Mengapa Kita Sulit Menumpas Korupsi?

Pertanyaan ini menjadi amat layak diajukan karena bangsa ini amat unik dan paradoksal dalam urusan korupsi. Bangsa ini gegap gempita meneriakkan jargon berantas korupsi. Hampir tiada hari berlalu tanpa pembahasan penanggulangan korupsi. Pejabat, dari lurah sampai presiden amat fasih bicara tentang urgensi penumpasan korupsi.

Namun, justru Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara terkorup di dunia. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang tidak tuntas, tidak konsisten memberantas korupsi. Niat memberantas korupsi lebih tampak pada tahap teriakan dan wacana, dibanding bukti di lapangan. Beberapa pejabat bahkan terkesan mencari panggung dengan berteriak tentang pentingnya korupsi, sementara ia tidak melakukan kegiatan nyata menumpas korupsi.

Di sisi lain, Indonesia menjadi negara dengan lembaga penumpas korupsi terbanyak. Ada lembaga kejaksaan yang berwenang menciduk koruptor, ada lembaga kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Juga ada sejumlah lembaga yang mempunyai kewenangan besar menyalakan sinyal kerugian negara misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat jenderal di tiap departemen atau lembaga pemerintah. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun menjanjikan hukuman berat bagi koruptor. Kurang apa lagi?

Dalam gebrakan 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, yang mulai digulirkan Oktober 2004, belum tampak hal krusial dalam pemberantasan korupsi. Jika hendak dihitung, hanya beberapa tersangka korupsi kelas atas yang diperiksa.

Harus diakui, terlampau pagi untuk memberi penilaian terhadap Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, karena ia baru bekerja 50 hari menjadi Jaksa Agung. Namun hal yang patut diingatkan, Abdul Rahman Saleh belum menunjukkan fenomena atau indikasi yang memungkinkan publik berpikir bahwa ia seorang yang bertindak cepat menumpas korupsi. Ia pun belum membuat iklim yang membuat semua warga takut berbuat korupsi.

Publik mengharapkan Abdul Rahman Saleh menunjukkan bahwa ia tonggak pemberantasan korupsi mengingat latar belakangnya yang relatif bersih. Publik berharap ia seperti almarhum Suprapto, mantan Jaksa Agung yang berani menyatakan tidak secara lantang bahkan kepada pendiri Republik, Soekarno. Publik berharap Abdul Rahman Saleh menyamai prestasi almarhum Baharuddin Lopa yang begitu masuk ruang kerja di lantai II gedung Kejaksaan Agung, langsung menggebrak dengan memanggil tersangka koruptor. Sayang Lopa cepat wafat.

Lembaga yang menunjukkan taring adalah KPK, dan menunjukkan wibawa cukup besar saat Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, meminta pejabat pemerintah tidak menerima parsel. Soal parsel patut diakui merupakan soal kecil, yang tidak signifikan dengan urusan korupsi. Tetapi substansi yang hendak dipetik adalah, apa yang diminta Erry mendapat respon luar biasa. Pejabat takut menerima parsel, dan warga yang biasanya mengirim parsel ke pejabat menjadi takut mengirim parsel. Bahwa kemudian para penjual parsel terkena dampak karena omzet menurun itu dua soal berbeda.

Dari persoalan parsel ini, warga sebetulnya bisa diajak mengerti dan taat pada undang-undang, warga bisa diajak menerima larangan. Buktinya, larangan mengirim parsel bergaung keras.

Hal relevan diketengahkan ialah rakyat dari negara berpenduduk 220 juta jiwa ini amat membenci korupsi. Rakyat bersedia diajak berperang melawan korupsi dari arti sebenar-benarnya. Persoalannya hanya pada para aparat penegak hukum, seberapa serius berniat menumpas para koruptor. Aparat penegak hukum seperti diketahui sudah dibekali UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah mendapat sikap tegas dari Presiden dan Wakil Presiden RI. Penduduk pun sudah memberi dukungan penuh. Jika aparat penegak hukum masih tidak bisa melakukan tugasnya secara optimal menciduk para koruptor, sungguh sudah keterlaluan.

Hitam putih
Jika mengacu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, korupsi dan indikasi korupsi, amat gamblang. Pemahaman sederhana dan umum tentang tindak pidana korupsi adalah tiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, secara terus menerus atau sementara waktu, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dihukum dengan pidana penjara sekian tahun dan denda sekian rupiah.....

Kriteria ini amat jelas. Karena itu aparat penegak hukum harus bersikap hitam putih, cerdas, dan berani mengambil tindakan tegas jika menemukan indikasi korupsi yang dilakukan aparat/pegawai negeri dan bukan bukan pegawai.

Sikap hitam putih ini, tentu dengan mengabaikan segala aspek, termasuk aspek politik di belakang kasus-kasus itu. Sikap hitam putih menepikan masalah hubungan kekeluargaan, kekerabatan, pertemanan, pejabat, mantan pejabat atau bukan, militer atau bukan. Artinya, siapapun sama kedudukannya di depan hukum. Seorang yang (kebetulan) berkedudukan sebagai presiden, menteri, anggota legislatif, pimpinan lembaga tinggi negara, jenderal, gubernur, atau siapa pun, jika diperoleh indikasi atau unsur atau bukti permulaan cukup, ia bisa dibekuk. Sikap hitam putih ini dibarengi oleh keberanian mengambil sikap tegas.

Publik, kita, sama-sama tahu, terjadi selaksa praktik korupsi di negara ini. Para pejabat menimbun harta, para usahawan leluasa ngemplang utang, tetapi yang sampai ke lembaga peradilan, hanya beberapa persen. Ini sungguh menyedihkan.

Negara-negara maju yang sukses menegakkan hukum, di antaranya Swedia, Belanda, Inggris, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan sebagainya, relatif mampu bersikap hitam putih dalam penegakan hukum. Negara-negara ini selalu melihat hukum secara lurus, yakni bahwa hukum hanya mengenal benar dan tidak benar, tidak ada areal abu-abu dalam penegakan hukum. Maka, seorang kepala negara yang terbukti melakukan korupsi akan diturunkan dari kursinya dan diadili. Indonesia mesti belajar dari kearifan negara-negara yang sudah melihat hukum secara hitam putih itu.

Ada baiknya negara ini memberantas korupsi dari lembaga penegak hukum sendiri. Artinya para hakim (termasuk hakim agung), jaksa, polisi harus bersih dulu, agar ringan langkah kakinya menindak koruptor. Para advokat, juga memegang peran penting dalam penegakan hukum ini. Advokat harus membela perkara dengan nurani, jujur, berintegritas dan menjunjung tinggi kode etik advokat.(Denny Kailimang advokat)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 28 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan