Mengadang Musim ''Korupsi Berjamaah'' [30/07/04]

- Kita menggarisbawahi ungkapan Rektor IAIN Walisongo Semarang, Prof Dr Abdul Djamil MA mengenai betapa suram penegakan hukum di Indonesia: seperti sarang laba-laba, yang hanya bisa menangkap serangga kecil, lalat, nyamuk, atau semut rangrang. Dengan spider web, mana mungkin bisa menangkap macan? Sinisme soal hukum itu mengemuka dalam acara pengukuhan guru besar Prof Dr Ahmad Rofiq MA, Rabu lalu. Lalu ke sisi kelemahan mana tamsil itu ditujukan bagi penegakan hukum kita? Jaring laba-laba menggambarkan suatu sistem yang lemah, yang dari sisi kemampuan -sebaik apa pun- memang hanya mampu menangkap yang bukan kategori kakap. Persoalannya, tentu, model seperti apa yang mampu menangkap macan?

- Macan merupakan tamsil untuk pelanggar hukum kelas berat, misalnya koruptor dengan kekuatan akses politis-ekonomis. Dengan kondisi yang hanya berkelas jaring laba-laba, digambarkan ironi: Indonesia tercatat sebagai salah satu negara paling korup di dunia, tetapi koruptornya (seolah-olah) tidak ada. Kita sudah sering mendengar ilustrasi semacam itu, dan sudah mahfum pula maknanya. Persoalannya sekarang, bagaimana seharusnya ''kepungan'' berbagai macam teori dari akademisi, opini, statemen, dan pressure kelompok-kelompok masyarakat mampu menggugah kebersamaan untuk meningkatkan performa hukum kita? Era reformasi sejak 1998, yang kita harapkan memberi pencerahan dalam penegakan hukum, terbukti malah menyajikan tampilan yang kusut.

- Prof Dr Ahmad Rofiq MA mengetengahkan istilah fenomena ''korupsi berjamaah'', sebagai fakta ketidakberdayaan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Hal itu, antara lain disebabkan oleh corak dan format hukum yang cenderung positivistik. Kebenaran hukum dilihat dan diukur lebih pada acuan formal dan prosedural, tanpa menimbang tepa selira keadilan bagi publik. Di Sumatera Barat, misalnya, juga di tempat lain, anggota legislatif secara kompak ''berjamaah'' melakukan penyimpangan, yang pada mulanya benar secara yuridis formal. Tetapi, pada saat yang sama, mereka telah melukai rasa keadilan masyarakat. Dampaknya, muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum, karena dominasi interpretasi oleh mereka yang punya kekuatan akses.

- Keterpurukan penegakan hukum dalam kasus-kasus semacam itu membawa implikasi serius, yakni munculnya apatisme hukum dalam masyarakat. Pada gilirannya, apatisme berpotensi mengakibatkan timbulnya anarki, karena tidak ada keadilan substansial yang dirasakan masyarakat dari proses penanganan kasus-kasus besar. Orang akan bersikap apatis, karena ketidakterukuran dalam memprediksi hukum, yang menjadi lentur manakala berhadapan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok sosial yang memiliki kemampuan untuk memberi pengaruh dalam proses bekerjanya hukum. Berbagai fakta tentang kualitas jaring laba-laba, merupakan referensi publik yang sulit dihindarkan menciptakan apatisme, karena keadilan hanya dirasakan menjadi milik sekelompok orang.

- Dalam hukum, bagaimana seharusnya kita menempatkan pembicaraan tentang tepa selira? Pangkal keterjerembaban seseorang atau kelompok dalam kasus-kasus korupsi, sebenarnya adalah karena ketertindihan aspek itu. Tepa selira tergantikan oleh penyiasatan prosedur. Rasa keadilan substansial kalah oleh formalisme. Padahal di negara-negara Barat yang sekuler sekalipun, perhatian pada aspek kultural, moralitas, dan spiritual sangat dikedepankan. Maka, bagaimana dengan Indonesia yang dikenal memiliki nilai-nilai luhur di bidang-bidang tersebut? Ketaatan hukum masyarakat masih belum mencerminkan internalisasi nilai-nilai luhur itu, melainkan hanya karena takut sanksi. Apalagi kalau keteladanan yang diharapkan justru memunculkan ironi-ironi.

- Senyampang kasus-kasus korupsi yang melibatkan nama-nama besar kini sedang ditangani oleh aparat hukum kita, komitmen calon presiden -baik yang masih berkuasa maupun capres yang lain- patut kita tagih. Haruslah disadari, keterpurukan hukum yang hanya berkualitas jaring laba-laba membawa dampak buruk bagi sektor kehidupan yang lain, yakni perekonomian bangsa. Perhatian pada fenomena ''korupsi berjamaah'', juga harus ditingkatkan sembari menunggu pengejawantahan komitmen para capres. Memang butuh stamina tinggi. Hanya, kita harus terus mendorong agar tercipta kebersamaan dalam melangkah secara progresif. Unsur-unsur aparat penegak hukum harus didorong keberaniannya, ditopang pencerahan-pencerahan akademisi dan partisipasi masyarakat.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana harian Suara Merdeka tanggal 30 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan