Menghadang Politisi Busuk

Jangan pernah pilih orang-orang korup, atau partai politik yang selalu mencoba menghalangi-halangi pemberantasan korupsi, apalagi parpol yang mendapat dana dari uang hasil korupsi.

Mulai sekarang publik akan lebih mudah melihat dan memilih. Antara partai politik yang benar memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umum, atau partai yang hanya membungkus elok sebuah kleptokrasi. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang 400 travellers cheque yang mengalir pada 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan data terakhir yang mempertebal keyakinan publik, ada yang tidak beres di DPR.

Berbagai kasus korupsi yang mulai terungkap dan melibatkan anggota DPR ini sesungguhnya dapat diposisikan sebagai bukti empiris survei persepsi korupsi yang rutin dirilis Tranparency Internasional (TI). Sekaligus akan menjawab, kenapa setelah sekian lama pemberantasan korupsi dilakukan, begitu banyak undang-undang diterbitkan dan bahkan lebih dari tujuh tim khusus antikorupsi dibentuk, tetapi Indonesia tetap dalam posisi terkorup.

Berdasarkan survei TI Indonesia, posisi parlemen dan partai politik tetap dalam rangking institusi terkorup. Tahun 2005 dan 2006 berada di posisi terkorup pertama, serta posisi kedua di tahun 2007. Dan, agaknya di tahun 2008-2009, sektor ini akan kembali merebut juara pertama.

Setidaknya, melihat dari tipologi sektor yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid II, legislatif menduduki porsi yang seimbang dengan eksekutif. ICW mencatat (per Agustus 2008), tujuh dari 26 tersangka yang berhasil dijerat KPK berasal dari sektor legislatif. Atau, sekitar 27 persen. Sedangkan eksekutif mencapai 35 persen ( 9 orang). Angka ini akan semakin bertambah jika KPK konsisten membongkar sejumlah skandal aliran uang haram ke DPR.

Dari kasus Bank Indonesia saja, sekitar 93 anggota Dewan dapat dijerat. 52 nama diantaranya dari skandal BI jilid I terkait diseminasi revisi Undang-Undang BI dan penyelesaian BLBI secara politis di parlemen. Serta, 41 lainnya dari skandal BI jilid II, yakni indikasi suap pada pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Artinya, sekitar 99 nama dari partai dan fraksi yang beragam dapat menjadi kado menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 nanti.

Dalam bahasa advokasi, sejumlah LSM yang mendeklarasikan diri Mei 2008 kemarin menyebutnya dengan Politisi Busuk.

Politisi Busuk

Gelar politisi jenis ini diberikan pada pejabat Negara, anggota parlemen ataupun calon legislatif yang ikut andil dalam pencemaran dan perusakan lingkungan; pembalakan liar, pelaku kekerasan HAM atau yang memberi perlindungan terhadap pelanggar HAM; pelaku KDRT dan diskriminasi hak perempuan; pengguna dan pengedar narkoba; serta para penggusur hunian rakyat. Akar dari semuanya adalah apa yang kita sebut dengan Korupsi Politik.

Meminjam istilah Liman dan Eithen, political corruption is defined as any illegal or political gain. Corruption occurs then, to accomplish one of two goals-material gain on power. Di sini, Liman dan Eithen berbicara dalam konteks politik Amerika Serikat. Mereka menegaskan korupsi politik di AS merupakan bagian nyata dari kejahatan politik yang berlangsung di tengah kehidupan sosial. Ada begitu banyak varian dari korupsi tipe ini, namun yang pasti ia tumbuh dalam kondisi politik yang buruk, ketika jabatan dan posisi politik disalahgunakan untuk mencapai sesuatu yang melawan hukum.

Potret Indonesia hari ini mirip dengan apa yang diungkapkan Liman. Sejumlah kewenangan di institusi politik yang sangat kuat dipertukarkan dengan harga tertentu. Status alih fungsi hutan lindung yang harus melibatkan parlemen dilihat sebagai kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Kasus Al Amin Nur Nasution merupakan contoh konkret varian ini. Atau perihal pemilihan pejabat publik seperti Deputi Senior Dewan Gubernur BI yang kasusnya sedang berjalan. Dan, bahkan kewenangan politik DPR untuk merivisi undang-undang serta penyelesaian politik sebuah kasus fenomenal seperti BLBI.

Amanat konstitusi yang memberikan DPR tiga fungsi utama dikhianati. Fungsi Legislasi yang seharusnya menjadi tumpuan agar undang-undang yang disusun bermanfaat bagi rakyat dibajak dengan praktek "jual-beli" pada proses pembahasan. Fungsi Pengawasan, justru hanya digunakan sebagai upaya mengkatrol posisi tawar politik untuk mendapatkan fasilitas tertentu. Dan, fungsi anggaran (budgeting) ditelikung sedemikian rupa untuk memperkaya diri sendiri dan bahkan partai politik.

Praktik-praktik seperti ini lah yang dituju oleh sebuah "Gerakan Tidak Pilih Politis Busuk". Kepercayaan bahwa demokrasi melalui pemilu dapat menjadi alat koreksi menjadikan gerakan ini penting dipahami dan diperjuangkan. Logika sederhana terletak pada terminologi "Kuasa Pemilih". Rakyat sebagai pihak yang paling berperan, dapat memberikan koreksi dan bahkan penghukuman terhadap politisi busuk.

Pemilu 2009 seharusnya menjadi momentum untuk menentukan, kemana negeri ini akan dibawa. Kewenangan yang begitu besar pada parlemen membuat publik harus hati-hati memilih calon legislatif dan partai politik. Jangan pernah pilih orang-orang korup, atau partai politik yang selalu mencoba menghalangi-halangi pemberantasan korupsi, apalagi parpol yang mendapat dana dari uang hasil korupsi. Negara ini tidak boleh lagi dipimpin oleh para pencuri.

Febri Diansyah

Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

 

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 20 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan