Menghadapi Koruptor dengan Peti Mati

Persoalan korupsi di Indonesia merupakan penyakit lama yang sulit diberantas. Parktik-praktik korupsi yang merupakan warisan Orde Baru itu justru semakin tumbuh subur.

Persoalannya, bukan tidak ada undang-undang resmi atau badan hukum yang berwenang memberantasnya, tetapi ketika dihadapkan pada kondisi real di lapangan, semua tiba-tiba tidak berdaya menghadapinya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini memang telah melakukan tindakan hukum terhadap beberapa pejabat yang korupsi. Tetapi, seberapa banyakkah kasus korupsi yang telah dituntaskan di antara sekian banyak kasus di negeri ini?

Bila melihat realitas yang ada, di antara sekian kasus korupsi yang telah dituntaskan, ternyata masih lebih banyak yang belum tertangani. Koruptor-koruptor di negeri ini masih bebas melenggang ke sana ke mari tanpa ada hukum yang menjeratnya.

Hal itu tidak lain karena perlawanan yang dihadapi sangatlah berat. Koruptor-koruptor kakap tersebut lumayan cerdik. Mereka mempunyai seribu macam cara agar dirinya tidak kelihatan sedang korupsi. Uang merupakan kekuatan utama sebagai selimut untuk menutupi tindak kejahatannya.

Dengan kekuatan uang, mereka selalu berlindung di balik hukum. Bahkan, mereka dapat membayar pengacara-pengacara kelas kakap miliaran rupiah untuk membuat dirinya terhindar dari ancaman hukum. Apalagi, koruptor tersebut me-mark up dirinya dengan melakukan kepedulian sosial melalui hasil korupsinya atau biasa disebut pencucian uang. Hal itu membuat para koruptor laksana belut yang sukar untuk ditangkap.

Upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi oleh pemerintah melalui KPK memang masih menemui banyak kendala. Di samping para pelakunya yang cerdik berlindung di balik hukum, para penegaknya juga masih kelihatan canggung menjalankan tugasnya. Pemerintah terkesan belum berani dan tegas dalam menindak para koruptor di negeri ini.

Belum lagi, banyaknya kerikil di sana-sini yang menghadang tugasnya. Aturan-aturan hukum yang ada bolehlah lengkap dan menghardik. Namun, ketika tidak bisa diterapkan, semua itu tidak memiliki arti apa-apa.

Belajar Resep dari Tiongkok
Sebenarnya, semua itu tidak akan menjadi masalah utama jika memang pemerintah secara tegas dan berani menindak para koruptor, bukan hanya sekadar wacana. Setidaknya, untuk rencana dan komitmen dalam memberantas korupsi, resepnya telah dicontohkan tetangga kita, yaitu Tiongkok. Negara tersebut sekarang sudah dapat melepaskan diri dari belenggu korupsi yang telah menjerat bertahun-tahun.

Pada 1998, Tiongkok menghadapi penyakit besar dalam pemerintahan, yaitu korupsi. Menteri Zhu Rongjie pada waktu itu memprioritaskan pemerintahannya untuk melibas korupsi.

Hasilnya pun lumayan optimal. Sejak 2001, sekitar empat ribu orang ditembaki di depan umum karena korupsi. Bahkan, selama kuartal pertama 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Penyebab mereka dipecat bermcam-macam, mulai menerima suap, mabuk-mabukan, berjudi dan membawa senjata api di luar tugas mereka, hingga kualitas di bawah standar.

Pemerintah Tiongkok memang tegas dan berani dalam mengambil langkah memberantas korupsi. Dalam menegakkan hukum, mereka tidak peduli siapa pelakunya. Siapa pun yang salah langsung dihadapkan kepada hukum. Bahkan, hukuman mati pun tidak ragu-ragu dijalankan. Lalu, bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia?

Jika Indonesia adalah Tiongkok, semua koruptor pasti akan merinding dan takut. Berapa peti mayat yang disediakan jika semua koruptor di negeri ini dihukum mati? Mungkin sekarang bangsa ini sudah terbebas dari julukan Negeri Para Koruptor. Sayang , Indonesia bukanlah Tiongkok!

Pemerintah bangsa ini masih terkesan takut menghadiahi para koruptor dengan sebuah peti mati. Padahal, korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit akut yang menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan.

Pemerintah negeri ini seperti kehabisan mental dan daya dalam memerangi tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selalu ada alasan-alasan atau halangan yang sifatnya kultural.

Ketika praktik korupsi semakin menyesakkan dada dan sampai pada puncak batas kesabaran, tidak ada toleransi hukuman lain kecuali mati! Dor

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan