Mengawasi E-procurement, Mencegah Korupsi

Indonesia Corruption Watch mendukung pelaksanaan pengadaan barang/ jasa secara elektronik, atau lazim disebut electronic procurement (e-procurement). Namun, e-procurement tetap perlu diawasi agar tidak terjadi korupsi. Maka, ICW meluncurkan metode pengawasan e-procurement yang dapat digunakan masyarakat untuk memastikan prosesnya berjalan terbuka dan bertanggungjawab.

ICW juga mengungkapkan hasil uji coba metode pengawasan ini di enam daerah yang menggunakan sistem e-procurement. Metode pengawasan diwujudkan dalam bentuk website opentender.net, yang dapat digunakan para pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk masyarakat.

Membangun pemahaman masyarakat tentang pentingnya mengawasi sekaligus mencegah korupsi dalam e-procurement dilakukan ICW melalui Seminar Penguatan Masyarakat untuk Mengawasi Pengadaan Barang/ Jasa Secara Elektronik pada 20 Maret 2013 di Jakarta, bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) didukung The Asia Foundation (TAF).

E-procurement adalah inisiatif pemerintah sejak 2010 untuk mengatasi berbagai penyimpangan dalam pengadaan barang/ jasa secara tradisional. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, 77% kasus yang KPK tangani adalah korupsi terkait pengadaan barang dan jasa.

Danang Widoyoko, Koordinator ICW, membuka seminar. ”ICW prihatin akan maraknya korupsi di bidang pengadaan,” katanya. “Misalnya simulator SIM dan PON Riau. Ini tender-tender proyek pengadaan pemerintah. Karena itu, sederhananya, kalau ingin berantas korupsi, yang harus diperbaiki adalah pengadaan barang dan jasa,” ungkapnya.

Menurut Danang, upaya perbaikan sudah mulai ada. “Ada semangat transparansi. Terutama oleh LKPP, dimana pengadaan dibuat secara elektronik, dan bisa kita akses semuanya.” Danang menegaskan, peran ICW hanya untuk memudahkan membaca data-data tender, lewat pelatihan, seminar, dan website pemantauan. “Kami hanya membantu memetakan mana tender-tender yang sangat rawan. Walau belum korupsi, tapi kalau dicermati, bisa mengarah ke korupsi,” ujar Danang.

Ikak G Patriastomo, Deputi Monev dan Pengembangan Informasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), menjelaskan pentingnya e-procurement. “Yang menjadi hiruk pikuk pengadaan biasanya ’kan di proses lelang. Di titik lelang itulah kami mencoba mengganti proses manual menjadi elektronik,” kata Ikak.

Menurut Ikak, “Sekarang, kita tidak bisa dihalangi untuk tahu apa yang terjadi dalam proses lelang. Ini adalah perubahan yang luar biasa. Kita bisa mengakses dan mengetahui keseluruhan proses lelang. Transparansi yang luar biasa ini harus kita dorong.”

Ikak menegaskan bahwa besaran dana e-procurement masih memprihatinkan, baru 150 triliun dari keseluruhan anggaran pengadaan 500 triliun. “Kita berharap tahun ini bisa lebih besar. Kalau manfaatnya sebegitu besar dari aspek transparansi, efisiensi dan transaksinya, lalu kenapa semua orang tidak menggunakan? Karena secara proses, jadi tidak ada lagi alasan untuk tidak menggunakan sistem ini. Kita boleh curiga bagi yang tidak menggunakan e-procurement, apakah punya atau kepentingan di luar kepentingan pengadaan,” tegas Ikak serius.

Apalagi, manfaat e-procurement bagi panitia pengadaan barang/ jasa tidak kecil. “Peluang keliru pun semakin sempit. Maka kalau tidak menggunakan sistem ini, masalahnya apa, ya?” tanyanya pada hadirin yang tersenyum. “Prakteknya,” lanjut Ikak, “manipulasi dokumen penawaran kerap terjadi dalam pengadaan. Dengan sistem elektronik ini, yang kita desain supaya masing-masing pihak tidak “bersentuhan”, maka integritas informasi ini dapat kita jaga bersama-sama.”

Melalui e-procurement, pengawasan juga jadi lebih mudah karena semua rincian terekam. “Artinya, pengawasan dari BPK, inspektorat, kejaksaan, kepolisian, dan KPK, bisa lebih efektif. Pengadaan di Indonesia bisa 20 sampai 30 ribu per tahun. Siapa yang mampu mengawasi itu semua? Kalau hanya berharap dari pemerintah, rasanya terbatas. Kami berharap masyarakat dapat ikut serta mengawasi. Ada potensi masyarakat untuk berperan mengawasi sehingga proses pengadaan tidak main-main.”

Agus Sunaryanto, peneliti ICW, menilai bahwa pengawasan e-procurement adalah kegiatan positif. “Penting untuk pemerintah karena pemerintah melakukan belanja pembangunan. Penting untuk masyarakat karena output-nya adalah pelayanan publik. Untuk dunia usaha, ini menciptakan kompetisi yang sehat,” kata Agus.

Pengadaan konvensional, menurut Agus, menyimpan banyak potensi penyimpangan. Agus menambahkan, “Sudah banyak riset bahwa e-procurement membuat penghematan (saving). Ada efisensi bagi pemerintah daerah. E-procurement juga bisa mengurangi penyimpangan.”

“ICW meneliti enam daerah yang melakukan e-procurement,” jelas Agus, “Di Makassar, Madiun, Kebumen, Tangerang Selatan, NTB dan DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan, ada peserta lelang yang jumlahnya kurang dari tiga di setiap daerah. Kemudian, saving (persentase nilai kontrak terhadap Harga Perkiraan Sendiri atau HPS) yang kecil.”

Penelitian juga menunjukkan 10 perusahaan dengan jumlah kemenangan paling banyak. “Ada perusahaan yang bisa menang 30 sampai 50 kali di seluruh Indonesia dalam setahun. Ada yang katanya sudah selesai ternyata belum, ada yang katanya dikerjakan tapi ketika ke lapangan cuma ada plangnya saja, padahal pekerjaannya belum ada sama sekali. Ini yang sedang kami telusuri,” tambah Agus prihatin.

ICW mendukung pengawasan e-procurement untuk meminimalisir berbagai penyimpangan lain di masa mendatang, lewat opentender.net. Agus berharap agar opentender.net tidak hanya dipakai masyarakat sipil, tapi juga pemangku kepentingan. “Misalnya LKPP, BPK, BPKP dan KPK. Metode pengawasan ini dapat dipakai untuk melihat potensi pengadaan yang terindikasi korupsi,” tambahnya bersemangat.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan