Menggugat Proses Seleksi Komisi Pemilu
Proses seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum akhirnya benar-benar berbuntut masalah. Dari 21 nama yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI lewat Menteri Dalam Negeri, satu nama di antaranya ternyata pernah dicalonkan sebagai kandidat anggota DPR dari Partai Demokrat. Padahal selama ini Panitia Seleksi KPU bentukan Departemen Dalam Negeri terlihat sangat percaya diri atas kredibilitas proses seleksi. Mengecek apakah yang bersangkutan pernah menjadi calon anggota legislatif sebuah partai politik atau tidak saja tidak mampu, bagaimana bisa melakukan hal lainnya? Fakta adanya cacat ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah Pansel KPU sudah benar berfungsi seperti amanat undang-undang atau belum?
Banyak pihak sebenarnya menaruh harapan besar akan suksesnya seleksi calon anggota KPU. Harapan ini terbangun bukan hanya karena peran yang akan dimainkan institusi ini di masa mendatang sangatlah penting, tapi juga karena diperlukan banyak sekali perbaikan dalam pelaksanaan pemilu yang akan datang setelah, misalnya, KPU banyak dirundung masalah. Bahkan banyak anggota KPU yang sempat dipenjara karena dugaan korupsi. Harapan besar juga muncul seiring perubahan situasi politik yang semakin kompleks di satu sisi. Sementara itu, di sisi yang lain, KPU oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu diamanatkan menjadi organisasi yang besar dan mempunyai hierarki hingga tingkat kabupaten/kota serta bertanggung jawab penuh tidak hanya bagi pelaksanaan pemilu nasional, juga pemilihan kepala daerah.
Ketakpercayaan publik
Terkuaknya cacat dalam daftar nama yang diusung Pansel KPU seakan membuyarkan semua harapan publik akan KPU di masa mendatang yang lebih tangguh dan kredibel. Bagaimana mungkin KPU dapat mewujudkan pemilu yang jujur dan adil jika dalam proses pembentukannya sendiri, KPU sudah digerogoti oleh ketidakadilan dan ketidakjujuran? Bagaimana publik bisa berharap lembaga ini dapat menciptakan iklim yang demokratis jika praktek proses seleksi yang dilakukan selama ini sangatlah tertutup, tidak menghiraukan masukan publik, dan yang lebih kronis lagi, sempat terindikasi kuat terjadi korupsi dalam penggunaan anggaran untuk penyediaan materi seleksi.
Berbagai kalangan yakin bahwa fakta yang muncul terakhir sebenarnya bukanlah untai sejarah yang terpisah. Harus dimaknai utuh, karena terkait langsung dengan pembentukan panitia seleksi yang diragukan karena diisi oleh individu-individu asing di ranah kepemiluan. Juga prosesnya yang tidak bisa dibandingkan dengan proses seleksi komisi pemerintah yang lain, misalnya seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang berlangsung sangat terbuka bahkan hingga proses wawancara. Sangat disesalkan memang jika terpaksa harus mengatakan bahwa seleksi KPU kali ini sangatlah buruk! Bahkan sangat jauh lebih rendah kualitasnya dibanding seleksi calon anggota KPU sebelumnya.
Seleksi calon anggota KPU juga sebenarnya tidak buruk, karena minimnya pengawasan dan masukan masyarakat. Tapi laten sifatnya. Sejak panitia seleksi terbentuk, sudah banyak kalangan, terutama dari lembaga swadaya masyarakat, yang protes. Bagaimana mungkin seleksi komisi yang akan menangani soal pemilu dilakukan oleh mereka yang bukan ahlinya. Bersentuhan pun tidak, baik sebagai penyelenggara, pengawas, maupun pemantau. Departemen Dalam Negeri seakan bermain api dalam penunjukan tim seleksi. Bahkan tidak ada satu pun yang memiliki latar belakang keilmuan di bidang politik. Semua seolah selesai hanya dengan membaca Undang-Undang Penyelenggara Pemilu dan sekadar prasangka baik.
Kekhawatiran publik pun terbukti dengan berjalannya proses seleksi yang dipandang bermasalah, terutama dalam penentuan metode seleksi tertulis yang sekadar melakukan tes psikologi. Banyak pihak, termasuk yang mengikuti seleksi, mempertanyakan pemilihan metode ini untuk mengukur kompetensi dan kesetiaan. Apalagi tes yang sama terkait dengan kesehatan kejiwaan sudah menjadi bagian dari kelengkapan administratif. Sebagian besar kemudian merasa dilangkahi hak-hak politiknya, karena hasil seleksi ini dijadikan dasar untuk menggugurkan 235 peserta seleksi dan memilih 45 peserta yang lolos seleksi tertulis. Padahal angka 45 tidak termasuk dalam ketentuan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007). Tes ini kemudian dinilai akal-akalan Pansel KPU saja. Pemilihan materi tes psikologi juga sempat dimasalahkan, karena ternyata dikerjakan oleh lembaga tes psikologi yang tidak jelas, serta disangkal mentah-mentah oleh salah satu universitas ternama karena namanya ikut dicatut.
Yang mengherankan lagi, ketakpercayaan publik yang kian menjadi-jadi tidak digubris sedikit pun oleh panitia seleksi. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Seleksi pun terus berjalan dengan berbagai kreativitas panitia seleksi yang cukup menggelikan. Contohnya, proses wawancara yang dilakukan di pasar-pasar dan rel kereta api guna menguji kepedulian sosial.
Tindakan politik
Presiden Yudhoyono semestinya dapat mengambil tindakan tegas pada proses seleksi yang berjalan, misalnya dengan mengevaluasi atau meminta seleksi diulang. Tapi sayangnya, kesempatan ini tidak diambil, meski kalangan LSM yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Seleksi Calon Penyelenggara Pemilu telah memintanya secara tertulis. Secara tidak langsung, kredibilitas pemerintah Yudhoyono-Kalla ikut dikorbankan oleh cacat Pansel KPU. Presiden Yudhoyono ternyata tidak berbuat apa-apa. Seakan beliau menerima saja cacat proses yang ada dan ikut mendukung semangat Undang-Undang Penyelenggara Pemilu yang memang ingin memasung intervensi politik Presiden.
Sekarang bola telah berada di tangan DPR. Diharapkan, DPR dapat lebih jernih dan utuh melihat persoalan. Munculnya nama dari daftar yang tidak memenuhi persyaratan harus dilihat bukan soal orang per orang, melainkan sistem seleksi secara keseluruhan. Persoalan lain dapat saja muncul lagi dari daftar nama yang ada, karena panitia seleksi terbukti tidak melakukan rekam jejak seperti yang diinginkan undang-undang, meskipun diakui banyak juga nama yang terlihat memenuhi syarat dari daftar yang ada. DPR jangan lagi bicara soal dana dan waktu yang mungkin terkorbankan untuk menolak usul 21 nama versi pemerintah. Lebih baik sekarang daripada imbasnya dirasakan bersama nanti pada 2009. Lebih baik terkorbankan sedikit dana untuk mengulang seleksi daripada akan lebih banyak lagi ongkos pemilu terbuang atau bahkan dikorupsi.
Ibrahim Fahmy Badoh, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 September 2007