Mengawal Reformasi Hukum

TERHITUNG sejak September 2015 pemerintahan Jokowi-JK sudah mengeluarkan 13 paket kebijakan ekonomi. Dimulai dari upaya mempercepat proses perizinan, meningkatkan investasi, sampai ke mempercepat pembangunan nasional. Tentu kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan harus juga dibarengi dengan memperkuat kualitas hukum di Indonesia.
 
Berkaca pada penegakan hukum di Indonesia selama ini, rasanya tak salah jika fokus pemerintahan saat ini adalah mengeluarkan paket reformasi hukum. Prinsip equality before the law jelas belum dirasakan oleh masyarakat. Bahkan anekdot yang mengatakan bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah semakin berkembang di pikiran masyarakat.
 
Dengan dikeluarkan paket reformasi hukum ini diharap bisa menjadikan kualitas hukum menjadi lebih kuat.  Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu dan tentu akan berdampak negatif dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
 
Setidaknya ada tiga hal yang bisa merefleksikan kondisi hukum saat ini. Pertama, banyaknya kasus yang masih mangkrak di aparat penegak hukum. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam kurun waktu 2010-2015 terdapat 755 kasus tindak pidana korupsi, sedangkan yang naik ke tahap penuntutan hanya berjumlah 156 kasus. Kedua, penegakan hukum yang masih lemah. Ini dibuktikan dari data Rule of Law Index pada tahun 2015, Indonesia baru mencapai angka 0,52 poin, atau menduduki peringkat 52 dari 68 negara di dunia.
 
Belum lagi jika dikaitkan dengan indeks persepsi korupsi yang sampai saat ini belum juga membaik. Indonesia menduduki peringkat 88 dari 168 negara pada tahun 2015, dengan nilai indeks sebesar 36. Ketiga, masih terjadi inkonsistensi hukum di Indonesia. Ini berarti masih sering didapatkan substansi dalam peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron atau bertentangan, baik secara vertikal maupun secara horizontal.
 
Tiga poin di atas harus bisa dijawab oleh paket reformasi hukum yang telah dirancang pemerintah. Dengan tegaknya supremasi hukum dalam masyarakat, maka hukum akan benar-benar berfungsi sebagai rambu-rambu dan sekaligus bisa dijadikan pedoman bagi semua pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat umum.
 
Fokus reformasi hukum
Hukum pada dasarnya bisa dijadikan suatu alat efektif untuk pencapaian tujuan nasional. Namun tujuan dari hukum itu sering kali tidak seperti yang diharapkan, hal itu disebabkan karena banyaknya faktor baik yang berasal dari dalam sistem hukum maupun di luar sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum itu sendiri.
 
Arah fokus reformasi hukum kali ini menitikberatkan ke 3  poin. Pertama, pemangkasan regulasi yang salah sasaran atau tumpang tindih. Selain dari itu, jumlah regulasi di Indonesia dinilai terlalu banyak, terbukti terdapat 60.263 regulasi yang tidak tepat sasaran atau tumpang tindih. Pemangkasan regulasi yang dinilai salah sasaran ini menjadi penting karena dapat menjamin kepastian hukum di masyarakat.
 
Kedua, pembenahan lembaga dan memperbaiki kinerja dari aparat penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum, ditambah lagi dengan judicial corruption yang belakangan semakin mewabah di Indonesia.
 
Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia, karena para penegak hukum yang seharusnya menjadi corong keadilan justru terlibat dalam praktik korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut terlibat menciptakan wilayah hukum yang bersih. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan jika lembaga-lembaga hukum bertindak profesional, jujur, dan menjunjung nilai-nilai antikorupsi.
 
Ketiga, menciptakan budaya hukum di masyarakat. Perlu diingat bahwa sebaik apapun hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum, yakni berupa nilai, pandangan, serta sikap dari sebuah masyarakat.
 
Pasca kejadian Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan kemarin, semakin menegaskan bahwa budaya hukum telah diabaikan. Praktik-praktik pungli yang sudah terjadi sejak lama membuktikkan bahwa terdapat kesalahan pemahaman tentang budaya hukum di masyarakat dan aparat pemerintah. Jika ini terus diabaikan, niscaya akan terjadi keruntuhan kepercayaan kepada hukum di Indonesia.
 
Agenda antikorupsi
Program-program reformasi hukum yang mulai dilaksanakan oleh pemerintah tentu harus diapresiasi, setidaknya pemerintah menyadari bahwa membangun suatu negara tidak bisa hanya mengandalkan pembangunan dalam wilayah ekonomi, tapi juga harus diikuti dengan membangun wilayah hukum.
 
Reformasi hukum kali ini juga harus bisa mengakomodasi agenda-agenda antikorupsi. Publik tentu sadar bahwa saat ini budaya yang paling melekat dengan Indonesia adalah budaya korupsi. Korupsi bisa menjadi batu sandungan dari keseluruhan agenda-agenda pemerintah, baik pembangunan ekonomi maupun upaya penegakan hukum.
 
Setidaknya ada tiga langkah yang bisa diambil oleh pemerintah dalam kaitan program antikorupsi. Pertama, memastikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin diperkuat. Dalam catatan ICW, setidaknya terdapat 2 kali upaya pelemahan KPK di era pemerintahan Jokowi-JK (Oktober 2015 dan Februari 2016). Itu semua dilakukan dengan cara merevisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimulai dari upaya pembentukkan dewan pengawas, mekanisme penyadapan, sampai ke kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
 
Kedua, menyamakan komitmen antikorupsi di seluruh jajaran pemerintahan. Masyarakat tentu masih mengingat bagaimana Menkumham yang berniat untuk merevisi aturan terkait remisi untuk narapidana kasus korupsi. Hal-hal seperti ini tentu harus ditindak tegas oleh Presiden, karena bisa mencerminkan sikap yang tidak jelas dari pemerintah dalam memandang usaha pemberantasan korupsi.
 
Ketiga, memprioritaskan regulasi-regulasi penting yang mendukung upaya pemberantasan korupsi. Terhambatnya pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset serta tidak maksimalnya implementasi aturan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dalam hukum positif Indonesia harus menjadi perhatian pemerintah. Regulasi-regulasi yang mengakomodasi kepentingan antikorupsi baiknya segera dilaksanakan demi keberlangsungan agenda reformasi hukum.
 
Reformasi hukum yang baik adalah reformasi yang dilakukan secara menyeluruh, baik dari lembaga penegak hukum, aparat penegak hukum, dan budaya masyarakat. Dalam hal ini presiden harus membuktikan bahwa agenda Nawacita yang menjamin kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya dapat benar-benar terlaksana.
 
Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)
 
Sumber: Pikiran Rakyat, 14 November, 2016 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan