Mengaktifkan Peran Komite Sekolah

Komite Sekolah merupakan lembaga independen yang memiliki mandat pengawasan pengelolaan sekolah. Komite, idealnya, memiliki kekuatan untuk mengontrol kekuasaan Kepala Sekolah dalam mengatur tata kelola sekolah.
 
Sayangnya, fungsi Komite Sekolah seringkali dimandulkan. Dalam beberapa kasus, Komite yang aktif mengkritisi sekolah justru dilengserkan. Di sisi lain, banyak Komite sekolah yang hanya bisa bersikap pasif, berperan hanya sebagai "tukang stempel" untuk mengesahkan pungutan kepada orangtua siswa.
 
"Komite sekolah seharusnya berani bersikap kritis agar kontrol terhadap sekolah selalu terjaga," ujar Musni Umar, mantan Ketua Komite Sekolah SMAN 70 Jakarta yang juga dosen Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ditemui usai menjadi narasumber dalam diskusi di sekretariat ICW, Selasa (12/7/2011).
 
Berikut petikan wawancara Farodlilah M dari www.antikorupsi.org dengan Musni Umar
 
Bagaimana peran Komite Sekolah?
 
Pada dasarnya, Komite berkewajiban menjadi alat kontrol bagi pengelolaan sekolah, utamanya terkait pengelolaan dana-dana sekolah. Komite, misalnya, bisa mengusulkan agar sekolah membuka data-data mengenai biaya-biaya yang dihimpun dari orangtua siswa. Akuntabilitas dan transparansi penting, kalau tidak, orang akan menduga-duga ada yang tidak beres.
 
Pada kenyataannya, peran komite sekolah seringkali dimandulkan?
 
Iya, karena masyarakat kita umumnya belum siap menerima kritik. Misalnya, kepala sekolah akan merasa terganggu ketika ada kritik dari luar atau dari komite. Begitu pula, ketika ada teguran mengenai pengelolaan dana sekolah.
 
Ketika merasa terganggu dan gerah, pihak-pihak yang dianggap sebagai pengganggu pun cenderung ingin disingkirkan. Ketika komite kritis, dilaporkan, atau dilengserkan. Karena Kepala Sekolah tidak punya hak untuk memecat Komite, maka digunakanlah tangan ketiga. Orangtua siswa dimobilisasi untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada Komite. Seperti yang terjadi saat saya menjadi Ketua Komite Sekolah.
 
Apa yang dilakukan Komite Sekolah sampai-sampai kemudian dilengserkan?
 
Kami pada waktu itu mendesak Kepala Sekolah untuk membuka informasi mengenai pengelolaan dana pungutan dari orangtua siswa. Dana tersebut tidak masuk APBS dan tidak dikomunikasikan kepada Komite Sekolah. Ada apa ini? Karena Komite tidak diberi akses untuk mendapatkan laporan keuangan, kami meminta pihak ketiga, dalam hal ini BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), untuk melakukan audit investigasi. Benar saja, audit BPKP menyebutkan terjadi penyimpangan.
 
Dimana posisi Komite Sekolah dalam pengelolaan sekolah?
 
Komite Sekolah adalah lembaga independen yang dipilih oleh orangtua siswa. Posisinya sebagai pengawas. Namun, independensi Komite terdegradasi oleh PP no 17 tahun 2010 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yang menyebutkan penetapan Komite harus disetujui oleh Kepala Sekolah. Jadi, di sini, posisi Kepala Sekolah masih cukup menentukan siapa-siapa saja yang boleh masuk menjadi anggota Komite Sekolah.

Bagaimana cara menjaga independensi, di tengah kekuasaan Kepala Sekolah yang begitu besar?
 
Pengelolaan sekolah harus dilakukan secara partisipatif, sebagaimana yang selalu dikampanyekan ICW. Partisipatif, dalam artian melibatkan masyarakat dan orangtua siswa serta guru-guru. 
 
Bagaimana menerjemahkan konsep partisipatif ini ke dalam tindakan nyata? Karena seringkali orangtua siswa menganggap sekolah adalah urusan guru dan kepala sekolah, orangtua hanya berkewajiban membayar biaya-biaya 
 
Memang tidak mudah, bahkan tidak bisa kita memaksa seluruh elemen masyarakat dan orangtua siswa turut aktif berpartisipasi. Tapi setidaknya, kita mengaktifkan sekelompok orang yang mau terlibat, mengawasi. Ada sekelompok orang saja sebenarnya sudah cukup, selama sistem yang ada dibuat terbuka, supaya orang tahu apa yang terjadi di sekolah.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan