Mengejar Bandar Cek Pelawat
KPK secara resmi telah menjadikan Nunun Nurbaeti sebagai tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Untung saja penyakit lupa ala Nunun tidak menular ke Institusi ini.
Digadang–gadang sebagai operator pemenangan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004, akhirnya KPK menetapkan Nunun sebagai tersangka sejak Februari yang lalu . Hal itu diungkapkan pimpinan KPK saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, Senin (23/5)
Nunun diduga menyebarkan sebanyak 480 lembar Traveller Cheque (Cek Pelawat) kepada para Anggota DPR sebagai kompensasi kemenangan Miranda. Alhasil, praktek korup ini sudah menjerat setidaknya 30 Anggota DPR RI periode 1999-2004. Empat diantaranya sudah divonis bersalah.
Sulit dibantah, bahwa perjalan kasus Cek Pelawat ini penuh intrik dan dinamika. Persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Walau hanya berperan sebagai “kurir”, pada kenyataannya KPK baru menetapkan Nunun sebagai tersangka, 4 bulan yang lalu. Padahal, kasus ini sudah dibocorkan oleh Agus Condro kepada KPK, sejak pertengahan 2008 silam. Bahkan, dimata publik KPK seolah lebih sulit menaklukkan Nunun dibanding 30 mantan politisi.
Jika didiagnosa, sulitnya menjerat Nunun dikarenakan dua hal. Pertama, kuatnya jaringan mafia bisnis yang mencoba melidungi yang bersangkutan. Wajar saja, peran sederhana Nunun berbanding terbalik dengan pentingnya rahasia yang ia miliki. Maka dipastikan, kelompok ini sangat berkepentingan untuk menjaga Nunun agar selalu tutup mulut, sehingga kejahatan sistematis yang ia lakukan tidak terbongkar.
Persoalan kedua muncul dari internal KPK sendiri. Dalam kacamata yang sederhana, amat mudah membaca titik konflik yang terjadi di institusi ini. Para penyidik yang berasal dari instutusi Kepolisian “terjebak” pada kondisi, untuk meneruskan kasus ini dengan resiko harus berhadapan dengan sisa-sisa pengaruh suami Nunun, yang notabene merupakan bekas orang nomor dua di Kepolisian. Akhirnya terjadi konflik kepentingan dalam penanganannya.
Maka peran Adang Daradjatun sebagai suami Nunun akan teramat dibutuhkan membantu kerja-kerja penyidik di KPK. Ambil contoh yang paling sederhanya, bantuan untuk memulangkan Nunun ke Indonesia. Peran ini tidak hanya bermakna mempermudah kerja penyidik, akan tetapi hal ini bermakna “lampu hijau” bagi penyidik KPK yang selama ini “gamang”memproses Nunun.
Pada titik ini, Kenegarawan Adang tengah diuji. Sebagai bekas Jenderal, dan orang yang sedang duduk di Komisi Hukum seharusnya beliau menunjukkan cara berhukum yang baik kepada publik. Termasuk ketika proses hukum yang menjerat istrinya sendiri. Adang pun tentunya tidak perlu gusar, jika merasa istrinya tidak memiliki peran sentral dalam kasus ini.
Mafia Bisnis
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memulangkan Nunun ke Indonesia. Mulai dari meminta bantuan keluarga, seperti opsi diatas. Jika tidak memungkin bisa dengan mencabut paspor yang bersangkutan hingga pada meminta bantuan Interpol. Namun hal itu hanyalah persoalan teknis semata.
Tantangan terbesar bagi KPK justru pada upaya untuk menjerat mafia bisnis dibalik skandal Cek Pelawat ini. Kelompok tersebut dipastikan bukan sembarangan orang. Mereka dicurigai merupakan jejaring besar yang ingin mengamankan kepentingan bisnisnya dengan cara “menanam” Miranda di Bank Indonesia.
Lihat saja kewenangan Dewan Gubernur dalam UU Bank Indonesia yang diataranya meliputi: menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran hingga mengatur dan mengawasi bank. Setidaknya kewenangan terakhir, dalam hal pengawasan bank yang menjadi incaran para mafia tersebut. Maka tidak heran, 24 Milyar siap digelontorkan untuk memenangkan Miranda.
Sesunguhnya angka 24 M untuk memenangkan Miranda tergolong jumlah yang sangat kecil, dibanding apa yang mereka peroleh. Akumulasi keuntungan yang diperoleh teramat besar, dengan jalan memandulkan fungsi pengawasan BI. Sehingga akibatnya kejahatan perbankan menggurita, mulai dari Century, City Bank hingga Bank Mega yang nilainya Triliunan rupiah.
Oleh karena itu, kasus Cek Pelawat ini mutlak harus dituntaskan dengan dengan menjerat semua pihak. Mulai dari penerima, operator hingga penyumbang dana. Tujuannya jelas, untuk melindungi publik dari kejahatan perbankan. Jika tidak, dipastikan kejahatan-kejahatan yang sama akan menjadi cerita berulang.
KPK punya tanggungjawab untuk memutus mata rantai para mafia bisnis tersebut. Institusi ini harus melawan hegemoni kekuasaan tak terlihat, yang mengatur kekuasaan pengambil kebijakan di negara ini (shadow state).
Kasus Cek Pelawat ini, merupakan bentuk ujian yang konkrit untuk itu. KPK harus mampu mengkonversi keterangan pihak-pihak yang terlibat, sehingga mengerucut pada “bandar Utama”. Nunun sebagai operator tentunya tahu, dia bekerja untuk siapa. Atapun Miranda besar kemungkinan tau, siapa yang menjadi donatur terpilihnya ia sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Apalagi yang bersangkutan sudah mengakui dalam persidangan Panda Nababan cs yang lalu (25/5), bahwa ia yang menginisiasi pertemuan dengan anggota Komisi IX PDIP, tujuh tahun yang lalu.
Jika masih kurang, KPK bisa menggandeng PPATK untuk menggali lebih dalam lagi kesaksian yang pernah menyebutkan bahwa 480 lembar Cek Pelawat, senilai 24 M dipesan Oleh Artha Graha. Persis senilai yang dibagi-bagikan kepada para politisi.
Praktis yang ditunggu saat ini adalah keberanian KPK. Hanya ada dua opsi bagi KPK. Memakan atau justru dimakan oleh mafia.
Oleh: Donal Fariz, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 31 Mei 2011