Menggaji Pejabat secara Adil
DALAM kurun waktu 2009 dan awal 2010, pemerintah berturut-turut menggagas program yang sangat tidak populis. Mulai pembelian mobil dinas mewah bagi para pejabat negara, rencana pembelian pesawat kepresidenan, renovasi pagar istana, hingga yang terakhir, ide menambah kocek pejabat publik kita melalui kebijakan menaikkan gaji pejabat negara.
Meskipun usul kenaikan gaji 20 persen belum diimplementasikan, tekad menambah pundi-pundi bagi pejabat negara itu sepertinya belum surut. Ini mengingat hingga kini Presiden SBY tak pernah menginstruksikan adanya penundaan atau pembatalan. Artinya, kemungkinan urungnya rencana menaikkan gaji pejabat tinggi yang santer beberapa waktu lalu merupakan strategi untuk meredam kritik publik. Jika sorotan publik atas usul itu mereda, sangat mungkin eksekusi kenaikan gaji akan dilakukan.
Disinformasi Publik
Alasan utama pemerintah merencanakan kenaikan gaji bagi pejabat publik hingga 20 persen adalah soal rendahnya jumlah gaji pokok yang diterima. Bahkan, SBY sendiri berujar, sudah lima tahun gaji dirinya dan para menteri tidak pernah naik.
Disebutkan, kenaikan gaji untuk pejabat itu untuk mengurangi korupsi. Sesungguhnya antara korupsi dan rendahnya gaji pejabat negara tidak memiliki hubungan yang kasualistik. Pasalnya, motif korupsi pejabat negara lebih karena faktor greed atau keserakahan, dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan pegawai rendahan.
Jika alasannya gaji pejabat negara di Indonesia masih rendah, pertanyaannya, apakah yang diterima pejabat negara setiap bulan hanyalah gaji semata? Lalu, bagaimana pendapatan lain-lain yang secara rutin diterima oleh mereka? Pada titik ini, pemerintah sepertinya tidak jujur dalam menyampaikan informasi.
Meskipun yang disampaikan pemerintah hanyalah usul kenaikan gaji pokok, dalam sistem hitungan penggajian di mana pun, kenaikan gaji pokok akan membawa konsekuensi pada naiknya tunjangan, baik tunjangan jabatan maupun tunjangan fungsional. Ini artinya, yang akan dinaikkan oleh pemerintah sebenarnya adalah seluruh penerimaan bagi pejabat negara, bukan semata-mata gaji pokoknya.
Demikian halnya, secara etis, pejabat yang berkuasa tidak diperbolehkan mengeluarkan kebijakan menaikkan gaji untuk dirinya sendiri. Jika Presiden SBY beralasan bahwa gajinya sudah tidak naik dalam kurun waktu 5 tahun, dalam negara yang sudah mengadopsi nilai-nilai atau aturan mengenai konflik kepentingan, justru terdapat larangan bagi pejabat yang bersangkutan untuk membuat kebijakan yang memberikan keuntungan ekonomi bagi diri sendiri. Jika pun ada rencana kenaikan gaji, pejabat sebelumnyalah yang menyusun dan mengesahkan.
Pendapatan Lain-Lain
Hitung-hitungan kasar ICW menyimpulkan bahwa meskipun jumlah gaji pokok pejabat negara dikategorikan kecil, sumber-sumber income lain sangatlah besar. Untuk satu bulan saja, seorang menteri bisa menikmati tak kurang Rp 140 juta dana kerumahtanggaan yang diperoleh dari berbagai alokasi, baik yang resmi maupun yang abu-abu (grey area).
Ambil contoh menteri dalam negeri yang bisa menggunakan dana taktis dari sumber upah pungut secara bebas dan tanpa disertai pertanggungjawaban pengeluaran yang otentik. Demikian halnya temuan ICW 2008 dalam kasus penerimaan tak resmi menteri agama dari sumber Dana Abadi Umat (DAU) dan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) senilai Rp 700 juta.
Sumber di atas belum termasuk dana operasional para menteri yang secara resmi memang dilegalkan oleh peraturan atau keputusan menteri keuangan. Artinya, jika pemerintah menghendaki perbaikan pada sistem penggajian pejabat publik, sisi-sisi gelap penerimaan pejabat publik terlebih dahulu harus diungkap dan dibenahi.
Langkah Penting Pemerintah
Oleh karena itu, wacana menaikkan gaji pejabat negara harus diletakkan dalam kerangka reformasi birokrasi. Artinya, dengan memperbaiki sistem penggajian pejabat publik, diharapkan pendekatan dalam menaikkan gaji pejabat publik akan lebih komprehensif. Demikian pula, akan tercapai sebuah pengelolaan anggaran yang efisien, efektif, transparan, serta akuntabel.
Jika pemerintah ingin menaikkan gaji pejabat publik, perlu diambil langkah untuk mengkaji secara lebih mendalam sumber-sumber penerimaan yang selama ini dinikmati secara leluasa oleh para pejabat negara dan memberikan kontribusi bagi bocornya anggaran negara atau rendahnya tingkat penerimaan pendapatan negara. Daftar penerimaan abu-abu dan ilegal itu harus secepatnya ditutup dengan aturan tegas melalui larangan menerima dan sanksi bagi yang sengaja menerima/menggunakannya.
Setelah itu, pemerintah dapat menyusun langkah memperbaiki sistem penggajian dengan berlandaskan pada tiga komponen penting, yakni penerimaan pokok, penerimaan tunjangan atas dasar tingkat tanggung jawab, dan penerimaan tunjangan atas dasar kinerja. Pemerintah tidak bisa lagi menerapkan sistem tradisional penggajian yang hanya mengedepankan aspek senioritas. Maksudnya, semakin senior seorang pejabat negara, semakin tinggi pendapatannya.
Dengan tiga komponen dasar penggajian di atas, konsep perbaikan pendapatan bagi pejabat publik diselaraskan dengan tujuan mendorong peningkatan kinerja dan output kerja. Dengan demikian, naik tidaknya dan besar kecilnya pendapatan yang diterima pejabat negara tidak lagi ditentukan oleh sebuah dasar yang tidak jelas, melainkan diletakkan dalam kerangka membangun birokrasi yang efesien, efektif, dan profesional.
Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 10 Februari 2010