Mengantisipasi Maraknya Korupsi Pemilu
Korupsi pemilu merupakan istilah baru untuk menjelaskan gejala korupsi pada pelaksanaan pemilu. Korupsi dalam konteks pemilu lebih luas makna dan penjelasannya dibandingkan dengan pengertian korupsi menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Istilah ini sendiri lahir dari berbagai macam kajian atas pelanggaran dalam pembiayaan kampanye yang dilakukan peserta pemilu, khususnya bagi mereka yang menyandang status incumbent. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan peserta kampanye pemilu lainnya juga bisa melakukan praktek serupa.
Open Society Justice Initiative dalam bukunya, Monitoring Election Campaign Finance (2005) menjelaskan bahwa yang disebut sebagai korupsi pemilu adalah praktek pendanaan kampanye--baik penerimaan maupun pengeluaran--yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters.
Dalam prakteknya, korupsi pemilu terdiri atas tiga bentuk. Pertama, penerimaan dana kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan maupun yang secara universal merupakan sesuatu yang secara nyata-nyata dianggap tidak boleh, karena menciptakan hubungan koruptif antara yang disumbang dan donatur. Keuntungan yang diperoleh penyumbang terselubung tidak dipetik pada saat pemilu. “Investasi” yang mereka keluarkan untuk menyumbang partai maupun kandidat akan dipanen pada saat peserta pemilu yang didukung memenangi pertarungan. Bentuknya yang paling nyata adalah favoritisme, tempat konsesi, kontrak-kontrak pemerintah, maupun keistimewaan kebijakan publik akan berpihak kepada para penyumbang gelap.
Disebut penyumbang gelap karena peserta pemilu biasanya enggan atau sengaja menutup-nutupi dari mana asal-usul sumbangan kampanye itu diperoleh. Meskipun ada kewajiban dalam pencatatan dan pertanggungjawaban dana kampanye, hal yang biasa dilakukan adalah melakukan manipulasi laporan dana kampanye. Nama-nama penyumbang yang sebenarnya tidak akan muncul dalam laporan. Tiadanya sanksi yang berat menyuburkan praktek semacam ini. Jangan heran jika kelak, dalam laporan dana kampanye peserta pemilu, kita mendapati nama penyumbang fiktif.
Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power). Catatan pemilu di negara mana pun, baik yang demokratis maupun yang belum, menjelaskan bahwa penyalahgunaan jabatan merupakan hal yang kerap terjadi pada saat pemilu. Pembedanya adalah pada aturan main yang ketat atau longgar.
Bentuk penyalahgunaan jabatan bisa macam-macam, mulai yang paling sederhana sampai ke kategori korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan kampanye, mengerahkan pegawai negeri sipil atau bawahan (camat, lurah, pamong desa) untuk mendukung peserta pemilu tertentu, menyusun program populis seperti pembagian uang tunai kepada kelompok masyarakat tertentu pada menjelang dan saat kampanye hingga penggunaan dana APBD/APBN untuk pembiayaan kampanye. Contoh konkret yang terakhir ini dapat dilihat dalam kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menyeret Rohmin Dahuri sebagai terpidana.
Ketiga, pembelian suara (money politics). Jika dikaitkan dengan isu dana kampanye, politik uang adalah bentuk ilegal dari pengeluaran dana kampanye. Artinya, dana kampanye peserta pemilu digunakan untuk kepentingan membeli suara pemilih maupun mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil pemilu, sesuatu yang sangat dilarang oleh UU Pemilu. Sebenarnya, dalam kaitannya dengan proses pemilihan pejabat publik, politik uang bukan hanya terjadi pada saat kampanye maupun pada saat hari pencoblosan suara yang dilakukan oleh peserta pemilu kepada pemilih. Politik uang dalam kasus ini adalah praktek penyuapan dalam level yang paling bawah.
Adapun penyuapan dalam bentuknya yang tak kurang berbahaya adalah politik uang di lingkup internal partai politik, terutama dalam penentuan calon anggota legislatif maupun nomor urutnya serta politik uang dalam pemilihan pejabat publik yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Laporan Agus Chondro yang telah menerima cek perjalanan dalam pemilihan Miranda Goeltom merupakan contoh apik dari satu penyuapan dan transaksi yang terjadi dalam pemilihan pejabat publik di Indonesia.
Ketiga tingkatan politik uang ini sama berbahayanya. Pada saat kampanye dan hari pencoblosan, politik uang bisa mempengaruhi perilaku pemilih. Politik uang juga bisa mempengaruhi netralitas penyelenggara pemilu. Hasil pemilu menjadi tidak kredibel dan cacat karena potensi manipulasi hasil suara. Jika suara bisa dibeli dan hasil penghitungan suara bisa diutak-atik sesuai dengan pesanan, tentu prosedur demokrasi tidak akan dapat melahirkan pemerintahan yang bersih.
Korupsi pemilu harus dilihat secara lebih jauh sebagai penyakit demokrasi. Dampak negatifnya tidak hanya merugikan masyarakat luas, tapi juga merugikan kepentingan pihak lain yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilu, yakni peserta pemilu. Karena itu, membatasi ruang gerak korupsi pemilu akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan, sekaligus derajat legitimasi pemilu dan hasilnya. Membatasinya juga akan melahirkan iklim kompetisi politik yang lebih adil. Karena itu, semua pihak harus mengambil peran untuk mengawasinya.
Bawaslu tentu saja adalah pihak yang memiliki kewajiban utama dalam mengawasi setiap pelanggaran pemilu. Dengan keterbatasan yang dimiliki, prioritas menjadi penting untuk dipilih. Bawaslu perlu menetapkan korupsi pemilu sebagai tulang punggung pengawasan. Artinya, fokus dan konsentrasi besar Bawaslu adalah memastikan bahwa korupsi pemilu tidak banyak terjadi. Bawaslu jangan terlalu banyak membagi sumber daya dan energinya untuk pelanggaran pemilu yang tidak signifikan dampaknya bagi hasil pemilu itu sendiri. Bekerja sama dengan masyarakat sipil pemantau pemilu adalah langkah strategis untuk berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengawasi korupsi pemilu.
Karena korupsi pemilu juga merugikan peserta pemilu yang lain, terutama bagi mereka yang bukan incumbent dan bukan partai politik besar, peserta pemilu juga perlu membangun mekanisme untuk secara sukarela saling mengawasi di antara sesama mereka. Pemilu sekarang ini berpusat di kandidat, bukan lagi di partai politik, maka dibutuhkan kerja sama antara partai politik dan kandidatnya untuk mendorong kontrol atas potensi terjadinya korupsi pemilu.
Pengawasan pemilu oleh peserta pemilu menjadi sangat penting artinya karena daya upaya apa pun yang dilakukan oleh peserta pemilu yang kebetulan bukan incumbent, peluang untuk menang atau mendapatkan suara jelas kecil. Situasinya menjadi lebih tidak berpihak kepada peserta pemilu “miskin” jika yang kaya dan berkuasa menggunakan fasilitas dan uang yang dimiliki ataupun dana publik yang sedang dikuasainya untuk keperluan kampanye.
Sudah saatnya kita membangun budaya saling kontrol dalam kompetisi politik. Mengharapkan Bawaslu semata untuk melakukan pengawasan pemilu bukanlah pilihan. Jika sejak awal kita sadar bahwa kecurangan dalam pemilu sangat terbuka bagi para incumbent, tentu kerugian nyata akan dirasakan oleh peserta pemilu non-incumbent jika mereka hanya berpangku tangan. Laporan terjadinya politik uang oleh kandidat satu terhadap kandidat yang lain semoga membuka jalan bagi pemilu yang lebih sehat dan dinamis.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 April 2009