Menghukum Ringan Koruptor

Senin, 16 Maret, Indonesia Corruption Watch merilis hasil kajian tren vonis korupsi pada 2014. Secara garis besar tren vonis pada 2014 menggambarkan bahwa kerja institusi pengadilan tindak pidana korupsi tidak maksimal dalam menghukum terdakwa korupsi.

Tidak maksimalnya kinerja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampak dalam bobot penghukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi. Setidaknya ada lima permasalahan utama yang menjadi catatan penting dalam tren vonis 2014.

Pertama, kecenderungan pengadilan tipikor menghukum ringan pelaku korupsi. Kecenderungan tersebut terlihat dari banyaknya terdakwa korupsi yang dihukum kurang dari 1 tahun hingga 4 tahun penjara. Sebanyak 79,7 persen dari sebanyak 465 terdakwa pada 2014 divonis ringan oleh pengadilan tipikor. Hukuman ini bahkan lebih rendah dibandingkan hukuman bagi pelaku pencurian kendaraan bermotor.

Kedua, tidak optimalnya pengembalian kerugian negara lewat pembebanan uang pengganti. Indonesia Corruption Wacth mencatat kerugian negara yang timbul pada 2014 sebanyak Rp 10,689 triliun. Sementara total pembebanan uang pengganti pada 2014 adalah Rp 1,4 triliun. Jumlah pembebanan uang pengganti ini tentu tak sebanding dengan kerugian negara yang telah ditimbulkan. Di samping itu perlu dicatat bahwa masih terdapat kemungkinan terdakwa menghindari kewajiban membayar uang pengganti.

Ketiga, penjatuhan pidana denda yang rendah. Selain pidana pokok berupa pidana penjara, Pasal 10 Ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang pidana denda. Dalam konteks penjeraan, kombinasi hukuman penjara dan denda dimaksudkan untuk menghukum pelaku korupsi seberat-beratnya guna memberikan efek jera. Sayangnya, fakta berbicara sebaliknya. Sedikitnya 274 terdakwa dikenakan denda relatif ringan (Rp 25 juta-Rp 50 juta).

Penjatuhan pidana denda dalam kacamata UU Tipikor masih tergolong ringan. Padahal, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menetapkan batas maksimum denda sebesar Rp 1 miliar. Ironisnya, hakim tipikor lebih memilih untuk menjatuhkan pidana denda yang paling ringan ketimbang membebani terdakwa dengan pidana denda berat.

Remisi
Keempat, disparitas putusan masih terus terjadi. Dalam perkara korupsi, disparitas putusan terjadi dalam dua model besar.

Pertama, disparitas putusan terjadi kepada dua perkara yang memiliki nilai kerugian negara relatif setara. Model pertama memberikan hakim tipikor kesempatan memutus dua perkara dengan hukuman berbeda, meski besaran kerugian negaranya tak jauh berbeda.

Kedua, disparitas putusan terjadi dalam konteks nilai kerugian negara berbeda dalam dua perkara. Dalam model ini, hakim tipikor dapat memutus hukuman yang sama terhadap dua perkara yang nilai kerugian negara berbeda. Persoalan disparitas putusan ini pada akhirnya hanya akan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Disparitas putusan terjadi karena hakim memiliki diskresi sangat luas untuk menentukan jumlah hukuman yang akan dijatuhkan. Hakim tak jarang memutus beratnya hukuman berdasarkan perasaan, bukan pertimbangan yuridis substantif suatu perkara. Ketiadaan pedoman pemidanaan membuat hakim hanya menerka-nerka hukuman yang sesuai bagi terdakwa. Publik harus waspada karena ruang kemandirian hakim bisa saja disalahgunakan untuk jual beli putusan, yang akhirnya menimbulkan disparitas putusan.

Kelima, jaksa selaku penuntut umum tidak maksimal dalam melakukan penuntutan. Pada 2014, rata-rata tuntutan oleh penuntut umum dalam perkara korupsi hanya 3 tahun 11 bulan. Tuntutan rendah ini secara tak langsung ikut berperan dalam kondisi a quo.

Dalam sistem peradilan pidana yang kita anut, hakim tak diperkenankan memutus hukuman lebih tinggi daripada yang dituntut oleh penuntut umum. Pada akhirnya tuntutan yang rendah oleh penuntut umum akan membuahkan vonis ringan bagi pelaku korupsi.

Usulan pemberian remisi bagi koruptor tentu hanya akan menambah panjang catatan buruk pemberantasan korupsi. Remisi bagi terpidana korupsi hanya akan menambah ringan vonis pengadilan korupsi yang mayoritas sudah tergolong ringan.

Pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi akan kontra- produktif dan inkonsisten dengan semangat pemberantasan korupsi yang didengungkan oleh presiden. Pemberian remisi bagi terpidana korupsi hanya akan menjadi rapor merah kegagalan pemerintah dalam mendukung kerja pemberantasan korupsi.

Benar bahwa pada dasarnya pemberian remisi adalah hak setiap terpidana. Namun, perlu digarisbawahi, hak tersebut tak berdiri sendiri. Ada kewajiban yang melekat pada hak tersebut. Dalam perkara korupsi, hak remisi hanya dapat diberikan bagi terpidana yang mau bekerja sama dalam membongkar kasus korupsi. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam Pasal 34A PP 99/2012, pemberian remisi bagi terpidana korupsi hanya dikhususkan bagi whistle blower (pengungkap kasus) dan atau justice collaborator. Selain itu, terpidana korupsi juga harus melunasi kewajiban uang pengganti dan pidana denda yang dijatuhkan kepadanya.

Adapun penentuan status pengungkap kasus dan atau justice collaborator sepenuhnya kewenangan penegak hukum. Dalam hal ini PP 99/2012 sudah secara ketat memberikan remisi bagi terpidana korupsi. Karena itu, bukan perkara mudah bagi seorang terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi.

Perlu dipahami bahwa penanganan terpidana kasus korupsi tak sepantasnya sama dengan terpidana kejahatan biasa. Karena itu, pemberian remisi bagi terpidana korupsi harus diperketat, bahkan dihapuskan. Selain untuk memberikan penjeraan juga demi menjaga rasa keadilan masyarakat.

Aradila Caesar Ifmaini Idris, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Menghukum Ringan Koruptor".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan