugas seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan membuka peluang bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu mengincar jalan pintas.

Masalah korupsi di bea dan cukai sesungguhnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga muncul di beberapa negara di seluruh dunia. World Customs Organization (WCO) sebagai wadah instansi bea dan cukai seluruh dunia menyadari betul masalah korupsi ini. WCO, yang didirikan pada 1952 sebagai Customs Cooperation Council, merupakan lembaga independen antarpemerintahan dengan misi meningkatkan efektivitas dan efisiensi instansi bea dan cukai. Beranggotakan 159 negara, WCO merupakan satu-satunya organisasi antarnegara yang kompeten dalam masalah-masalah kepabeanan.

Pada 1993, dalam pertemuan tahunannya di Arusha, Tanzania, organisasi pabean sedunia ini melahirkan sebuah deklarasi berkaitan dengan integritas bea dan cukai. Deklarasi yang dikenal sebagai Arusha Declaration (Deklarasi Arusha) ini berisikan daftar 12 langkah spesifik yang bisa diambil instansi bea dan cukai demi mencegah korupsi, atau paling tidak membantu dalam mendeteksinya.

Sejak Deklarasi Arusha, WCO sudah bekerja keras dalam merancang program reformasi dan modernisasi pabean yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Deklarasi Arusha ke paket yang lebih luas yang bisa dipergunakan negara-negara anggotanya untuk melakukan reformasi mendasar dalam proses dan organisasi masing-masing.

Kebutuhan akan program yang demikian muncul karena sejumlah pengaruh yang berbeda-beda, seperti berkurangnya hambatan tarif, pertumbuhan yang diproyeksikan dalam perdagangan dunia, tidak adanya toleransi pemerintahan terhadap campur tangan bea dan cukai yang tak beralasan, serta kebutuhan bea dan cukai untuk memfasilitasi kesejahteraan.

Untuk menyukseskan upaya Bea dan Cukai dalam meningkatkan integritas di lingkungan kerjanya, instansi ini harus mendapat dukungan yang kuat dan efektif dari dua sektor yang melebihi lembaga mana pun kemampuannya untuk mempengaruhi perubahan budaya kerja, yaitu para pemimpin nasional dan anggota masyarakat perdagangan internasional.

Importir, eksportir, perusahaan penerbangan, pelayaran, otoritas pelabuhan dan bandar udara, konsultan perdagangan, dan mereka yang terkait dengan perdagangan internasional harus mengatakan tidak untuk menjadi bagian dari praktek korupsi yang dilakukan di instansi Bea dan Cukai.

Terakhir, apa yang dilakukan oleh KPK diharapkan tidak berhenti pada inspeksi mendadak, tapi juga meneruskan ke proses hukum terhadap para pelaku penyuapan yang terjadi di lingkungan Bea dan Cukai, baik pemberi maupun penerima. Menteri Keuangan serta Dirjen Bea dan Cukai selaku atasan juga harus berani mengambil langkah tegas dengan memberikan sanksi yang berat bagi pegawai-pegawai yang dinilai tidak bertanggung jawab ini. Harapannya, langkah ini dapat menjadi efek kejut (shock therapy) bagi pegawai Bea dan Cukai ataupun jajaran di bawah Departemen Keuangan agar tidak mengulang kesalahan serupa. Masyarakat hanya berharap jangan ada lagi korupsi di Bea dan Cukai.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Juni 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan