Mengamankan Dana Beasiswa

Sepekan belakangan ini ramai diperbincangkan kasus dana beasiswa bagi siswa SMP di Jakarta yang justru digunakan untuk keperluan lain, termasuk untuk membeli kursi dan alat penyejuk udara (AC). Seperti biasa, di antara pihak yang terkait lalu timbul saling tuding dan saling lempar tanggung jawab, dan ada yang berusaha menegaskan bahwa apa yang terjadi sudah sesuai dengan ketentuan.

Masalah itu mula-mula terungkap dari kunjungan anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta ke SMP 232 Pulogadung, Jakarta Timur. Menurut Ketua Komisi Dani Anwar, temuan mereka di antaranya, dari 798 siswa yang berhak memperoleh beasiswa dari hibah (block grant) itu, hanya 82 siswa yang menerimanya. Jumlah dana yang disalurkan untuk mereka ini hanya sekitar 10 persen dari yang dialokasikan. Sisanya untuk kegiatan operasional.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Sylviana Murni, dana beasiswa memang tidak diserahkan langsung kepada siswa, tapi dititipkan melalui rekening sekolah. Alasannya supaya anak tidak memikirkan beasiswa. Soal pengalihan, kata dia, mekanisme yang ada memang memungkinkan hal ini dilakukan, melalui kesepakatan antara kepala sekolah dan komite sekolah.

Namun, Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta Nomor 288/2004 tentang petunjuk teknis pengelolaan dana itu tidak menyebut adanya pengalihan. Malah surat ini menunjukkan secara jelas adanya biaya operasional yang terpisah dari bantuan biaya pendidikan (beasiswa). Orang bisa mengendus ada yang tidak beres dalam penyaluran dana itu.

Pernyataan Sylviana mengisyaratkan di mana kemungkinan letak ketidakberesannya. Dugaan yang bisa timbul: ada permainan antara kepala sekolah dan komite sekolah. Tapi wewenang polisilah untuk membuktikan benar-tidaknya kecurigaan ini. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani sudah berjanji untuk menyelidikinya.

Sementara Firman Gani dan anak buahnya masih mengumpulkan data, sebelum memanggil para saksi, harus segera ada pembenahan dalam prosedur penyaluran dana itu. Namanya juga beasiswa, mula-mula kepastian bahwa setiap siswa yang berhak memang benar menerimanya haruslah dijamin. Adanya daftar yang terbuka, meliputi siapa saja yang berhak dan berapa yang disalurkan, lebih bagus lagi juga tentang anggaran sekolah, adalah keharusan.

Sebenarnya di lingkungan pemerintah daerah ada badan pengawas daerah yang antara lain bertugas mengawasi urusan dana beasiswa. Masalahnya, di Indonesia saat ini, instansi resmi tak selalu bisa diandalkan sepenuhnya. Di sinilah keterlibatan unsur-unsur dari luar menjadi niscaya. Komite sekolah bisa berperan dalam urusan ini. Memang ada keraguan, misalnya yang berkaitan dengan kemampuan anggota-anggotanya. Tapi ini bukan perkara besar. Solusinya adalah harus ada ikhtiar untuk memberdayakan mereka, misalnya dengan memberikan pengetahuan tentang pengawasan penggunaan anggaran, atau bahkan melakukan seleksi lebih ketat sejak awal, terutama untuk memenuhi persyaratan integritas.

Jika semua hal itu bisa dipenuhi, sebagian pintu yang memungkinkan timbulnya penyalahgunaan sesungguhnya sudah ditutup. Sebagian yang lain hanya bisa dijaga dengan melaksanakan audit.

Tulisan ini merupakan editorial Koran Tempo, 12 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan