Mengendus Aroma KKN Politisi-Pengusaha

Pejabat publik yang merangkap sebagai pengusaha diyakini akan menjadi penyebab kurangnya kemandirian politik dan menumbuhsuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, ketegasan kepala pemerintahan mengatur persoalan rangkap jabatan pejabat publik dan pengusaha sangat dinantikan masyarakat.

Di mata publik, rangkap jabatan yang kini dimiliki oleh sebagian anggota lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga negara lain merupakan sisi lain dari belum berjalannya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Politisi maupun pejabat publik yang diharapkan bekerja dengan orientasi pelayanan kepentingan umum pada saat yang sama memiliki akses untuk keuntungan usahanya sendiri.

Saat ini, paling tidak 15 orang menteri kabinet yang merupakan direktur atau mantan direktur, komisaris, atau pemilik sejumlah usaha. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri adalah pemilik berbagai usaha besar di kawasan Indonesia bagian timur. Jenis perusahaan yang digeluti para menteri pun beragam, mulai dari perusahaan swasta murni, joint venture, hingga BUMN. Kondisi demikian terdapat pula di tubuh lembaga legislatif. Data yang dihimpun Litbang Kompas memperlihatkan, 135 orang dari 500 lebih anggota DPR yang aktif juga merupakan direktur atau mantan direktur, pengusaha atau mantan pengusaha.

Melihat kecenderungan makin maraknya gejala rangkap jabatan—sebagai pejabat publik di satu sisi dan sebagai pemilik/pejabat perusahaan swasta di sisi lain—muncul kekhawatiran publik. Kekhawatiran utama yang terekam dalam jajak pendapat ini adalah bangkitnya kembali gurita-gurita korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagaimana lahirnya konglomerasi pada masa Orde Baru.

Pertautan antara pemimpin politik yang memiliki akses kebijakan publik dan pengusaha yang memiliki modal melahirkan jalinan bisnis besar yang cenderung kolutif. Selain khawatir membuka peluang KKN (dinyatakan 92 persen responden), mereka juga mengkhawatirkan bakal merosotnya kinerja dan perhatian pejabat publik kepada kepentingan rakyat. Bahkan, mereka (90 persen responden) juga mengkhawatirkan para politisi akan lebih banyak mengejar keuntungan pribadi.

Memang sulit dielakkan jika persoalan kultur KKN menjadi alasan utama kekhawatiran publik. Sejauh ini, sukar menegaskan batas-batas wilayah seorang politisi yang sekaligus masih memiliki usaha. Bahkan, jika mereka sudah melepaskan usaha bisnisnya, belum tentu menjamin lolosnya informasi kebijakan atau akses fasilitas khusus yang bisa mendatangkan keuntungan bagi politisi tersebut. Aturan perundangan terperinci, yang mengatur definisi pengusaha politisi dan bagaimana peranan mereka dalam menjalankan bisnis swasta, BUMN, maupun perusahaan negara lainnya, memang belum ada.

Demikian pula aturan sejauh mana bisnis yang dikendalikan para politisi boleh berperan dalam pelaksanaan proyek-proyek yang didanai APBN maupun bantuan independen lainnya. Padahal, di negara lain, seperti Singapura, code of conduct-nya sejak tahun 1954 sudah mengatur larangan menteri terlibat dalam perusahaan komersial swasta maupun negeri, baik dibayar maupun tidak.

Oleh karena itu, wajar bila 77 persen responden menyatakan setuju dengan dibuatnya peraturan yang lebih tegas terkait dengan rangkap jabatan politisi- pengusaha. Jajak pendapat juga merekam penyikapan publik yang cenderung menolak setiap bentuk keterlibatan pejabat publik dalam pengelolaan perusahaan swasta.

Pejabat publik harus konsisten dengan tugas pelayanan kepentingan umum yang mereka jalankan. Sementara jika pengusaha-politikus tetap ingin menjalankan bisnisnya, 87 persen responden menyatakan lebih baik melepas dulu jabatannya.

Terkait dengan kenyataan banyaknya pejabat publik yang aktif mengelola perusahaan swasta, sebanyak 66 persen responden menyatakan tidak setuju. Bahkan, seandainya pejabat itu sekadar memegang jabatan (pasang nama) di sebuah perusahaan swasta pun, 70 persen responden menolak.

Terlepas apakah mereka menerima keuntungan materiil atau tidak, sulit menepis dugaan adanya keuntungan sepihak yang didapatkan. Namun, seandainya politisi memiliki aset/modal di perusahaan swasta dan tidak terlibat di dalamnya, responden masih memberi lampu hijau, lebih dari separuh (55 persen) setuju, sementara 42 persen menolaknya.

Berbagai persoalan yang sejauh ini sudah ditangani para politisi menjadi catatan penting yang disikapi responden. Di benak responden, sejauh ini belum ada prestasi mulus yang berhasil dilakukan politisi untuk memperbaiki kondisi bangsa. Seperti tercermin dari suara responden, kinerja para politisi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan politisi parpol dipandang belum sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Secara umum, 74 persen responden menyatakan tidak puas dengan kinerja para politisi. Kurangnya kedisiplinan anggota DPR dalam menghadiri sidang-sidang DPR, misalnya, patut diduga salah satunya disebabkan sibuknya para wakil rakyat mengurusi bisnis pribadi yang tidak terkait dengan jabatannya sebagai wakil rakyat.

Jika dikaji lebih jauh, kekecewaan publik kepada kinerja politisi terakumulasi pula dari tak terpenuhinya harapan pada janji-janji perbaikan, sepak terjang para politisi DPR, dan kian teralienasinya berbagai pengambilan kebijakan politik.

Secara singkat, kekecewaan itu diungkapkan dengan memburuknya persepsi publik terhadap citra dan kinerja politisi, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Persepsi publik terhadap citra dan kinerja politisi di lembaga DPR bahkan sudah sampai pada titik nadir kekecewaan, hampir terbalik 180 derajat dengan keyakinan awal.

Keyakinan awal bahwa latar belakang politisi sebagai pengusaha profesional yang lincah, ulet, pandai, dan inovatif, yang tadinya diyakini akan menambah nilai positif pelayanan kepentingan umum, runtuh sudah.

Seluruh keyakinan yang tinggi itu perlahan luluh dan berbalik menjadi kekhawatiran bangkitnya kembali perilaku lama dalam sebaran yang justru lebih luas. Singkatnya, publik kini justru khawatir berbagai kelebihan tersebut akan mendatangkan KKN wajah baru yang sama beringasnya dengan masa lalu.

Hanya saja, tampaknya tidak mudah memaksa para politisi melepaskan bisnisnya. Nilai materiil yang dihasilkan bisa jadi memang berkali lipat dibandingkan dengan penghasilan dari jabatan politik. Penilaian responden pun terlihat gamang, 46 persen menilai efektif dan 42 persen menilai tak akan efektif, terhadap aturan soal rangkap jabatan ini.

Tak jelas apakah isu yang bermula dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini akan jadi garapan serius atau sekadar pemanis citra pemerintah. Yang jelas, publik sudah mencium indikasi bahwa rangkap jabatan potensial menghasilkan KKN. (Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, 28 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan