Mengembalikan Manajemen Sekolah kepada Masyarakat

Kunci pemberantasan korupsi di wilayah sekolah adalah partisipasi masyarakat. Masyarakat yang terlibat aktif dalam penyusunan anggaran dan belanja sekolah (APBS) dan cerdas mengawasi pengelolaan anggaran, dapat menghapus potensi korupsi di sekolah.

Keterlibatan masyarakat yang berdampak positif telah dibuktikan di Sekolah Dasar Negeri Tegal Gede 2, Kabupaten Garut. Kepala sekolah SD tersebut, Ade Manadin, mengatakan, kondisi sekolah yang berlokasi di desa terpencil itu kini sangat nyaman sebagai sarana belajar siswa. Bangunan sekolah layak huni, fasilitas juga mencukupi. Dari segi nonfisik, guru-guru yang mengajar mendapat honor layak, meski belum terdaftar sebagai pegawai negeri.

Kondisi ideal itu tercapai berkat keberhasilan sekolah mengelola dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikucurkan pemerintah. Menyiasati dana yang seringkali tidak mencukupi, Ade mengikutsertakan masyarakat untuk turut membangun sekolah. "Masyarakat bergotong-royong membangun gedung sekolah setelah mengatahui secara rinci kebutuhan sekolah dan kondisi keuangan sekolah," ujar Ade dalam Diskusi Publik Melawan Korupsi Membangun Demokrasi di Sekolah dan peluncuran buku: Sekolah Harapan, Sekolah Bebas Korupsi di kantor Kemendiknas, Jakarta, Rabu (9/2).

Partisipasi publik dalam pengelolaan sekolah menjadi salah satu cara pencegahan penyelewengan anggaran dana. Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik yang juga penulis buku "Sekolah Harapan, Sekolah Antikorupsi" menambahkan, diperlukan aktor-aktor aktif di sekolah untuk menjamin transparansi dana sekolah. "Melibatkan kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan masyarakat dalam penyusunan RAPBS partisipatif," ujar Ade Irawan.

APBS yang disusun bersama-sama, dengan pengawasan ketat, akan membuahkan pendidikan berkualitas. ICW, kata Ade, telah bekerjasama dengan sejumlah pihak untuk menyelenggarakan pelatihan penyusunan RAPBS partisipatif di sejumlah daerah.

Sekjen Transparansi International Indonesia yang juga mantan guru sekolah menengah, Teten Masduki menyatakan perlunya debirokratisasi pendidikan agar masyarakat diberikan partisipasi yang lebih luas dalam membangun sekolah yang partisipatif. Ia berpendapat korupsi dimulai adanya sentralisasi kekuasaan. Terjadinya dominasi kepala sekolah terhadap guru dan lemahnya partisipasi masyarakat mengakibatkan dana dana yang mengalir ke sekolah menjadi ladang korupsi. "Ada baiknya bila pemerintah hanya mengatur perihal anggaran dan standardisasi. Sementara manajemen sekolah diambil-alih oleh masyarakat," tukas Teten.

Sementara, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyatakan apa yang dilakukan ICW patut ditiru pemerintah daerah dan ratusan ribu sekolah lain di Indonesia. "ICW masuk ke dalam jantung satuan pendidikan menggerakan kesadaran aktif para pemangku kepentingan pendidikan terdekat untuk ikut mengawal secara aktif pengelolaan sekolah yang partisipatif," kata Fasli. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan