Mengatasi Boros Miliaran Salinan DPT

HIRUK pikuk pemilu legislatif, Kamis, 9 April, baru saja berlalu. Siapa calon wakil rakyat yang terpilih dan tersisih sudah bisa diketahui. Masyarakat tinggal menunggu, akan seperti apa kiprah pejabat baru yang bakal menjadi wakilnya selama lima tahun ke depan.

Tak beda dengan lumrahnya sebuah kompetisi, pemilu legislatif kemarin disikapi beragam oleh banyak pihak. Ada yang legawa, ada juga yang menunjukkan sikap penolakan terhadap hasilnya. Mereka yang menolak karena didasari rasa tidak puas terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara. Bukan hanya itu, sebagian juga menuding KPU tidak profesional dan tidak independen.

Di sisi lain, selaku penyelenggara, KPU tentu saja sudah merasa sukses atas penyelenggaraannya. Mengingat, pemilu kali ini lebih rumit dibandingkan pemilu yang pernah digelar sebelumnya. Dalam hal di sana sini ditemui kelemahan, itu semata-mata karena faktor ketidaksengajaan.

Sambil menunggu penetapan calon terpilih dan pelantikan anggota wakil rakyat yang baru, kini KPU di semua tingkatan juga disibukkan dengan pemutakhiran data pemilih untuk pemilu presiden dan wakil presiden (PPWP) yang pemilunya sendiri akan digelar 8 Juli mendatang.

Sebenarnya, jika mengacu pada Peraturan KPU No 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tahapan pemutakhiran data pemilih sudah memasuki penetapan di tingkat KPU Kabupaten. Mengingat saat ini daftar pemilih tetap (DPT) mendapat sorotan tajam para elite di Jakarta, KPU mengeluarkan Surat Edaran No 720 yang isinya memperpanjang masa pemutakhiran data pemilih.

Selain waktunya diperpanjang hingga Mei, ada yang beda cara pemutakhiran data pemilih antara pemilu legislatif (pileg) dan PPWP. Yakni, saat ini mahasiswa, pekerja, santri, penghuni rumah tahanan, atau pegawai rumah sakit, dicatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) di domisilinya. Syaratnya, pada 8 Juli nanti, yang bersangkutan masih berada di tempat tinggal tersebut.

Syarat lainnya adalah, pemilih itu juga harus membuat pernyataan belum terdaftar di daerah asal. Jika secara kebetulan pemilih tersebut sudah terdaftar di daerah asal, maka yang bersangkutan bersedia mencabut pendaftarannya di daerah asal. Atas kebijakan pendaftaran pemilih berbasis domisili ini, kelak akan ada kembali TPS khusus di rumah sakit dan rutan tanpa dipusingkan tentang domisili pemilih.

Terhadap kekhawatiran elite tentang banyaknya warga negara yang tidak terdaftar, KPU juga sudah menyiapkan banyak cara. Antara lain, stiker yang akan ditempelkan di masing-masing rumah penduduk. Stiker kecil ini dimaksudkan untuk memudahkan petugas di lapangan mengidentifikasi penduduk yang telah terdaftar. Termasuk juga akan membuat posko dan SMS center sebagai tempat pengaduan masyarakat.

Di balik upaya KPU selaku penyelenggara pemilu untuk menyempurnakan DPT, agaknya, sisa-sisa pekerjaan yang terkait DPT dalam pileg tak banyak yang memikirkan. Padahal, persoalan itu juga tak kalah pentingnya karena terkait dengan anggaran pemilu dan ketaatan KPU mematuhi undang-undang.

Seperti diketahui, dalam Pasal 152 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 disebutkan, semua saksi di tempat pemungutan suara (TPS) mendapatkan salinan DPT. Untuk keperluan ini, KPU di semua kabupaten/kota telah menyiapkan salinan DPT sebanyak jumlah saksi. Baik saksi dari partai politik maupun saksi dari calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Termasuk juga yang menerima salinan DPT adalah Pengawas Pemilu Lapangan (PPL).

Dengan demikian, di satu TPS, paling tidak KPU telah menyiapkan sedikitnya 50 bendel salinan DPT. Jika dalam satu TPS biaya penggandaan DPT-nya Rp 100 ribu, kemudian dikalikan sekitar 500 ribu lebih TPS di seluruh Indonesia, maka dana yang dibutuhkan mencapai Rp 50 miliar lebih.

Faktanya, pada hari H lalu, tidak semua partai politik atau calon anggota DPD mengirimkan saksi di TPS. Sekiranya pun ada saksinya, tidak semuanya peduli terhadap barang tersebut. Anggota KPPS bercerita, dari 50 bendel salinan DPT yang disediakan, yang terserap tak mencapai 50 persen. Itu berarti, lebih dari Rp 25 miliar anggaran yang sudah telanjur dibelanjakan kurang bermanfaat.

Mengapa banyak partai politik yang tidak mengirimkan saksi? Tentu masing-masing partai politik punya problem yang berbeda. Tapi, agaknya, ada satu problem yang sama, yakni soal honor saksi. Jika satu saksi diberi honor Rp 100 ribu, maka total honor untuk saksi se-Indonesia yang harus ditanggung parpol dan calon anggota DPD mencapai Rp 50 miliar. Ini bukan angka yang kecil, apalagi bagi partai baru yang dananya cekak.

Bagaimana dengan KPU? Sebenarnya jauh-jauh hari sudah menduga bahwa saksi di TPS tidak sebanyak parpol yang ada. Namun, mengulang pernyataan di atas, terkait dengan menaati regulasi yang ada, maka mau tidak mau KPU harus menyiapkan salinan DPT sebanyak saksi meski tak tahu lagi apa gunanya.

Tentu saja, para legislator yang membuat Undang-Undang No 10 tentang Pemilu mempunyai semangat yang baik. Yakni, agar peserta politik benar-benar bisa mengontrol dan bisa mengetahui tentang pemilih di masing-masing TPS. Namun, fakta-fakta yang terjadi di lapangan juga layak dipertimbangkan, apakah kebijakan tersebut efektif dan efisien atau tidak.

Jika dirasa tidak, barangkali kelak DPT yang di TPS cukup satu saja untuk ditempelkan. Sedangkan untuk peserta pemilu cukup diberikan kepada pengurus parpol level kecamatan atau kabupaten.

Lalu, bagaimana dengan nasib salinan DPT yang barangnya masih bejibun? Orang Medan bilang, barang tersebut, agaknya, pantas untuk ''dipertimbangkan''. Yakni dijual kiloan. (*)

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 April 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan