Mengapa Tim Independen Perlu

Epik pertarungan ”cicak melawan buaya” tiba pada titik yang mengaduk-aduk emosi masyarakat luas dengan ditahannya Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah oleh Polri pada hari Kamis (29/10).

Penjelasan Presiden dan Kepala Polri pada hari Jumat (30/10) kelihatannya tidak mampu meredam gejolak tersebut —bila tidak hendak dikatakan justru menuai kekecewaan masyarakat. Praktis berakhir sudah masa ”bulan madu” 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid 2.

Banyak pihak di kalangan masyarakat sipil berpendapat bahwa bola kini berada di tangan Presiden SBY, dan di situlah titik kekecewaan mereka, sebab Presiden bersiteguh tidak mau mengintervensi proses hukum yang tengah berlangsung. Di sinilah tidak terdapat titik temu antara tuntutan masyarakat sipil dan Presiden. Deadlock.

Dalam perspektif tertentu, pendirian Presiden SBY tersebut dapat dimengerti. Presiden memang tak bisa melakukan intervensi atas sebuah proses hukum. Akan tetapi, di sisi lain, Presiden juga tidak boleh alpa bahwa ”keunikan” perkara ini ketimbang perkara-perkara hukum lain seumumnya adalah bahwa kalau bicara proses hukum, secara umum diasumsikan bahwa yang menyelenggarakan proses hukum—kepolisian dan kejaksaan—adalah pihak yang netral dan obyektif karena mereka bukan merupakan pihak yang terlibat dalam perkara yang sedang diproses. Adapun dalam perkara ini, perkaranya melibatkan mereka yang menyelenggarakan proses hukum terhadap perkara itu sendiri. Dengan kata lain, proses hukum ini berlangsung di tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Di sini terjadi conflict of interest.

Buah simalakama
Maka, wajar belaka bila masyarakat sulit bersedia memercayai kredibilitas proses hukum yang sedang berlangsung. Wajar belaka bila mereka berwasangka bahwa sedang berlangsung suatu skenario kriminalisasi KPK, apalagi dengan adanya serangkaian kejanggalan di mata mereka. Di sinilah letak buah simalakama bagi Presiden.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan keluar bagi Presiden adalah membentuk tim independen dugaan kriminalisasi KPK tersebut, yang dapat dibentuk melalui keputusan presiden. Dengan demikian, ia dapat memenuhi desakan agar ia turun tangan sekaligus tidak dianggap memihak atau mengintervensi dalam masalah ini.

Tim tersebut harus beranggotakan orang-orang yang bukan berasal dari Polri, kejaksaan, maupun KPK. Lebih dari itu, mereka haruslah orang-orang yang memiliki kecakapan yang dibutuhkan serta independensi dan integritas yang tinggi. Tugas tim ini adalah melakukan kajian secara komprehensif dan tuntas terhadap dugaan kriminalisasi KPK ini, membuat rekomendasi, lalu melaporkannya kepada presiden dan masyarakat umum.

 Dengan demikian, apa yang dilakukan tim ini selain akan membuat terang perkara ini secara obyektif juga sekaligus akan berfungsi sebagai semacam audit terhadap penanganan Polri dan kejaksaan atas perkara ini. Apakah, misalnya, secara hukum valid apabila polisi menahan orang di antaranya dengan alasan sering menggelar konferensi pers sehingga penyidik merasa terganggu—apa, misalnya, landasannya dalam KUHAP, UU Polri, atau peraturan perundang-undangan lain.

Tentu saja, kedua pimpinan nonaktif KPK itu bukanlah dewa. Mereka juga bisa salah. Akan tetapi, demikian pula sebaliknya, para insan Polri juga bukanlah dewa sehingga pelaksanaan kewenangan mereka, meminjam kata-kata Presiden SBY sendiri ketika bertandang ke kantor harian ini sekitar empat bulan silam, ”must not go unchecked”—dengan kata lain: must not go unaudited.

Tak kurang Presiden SBY sendiri pula yang menyatakan kepolisian harus bisa menjelaskan latar belakang, alasan, serta rujukan hukum tindakannya dalam proses hukum. Justru inilah yang bagi masyarakat terasa absen dan tak kunjung tiba dari pihak Polri. Ini semua perlu walau kita menyadari bahwa proses hukum memang harus berjalan lebih cepat. Hanya saja proses hukum seyogianya mendengar dan menyimak juga hasil kerja tim independen yang meneliti compliance terhadap due process of law.

 Tim independen ini tidak mesti bersifat pro yustisia karena, sayangnya, kita tidak mengenal lembaga special prosecutor dalam sistem hukum kita. Namun, tim ini memberikan laporan dan rekomendasi kepada Presiden dan masyarakat umum. Selanjutnya, Presiden mengambil tindakan berdasarkan laporan dan rekomendasi tersebut. Hanya dengan cara inilah kredibilitas, integritas, dan legitimasi proses hukum perkara ini—dan juga pemerintahan SBY—bisa diselamatkan. Langkah ini adalah langkah yang bijaksana dan akan menjadi graceful exit bagi Presiden dari kemelut ini berikut bola panas yang sedang berada di tangannya. Langkah ini bahkan mungkin akan menjadi graceful exit bagi semua pihak yang terkait dalam gonjang-ganjing ini.

Preseden
Presiden sudah menciptakan preseden semacam itu bagi dirinya ketika membentuk Tim Lima perekomendasi Pelaksana Tugas KPK beberapa waktu lalu. Sebagai anggota Tim Lima, penulis mengalami sendiri tiadanya intervensi atau ”titipan” apa pun dari Presiden SBY terhadap tim tersebut. Presiden menerima baik laporan tim tersebut dan kemudian melaksanakan rekomendasinya. Oleh karena itu, agaknya tidak terdapat alasan bagi Presiden untuk tidak mengulanginya lagi kali ini.

Dalam dunia politik, terdapat semacam ”hukum tak tertulis” yang berbunyi ”bulan madu 100 hari pertama”: selama 100 hari pertama sebuah pemerintahan baru, pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah biasanya ”menahan diri” tidak berteriak terlalu keras dahulu guna memberikan kesempatan kepada pemerintah tersebut. Akan tetapi, sungguh sangat patut disayangkan bahwa akibat prahara ini praktis sirna sudah masa bulan madu 100 hari SBY sebelum waktunya.

Sebagaimana kita saksikan hari-hari ini, suara-suara keras nan lantang yang ditujukan kepada Presiden SBY terkait prahara ini kini telah bergema di mana-mana. ”Hukum tak tertulis” itu ”terpaksa” dilanggar sudah. Oleh karena itu, bila Presiden masih hendak menyelamatkan ”bulan madu”-nya, take action right now: bentuk tim independen pengusut dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK!

Todung Mulya Lubis Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 2 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan