Mengawasi Pengadilan:

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Apabila diperhatikan Pasal 5 (1) UU No. 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum) dinyatakan pembinaan teknis peradilan bagi pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung berdasarkan UU No.14 Tahun 1985 merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terlepas dari Intervensi Pemerintah maupun intervensi lainnya. Dalam Pasal 32 (1) UU No. 14 Tahun 1985 dinyatakan Mahkamah Agung melaksanakan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan mengenai tingkahlaku hakim dalam melaksanakan tugasnya di semua lingkungan peradilan di Indonesia. Tetapi dalam penerapan hukum sampai kepada lembaga tertinggi ini (Mahkamah Agung) putusan-putusan yang diambil kurang mengena di hati masyarakat, banyak putusan-putusan pengadilan yang dirasakan tidak ada manfaat dan kegunaannya bagi pencari keadilan sebab setelah putusan dijalankan banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh para pencari keadilan, untuk itu dalam Era Reformasi ini yang perlu diperbaiki adalah sistem hukumnya sehingga pencari keadilan merasakan manfaat dan kegunaan dari putusan-putusan tersebut.

Menata penyusunan kembali peradilan di Indonesia tidaklah mudah, karena kesemuanya itu terkait kepada sistem hukum yang mengaturnya, memperbaiki sistem hukum memerlukan waktu perjalanan yang panjang karena semua yang terkait didalam sistem hukum tersebut harus dibenahi kembali, antara lain struktur hukumnya, substansi hukumnya, budaya hukumnya serta aparatur penegak hukumnya, kesemuannya itu harus dijalankan dengan seimbang dan selaras.

Berdasarkan uraian tersebut diatas timbul masalah bagaimana mengawasi pengadilan dan apa landasan hukumnya serta bagaimana kegunaannya dalam Reformasi peradilan.

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung bertugas :
1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan.
2. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya.
3. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan.
4. Memberi petunjuk, teguran atau pernyataan yang dipandang perlu kepada pengadilan.
Jika diperhatikan tugas Mahkamah Agung tersebut didalam mengawasi pengadilan di Indonesia secara akademis belumlah dijalankan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh Undang-Undang. Selama ini Mahkamah Agung baru melaksanakan tugasnya jika ada laporan/pengaduan yang sampai ke Mahkamah Agung dengan bukti yang jelas/akurat baru laporan/pengaduan tersebut diperhatikan atau di proses, namun dalam era reformasi sekarang ini dimana masyarakat sudah mulai kritis atau pro aktif memberikan informasi atau laporan-laporan ke Mahkamah Agung mengenai tingkah laku hakim dalam melaksanakan tugasnya di pengadilan sehingga Mahkamah Agung sudah mulai aktif menanggapi semua laporan-laporan dan pengaduan-pengaduan yang sampai kepadanya.

Di dalam Reformasi peradilan ini pengawasan pengadilan tidak saja harus dilakukan oleh Mahkamah Agung tetapi juga oleh masyarakat, karena masyarakat dapat berperan aktif membantu pengawasan pengadilan dengan memberikan informasi dalam pelayanan jika ada perlakuan-perlakuan penegak hukum yang menyimpang dalam mengadili/memproses maupun membut suatu putusan hakim.
Kegunaannya pengawasan dalam Reformasi peradilan dengan mengikut sertakan peran masyarakat dalam memberikan informasi untuk penegakan hukum maka keadilan responsif akan dapat tercapai dengan baik.
Di dalam penegakkan hukum menurut pendapat kami yang penting untuk dibenahi adalah SDM-nya sebab ada hakim yang nakal di dalam penegakan hukum, tetapi banyak juga yang baik.

Contoh : kasus Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Lampung. Dimana hakim telah membebaskan Tersangka dalam kasus korupsi sebesar Rp. 1.36 milyar dari tahanan.

Alasan hakim: Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi yang didalilkan Jaksa menahan Tersangka tidak berlaku lagi, begitu juga penggantinya, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, termasuk KUHAP, tidak satu pasal pun mengatur kewenangan Jaksa melakukan penahanan terhadap Tersangka korupsi.

Kewenangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 8 UU No. 8 Tahun 1981, ada ditangan pihak Kepolisian, sedangkan Kejaksaan sesuai dengan UU No. 51 Tahun 1991 hanyalah melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, melengkapi berkas pemeriksaan atau melakukan pemeriksaan tambahan dan melaksanakan ketetapan hukum dan karena bukan tugasnya, maka penahanan tersangka oleh Jaksa harus dinyatakan tidak sah.

Kasus tersebut diatas merupakan salah satu Reformasi peradilan yang diterapkan oleh hakim berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP dan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa yang berhak melakukan penyidikan adalah Polisi, bukan Jaksa.

Kemudian dalam Reformasi penegakkan hukum di pengadilan dalam kasus-kasus sengketa perdata Mahkamah Agung juga sudah mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2003 yang isinya mewajibkan Hakim mengupayakan perdamainan dalam sengketa perdata sebelum perkara diproses.

Perma ini menurut Ketua Mahkamah Agung merupakan tahap pramediasi yang diucapkan pada sidang perdana dan hakim wajib menunda proses persidangan untuk memberikan kesempatan menempuh mediasi dan hakim juga wajib memberikan penjelasan saat prosedur dan biaya mediasi. Para pihak yang bersengketa wajib berunding untuk menentukan mediatornya baik dari dalam maupun luar pengadilan, kalau meminta ke pengadilan Ketua Pengadilan akan menunjuk satu atau dua orang hakim menjadi mediator yang syaratnya tidak boleh hakim yang menangani gugatan perdata. Perdamaian ini harus dicapai paling lambat 30 hari kerja. Proses mediasi ini terbuka untuk umum, kecuali sengketa publik, misalnya masalah lingungan hidup.

Setelah 30 hari tadi para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim yang menangani kasus sengketa tersebut, kalau perdamaian tercapai kesepakatan itu dibuat didalam suatu ketetapan dengan akta perdamaian, tetap kalau tidak tercapai mediator wajib memberi tahukan kegagalan itu secara tertulis pada Hakim guna melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum.

Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 tersebut merupakan salah satu Reformasi dalam peradilan, guna menata kembali proses peradilan yang benar-benar objektif sehingga dapat tercapainya keadilan yang responsif.

Didalam mencapai suatu keadilan yang responsif tersebut menurut hemat kami perlu diperbaiki seluruh sistem hukum yang ada di Indonesia, karena sistem hukum yang di tata selama ini keadilan yang ada didalamnya lebih banyak nuansa-nuansa politik ketimbang hukumnya. Dengan mempergunakan landasan hukum yang sudah ditata kembali dengan baik, manfaat putusan-putusan hakim akan dirasakan oleh masyarakat.

(Oleh: Prof. Dri. Ediwarman, SH. M. Hum)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan