Menghalangi Pemberantasan Korupsi

Sekalipun tidak menyebutkan dengan jelas siapa saja pelakunya, secara eksplisit Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan bahwa saat ini ada gerakan yang mencoba melawan pemberantasan korupsi. Dalih yang diajukan oleh mereka yang kurang setuju dengan gerakan pemberantasan korupsi itu, kata SBY, adanya kepentingan rakyat yang terganggu.

Akibat pemeriksaan (kasus korupsi, penulis) di sebuah bank tertentu, banyak pengusaha atau pihak yang tak bisa meminjam kredit. Manajemen perbankan takut memberikan kredit. Berikutnya, akibat pemberantasan penyelundupan yang naik dan intensif, kita kekurangan barang impor di pasaran sehingga menyusahkan rakyat. Selanjutnya, akibat pemberantasan illegal logging, kita kekurangan kayu sehingga industri pengolahan kayu kita merugi, demikian kata SBY (koran ini, 8 Juni).

Tentu saja kebenaran argumen-argumen itu bisa diperdebatkan. Namun, yang harus menjadi ukuran adalah kepentingan mayoritas serta kualitas sebuah pemerintahan (good governance). Bahwa dengan meningkatnya gerakan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini, ada pihak yang dirugikan serta ada kepentingan yang terkorbankan wajar saja. Namun, golongan mana yang terugikan dan kepentingan siapa yang terkorbankan?

Jawabannya sangat gampang, yakni warga kelas menengah ke ataslah yang menjadi korban dan terganggu kepentingannya.

Kejahatan Elite
Korupsi termasuk dalam kejahatan elite atau kejahatan kerah putih (white collar crime). Sebab, pelakunya orang-orang yang punya jabatan (kekuasaan), profesional di bidangnya, serta punya akses dengan kekuasaan dan profesi itu.

Apabila pemeriksaan kasus kredit macet di Bank Mandiri mengakibatkan kalangan perbankan kini berhati-hati memberikan kredit kepada nasabah, jelas yang dimaksud nasabah itu adalah nasabah kelas menengah ke atas.

Dalam hal itu, orang-orang yang biasa mengajukan kredit dengan bilangan miliaran atau triliunan rupiah. Bukan kredit kelas menengah ke bawah, yang hingga saat ini intensif ditawar-tawarkan pihak bank kepada para nasabah kelas kambing, seperti kredit perumahan (KPR) atau kredit konsumsi untuk para pegawai.

Demikian juga, akibat pemberantasan penyelundupan, barang-barang impor berkurang di pasaran. Pertanyaannya, barang-barang impor itu lebih banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat menengah ke atas?

Juga industri kayu yang lesu karena pemberantasan illegal logging. Siapakah para industrialis kayu itu? Siapa sajakah konsumen potensialnya?

Rakyat menengah ke bawah hari-hari ini lebih susah memikirkan biaya sekolah dan biaya hidup anak-anaknya daripada memikirkan membeli mebel atau perabot rumah tangga lain.

Sebaliknya, bila gerakan pemberantasan korupsi itu dilakukan intensif dan konsisten, kepentingan masyarakat mayoritaslah yang banyak teruntungkan. Di antaranya, pemasukan pemerintah meningkat secara berarti, gaji pegawai naik signifikan, juga pembiayaan untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu, keterpurukan martabat bangsa ini sebagai bangsa terkorup akan terangkat di mata dunia.

Merajalelanya korupsi, sejak zaman pemerintahan Soekarno sampai SBY, menjadi kausa prima segala macam keruwetan dan penderitaan rakyat. Banjir bandang di Sumatera dan Kalimantan akibat penebangan hutan liar berujung pangkal pada korupsi.

Pengurusan izin mahal, haji mahal, penyimpangan peruntukan tata ruang kota, pembangunan proyek-proyek pemerintah di bawah standar, dan urusan-urusan publik lainnya yang amburadul juga terjadi karena korupsi.

Tak Berdaya
Terhadap semua praktik busuk itu, hukum dan pemerintah terbukti tak berdaya. Lahirnya Tap MPR No XII/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) secara implisit mengakui ketidakberdayaan itu.

Ketetapan tersebut secara tidak langsung mengindikasikan adanya pengakuan atas dua hal. Pertama, UU Korupsi selama ini belum tegas dan konsisten diterapkan penyelenggara negara.

Kedua, penerapan UU Korupsi selama ini terkesan mengabaikan asas persamaan di depan hukum. Akibat kedua hal tersebut, banyak koruptor yang dengan bebas bergerak melakukan aksi-aksi korupnya, menguras kekayaan negara dan rakyat, tanpa pernah bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana (impunity).

Hukum pidana dan sistem peradilan pidana hanya menjadi macan ompong bagi koruptor. Entah karena ketidakmauan pemerintah untuk menegakkan hukum secara sungguh-sungguh atau entah karena ketidakmampuan (inability) hukum dan sistem peradilan pidana yang ada.

Dari segi hukum, kelahiran UU No 20/2000, yang memberikan ancaman penjara seumur hidup bagi pelaku korupsi, sudah sangat kuat sebagai payung hukum untuk memberantas korupsi. Secara kelembagaan, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) juga sangat menunjang keberhasilan gerakan memberantas korupsi.

Persoalannya sekarang terletak pada kesungguhan pemerintah dan masyarakat untuk mendayagunakan secara optimal substansi dan kelembagaan hukum tersebut.(Ernanto Soedarno, advokat senior di Surabaya)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 13 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan