Mengebiri KPK Jilid II

Upaya KPK memberantas korupsi ternyata mendapatkan perlawanan balik dari para koruptor. Hal ini ditandai dengan dilakukannya uji materiil terhadap penjelasan pasal 2 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah UU No 20/2001 oleh Dawud Jatmiko (karyawan PT Jasa Marga yang tersangkut perkara dugaan korupsi dan sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur).

Melalui putusan MK No 003/PUU-UK/2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan penjelasan kalimat pertama pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 sepanjang frase secara melawan hukum bertentangan dengan pasal 28D dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Belum selesai perdebatan mengenai putusan MK tersebut -Kejaksaan Agung melalui jaksa agung menyatakan bahwa putusan MK itu sebagai hari besar koruptor-, kini kembali diajukan permohonan uju materiil terhadap pasal 6c, 12 ayat (1) huruf a, pasal 40, pasal 70, dan pasal 72 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun, yang paling krusial adalah pasal 12 ayat (1) huruf a yang berbunyi,Dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan.

Pasal itu dianggap bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi, mengembangkan kepribadiannya, serta mendapatkan perlindungan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi.

Permohonan pengujian materiil oleh Mulyana W. Kusuma terhadap pasal-pasal UU KPK itu merupakan upaya perlawanan balik para koruptor terhadap KPK. Mulyana adalah korban pertama dari wewenang KPK untuk menyadap dan merekam pembicaraan orang-orang yang diduga terlibat korupsi. Mulyana dijebak di sebuah hotel dalam upaya menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman.

Aksi Ekstra
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan mana pun. Salah satu cara yang cukup efektif ialah merekam dan menyadap pembicaraan orang-orang yang diduga melakukan korupsi.

Kasus lain yang dilakukan KPK adalah penyadapan pembicaraan Harini Wijoso dengan Pono Waluto (pegawai MA). Dalam penyadapan dan perekaman tersebut, terbukti adanya upaya Harini Wijoso, mantan pengacara Probosutedjo, untuk menyuap Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Hasil penyadapan tersebut diperdengarkan di persidangan. Tentunya, bukti rekaman penyadapan tersebut akan memperkuat pembuktian oleh KPK.

Ada beberapa alasan pembenar sehingga KPK harus diberi wewenang untuk menyadap dan merekam pembicaraan. Pertama, KPK tidak diperbolehkan mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan. Karena itu, KPK membutuhkan alat bukti yang kuat terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Kedua, KPK menghadapi korupsi yang sudah complicated dan susah untuk diberantas sehingga perlu langkah-langkah pengumpulan alat bukti yang luar biasa pula sebagai langkah ekstra.

Ketiga, UU membolehkan dilakukannya penyadapan tersebut. UU yang membolehkan penyadapan bukan hanya pasal 12 ayat (1) huruf a, tetapi juga UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi. Pasal 42 ayat (2) menegaskan bahwa memungkinkan penyelenggara jasa telekomunikasi merekam informasi atas permintaan instansi penegak hukum.

Keempat, penyadapan dan perekaman pembicaraan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi itu dilakukan dalam rangka kepentingan penegakan hukum (law full intersection).

Tidak Perlu Takut
Bila MK kembali mengabulkan permohonan uji materiil terhadap UU No 30/2002 tentang KPK, khususnya wewenang untuk menyadap dan merekam pembicaraan, itu akan mengebiri KPK jilid II.

Peristiwa itu akan menjadi sejarah buruk dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Para koruptor akan berlenggang bebas karena aparat penegak hukum, khususnya KPK, semakin sulit melakukan pembuktian.

Kewenangan KPK dalam menyadap dan merekam pembicaraan tidak perlu ditakuti secara berlebihan dan terkesan bahwa KPK menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.

Kalau memang seseorang tidak terlibat dalam korupsi, dia tidak perlu khawatir menjadi sasaran penyadapan dan perekaman. Selain itu, penyadapan dan perekaman tidak dilakukan secara acak dan sewenang-wenang tanpa kontrol. Sebelum melakukan itu, KPK pasti telah memiliki bukti permulaan dan laporan dari masyarakat tentang adanya dugaan korupsi oleh orang yang akan dijadikan sasaran.

Penyadapan dan perekaman itu tidak dilakukan sendiri oleh KPK. Dalam pelaksanaannya, KPK akan bekerja sama dengan lembaga lain. Hal itu bisa dilihat dengan keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No 43/ 2006 tentang Penyadapan Legal secara Hukum.

Hal tersebut membuktikan bahwa wewenang yang dimiliki KPK itu tidak akan mudah untuk disalahgunakan. Kita harus memberikan apresiasi positif dalam upaya-upayanya memberantas korupsi.

H Mutammimul Ula, anggota Komisi III Fraksi PKS DPR RI

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan