Menghitung Kerugian Negara Akibat Illegal Logging

Nilai kerugian negara akibat praktik pembalakan liar (illegal logging) ataupun pembabatan hutan secara legal namun penuh rekayasa suap dan korupsi, telah menyebabkan kerusakan luar biasa. Tak hanya kerusakan ekosistem hutan yang menopang kehidupan masyarakat, praktik illegal logging dan "legalized logging" ini juga menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar.

Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) selama kurun waktu 2004-2010, kerugian negara akibat pembalakan hutan di Indonesia mencapai Rp 169,7 triliun. Nilai sebesar itu diperoleh dari perhitungan kekurangan penerimaan negara dari sektor pajak bumi dan bangunan serta sejumlah perijinan dan royalti.

Bagaimana sistem perhitungannya, Peneliti Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, Mouna Wasef akan menjelaskannya secara lengkap. "Pada prinsipnya, sumber daya hutan yang sangat luas ini merupakan aset negara yang hendaknya dijaga kelestariannya dan dikelola pemanfaatannya sehingga tidak terjadi pembongkaran hutan yang bersifat destruktif.," ujar Mouna.  Berikut petikan wawancara redaksi www.antikorupsi.org dengan Mouna Wasef:

Bagaimana cara menghitung potensi kerugian negara dari penebanga hutan?

Penyediaan lahan perkebunan sawit di kawasan hutan yang  tidak mengikuti prosedur pelepasan kawasan hutan yang tepat mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan untuk kas negara dan daerah. Setiap kegiatan alih fungsi hutan yang melibatkan penebangan kayu yang tidak sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku maka telah terjadi kerugian negara setidaknya senilai harga ekonomis dari kayu yang ditebang serta potensi penerimaan pajak dan bukan pajak.

Potensi ekonomis kayu, bagaimana standar perhitungannya?

Untuk mengetahui potensi kerugian, terlebih dahulu harus dicari tahu standar penerimaan resmi yang  telah masuk ke kas negara dan pemerintah yaitu dari aliran penerimaan sejak dilakukannya pelepasan kawasan hutan. Ada sejumlah perijinan yang harus dipenuhi yakni pungutan Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU); Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang terdiri dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan nilai tegakan kayu; Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); serta memperhitungkan Pajak Ekspor CPO.

Setelah didapat data-data ini maka dibandingkan dengan potensi penerimaan yang seharusnya diperoleh dari pembukaan hutan menjadi perkebunan sawit yaitu PSDH, DR, dan nilai tegakan kayu. Sedangkan untuk di daerah, potensi penerimaan yang hilang dari kebun sawit illegal inidibandingkan dengan data pendapatan daerah juga mempertimbangkan bagi hasil yang diterima daerah dari sumber daya kehutanan.

Cara menghitung nilai tegakan kayu?

Dihitung dengan  mencari data volume tegakan kayu per hektar area hutan yang dibuka secara illegal atau dari data laju deforestasi, jenis kayunya misalnya rimba campuran, dan harga tegakan berdasarkan peraturan Kementrian Perdagangan dan Kementrian Kehutanan, misalnya untuk rimba campuran Rp 360.000 permeter kubik.

Dana Reboisasi (DR)?

Sama dengan menghitung tegakan kayu. Yang berbeda adalah tarifnya yaitu untu krimba campuran US $ 13, dengan menggunakan konversi Rp 9,000 permeter kubik.

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)?

Tarifnya 10% dari nilai tegakan kayu.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)?

PBB dikenakan setiap tahun atas area yang  telah mendapat HGU atau ijin pemanfaatan hutan lainnya, misalnya IPK. Dasar yang digunakan adalah NJOP beradasarkan nilai pasar atau nilai tertinggi. Untuk perkebunan dan kehutanan yaitu NJOP tanah ditambah jumlah investasi tanaman sesuai dengan standar investasi menurut umur tanaman. Tarif yang digunakanadalah 0.5% dengan mempertimbangkan NJOP, jika besar sama 1 milyar tarifnya 40% dan jika kecil 1 milyar tarifnya 20%.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB)?

Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai jual objek pajak (NJOP) berdasarkan harga pasar yang berlaku dikurangi nilai jual objek tidak kenapajak (NJOPKP) maksimalRp 60,000,000. Penetapan NJOPKP bervariasi tergantung pada daerah masing-masing, dengan tarif paling tinggi 5%.

Pajak ekspor CPO?

pada akhir tahun 2008 berganti menjadi BK (bea keluar). Barang ekspor yangkena BK adalah rotan, kulit, kayu, kelapa sawit, CPO dan produk turunannya serta biji kakao, dimana ekspor CPO dan turunannya mencapai 70% dari total barang ekspor Indonesia setiap tahunnya yang dikenakan bea keluar. Setiap bulannya pemerintah melalui Kementrian Perdagangan menetapkan HPE (harga patokan ekspor) dengan berpedoman pada harga rata-rata CPO CIF (Cost, Insurance, and Freight) Rotterdam dan Kementrian Keuangan mengeluarkan tarif pungutan ekspor. Tarif ekspor untuk tahun 2005, 2006, 2007 yaitu 1.5%, 3% dan 6%, setelah 2007 tarifnya terdiri dari beberapa lapis tergantung pada harga referensi, yaitu dengan harga referensi US$ 793- US$ 1010 tarif ekspornya 3%-6%. Data pajak eskpor ini diperoleh dari Indonesia Palm Oil Statistik dan sumber lainnya.

Lalu apalagi?

Selain itu adalah pungutan administrasi pembuatan IUP dan HGU, tarif resmi yang dikenakan terkait HGU dan IUP ini berbeda-beda tergantung pada daerah masing-masing, akan tetapi mengingat begitu banyaknya tahapan proses perijinan yang harus dilalui dari satu departemen ke departemen lainnya, dari informasi koalisi di Kalteng dan Kalbar seringkali praktek yang terjadi di lapangan adalah munculnya pembayaran informal yang rata-ratanya mencapaiRp 500,000 – Rp 3,000,000. Pembayaran informal ini masuk kantong pribadi.

Apakah dihitung pula dampak kerugian yang harus dibayar akibat banjir karena pembukaan lahan, misalnya?

Dampak kerugian akibat banjir ataupun kerusakan ekologi lainnya belum dihitung karena untuk ini perlu dilakukan semacam audit lingkungan. Namun berdasarkan data Walhi Kalbar (2010) selama 13 tahun terakhir telah terjadi 6,632 bencana ekologi dan 630 konflik lahan terkait perkebunan sawit (Sawit Watch,2010). Jika kita melihat indeks pembangunan manusia (IPM) propinsi Kalbar mendapat peringkat yang rendah yaitu 29 dari 33 propinsi, meskipun hal ini tidak dapat dikaitkan langsung dengan masifnya ekspansi perkebunan sawit dimana masyarakat di sekitar perkebunan mayoritas menjadi buruh kebun. 

Idealnya bagaimana?

Seharusnya pengelolaan hutan ini harus berdasarkan prinsip berkelanjutan sehingga kekayaan hutan kita yaitu kekayaan ekologinya masih dapat dinikmati hingga generasi kedepan, mengingat juga pemanasan global yang  terus mengancam. Selain itu perlu adanya aturan yang  tegas tentang kawasan hutan mana yang dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit, mengingat hingga saat ini terutama di Kalteng masih ada pertentangan antara peraturan RT/RW (rencana tata ruang dan wilayah) dengan TGHK (tata guna hutan kesepakatan). Juga dalam hal pemberian izin pelepasan kawasan hutan, dan yang paling penting adalah terutama untuk patokan nilai tegakan kayu, dan tarif PSDH dan DR. Nilai tegakan kayu ini harus segera diubah dengan menggunakan harga rata-rata pasar, yang saat ini mencapai Rp 2 juta-an.
 
Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan