Mengembalikan Martabat DPR

Setengah abad lalu, tepatnya 1953, mendiang Pramoedya Ananta Toer sudah menangkap gejala sosial korupsi yang semula kecil kemudian mewabah luas.

Dalam bukunya Korupsi, dia mengisahkan sosok Bakir, seorang pegawai negeri rendahan yang sudah 20 tahun bekerja dengan jujur, yang tergoda mengambil jalan pintas, seperti yang sudah lebih dulu dilakukan rekan-rekannya. Bakir bosan terus naik sepeda tua yang nikel dan catnya sudah lama kabur digantikan karat di sana-sini.

”Sekarang zaman merdeka. Kalau masih dengan cara kolonial—menunggu kenaikan gaji melulu—awak takkan bisa kaya.” Pikiran itu yang membawa Bakir ke penjara. Dia pun tidak sanggup lagi memandang istrinya dengan tegak dan merasa tidak layak ketika empat anaknya hendak mencium lututnya.

Kini kisah Bakir masih juga hadir. Banyak wakil rakyat yang sudah terjerat. Partai nasionalis, religius, semua terwakili tanpa kecuali, meringkuk di balik terali. Namun, beda dengan Bakir, mereka tergolong orang berpunya.

Seorang anggota DPR, dalam perbincangan dengan Kompas, jujur mengakui bahwa uang yang diberikan negara sesungguhnya sudah lebih dari cukup.

Gaji pokok, tunjangan istri, anak, dan uang kehormatan Rp 16 juta per bulan. Tunjangan listrik dan telepon sekitar Rp 11 juta per bulan. Ditambah lagi tunjangan komunikasi intensif, sekitar Rp 17 juta. ”Total Rp 44 juta masuk rekening tabungan Mandiri dalam tiga tahap,” paparnya.

Saat menjadi panitia khusus pembahasan rancangan undang-undang, anggota DPR juga mendapat Rp 5 juta dipotong pajak 15 persen.

”Kalau rapat di luar Jakarta, juga dapat sekitar Rp 400.000 per hari. Makanya, rapat sering diadakan di Bekasi, Tangerang, Bogor,” ucapnya berterus terang.

Setiap kunjungan kerja komisi di luar masa reses Rp 4 juta-Rp 5 juta. Begitu juga kunjungan kerja komisi masa reses. Ada juga uang reses Rp 30 juta-Rp 40 juta per orang, ditambah tunjangan transpor dan akomodasi sekitar Rp 10 juta.

Ada lagi kunjungan kerja pribadi di luar reses dan di luar komisi sekitar Rp 7 juta, enam kali setahun. Belum lagi kalau ke luar negeri, dapat uang tiket kelas bisnis, tetapi biasanya ditukar kelas ekonomi, sehingga ada sisa separuhnya, ditambah uang representasi 200-300 dollar AS per hari. Dalam setahun, bisa lebih dari satu kali ke luar negeri.

”Gaji dan tunjangan DPR itu sudah berlebih. Total bisa Rp 60 juta per bulan. Setelah dipotong untuk keperluan konstituen, masih sisa Rp 25 juta-Rp 30 juta,” ujarnya.

Bersihkan ”sapu kotor”
Ironisnya, DPR yang sudah diberi anggaran besar itu dan terus naik dari tahun ke tahun justru larut melakukan penyimpangan. Indonesia Corruption Watch mengibaratkan ”sapu yang kotor”.

Modusnya, jual-beli pasal, menerima uang dari penguasa dan pengusaha, atau menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Korupsi di DPR ini harus diberantas sampai ke akarnya karena DPR memiliki fungsi pengawasan. ”Tidak mungkin kita bersih-bersih kalau sapunya kotor,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ibrahim Zuhdi Fahmi Badoh.

Anggota DPR sesungguhnya memiliki banyak informasi atau data indikasi penyimpangan yang dilakukan eksekutif, misalnya, temuan Badan Pemeriksa Keuangan.

Namun, karena banyak yang menerima ”amplop” dari eksekutif, pengawasan menjadi tidak efektif.

Menurut Fahmi, undang-undang nanti harus mengatur lebih jelas, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan DPR. Sistem keuangan pun harus independen, transparan, dan mudah dikontrol masyarakat.

Sebaliknya, partai politik juga tidak boleh lagi menjadikan anggota DPR sebagai mesin pemberi uang dan memproteksi masuknya kepentingan-kepentingan bisnis.

Secercah harapan
Setelah reformasi bergulir 10 tahun lebih, banyak pihak mulai pesimistis. Namun, perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD sedikit memberi harapan.

Pansus yang dipimpin Ganjar Pranowo (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) itu mencoba membangun kredibilitas DPR yang sudah hancur lebur dengan memasukkan materi-materi pasal progresif.

Menurut Wakil Ketua Pansus Hajriyanto Y Thohari, pengelolaan keuangan DPR akan dibuat lebih mandiri, transparan, dan dikelola profesional oleh sebuah badan khusus. Penggunaan anggaran pun harus dipertanggungjawabkan sesuai biaya, bukan lagi gelondongan.

Pemeriksaan anggota DPR pun tidak lagi harus meminta izin Presiden, tetapi cukup memberitahukan pimpinan DPR untuk kasus korupsi, terorisme, atau tertangkap basah.

”Anggota Dewan yang menjadi tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun pun tanpa harus menunggu keputusan pengadilan berkekuatan tetap dapat langsung diberhentikan menjadi anggota DPR berdasarkan pemeriksaan Badan Kehormatan DPR yang disetujui di Paripurna,” papar Hajriyanto.

Badan Kehormatan juga bisa mengusulkan pemberhentian anggota Dewan yang dalam waktu tiga bulan berturut-turut tidak bisa melaksanakan tugas sebagai anggota DPR, misalnya, sedang dalam penahanan.

Apakah UU Susduk DPR nanti benar-benar sesuai harapan? Sejarah akan mencatat apakah di pengujung jabatan, mereka mampu mengembalikan DPR sebagai lembaga yang bermartabat atau malah semakin banyak dihujat.[Sutta Dharmasaputra]

Sumber: Kompas, 24 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan