Menentukan Gaji Dewan-Wali Kota; Catatan Dahlan Iskan [27/06/04]
LUPAKAN DPRD yang lama dengan segala kelucuannya itu. Anggap saja itu harga yang harus dibeli di masa transisi menuju demokrasi yang sejati. Sekolah TK saja perlu ongkos, apalagi sekolah demokrasi.
Yang kita semua akan jadi keledai adalah kalau kelucuan seperti itu masih akan terulang di DPRD akan datang. Kita sudah tahu begitu liar -nya DPRD yang sekarang. Terutama dalam hal anggaran untuk dirinya sendiri. Hal itu bukan murni kesalahan mereka. Ada aturan yang memang memberi peluang untuk berbuat seperti itu. Antara lain (dan ini yang dikeluhkan pihak eksekutif), kalau DPRD mengontrol pemda, siapa yang mengontrol DPRD? Tidak terlalu jelas.
Tapi, kita juga tidak ingin pemerintah yang di atasnya turun tangan. Bisa jadi, nanti terjadi arus sentralisasi secara tidak terasa.
Karena itu, saya usulkan cara ini. Terus terang, ini bukan ide saya murni. Tapi, sudah dilaksanakan di Jepang. Saya pernah mendalami sistem otonomi daerah di Jepang. Betul-betul otonom, tapi bertanggung jawab.
Di Jepang, gaji wali kota dan anggota DPRD ditentukan oleh satu komite yang terdiri atas berbagai kalangan di masyarakat. Di salah satu kota di Jepang, komite itu dinamakan panitia sembilan karena anggotanya sembilan orang.
Sembilan orang itulah yang menentukan besarnya gaji serta fasilitas wali kota dan anggota DPRD-nya. Mereka juga yang melakukan evaluasi apakah sudah waktunya gaji mereka naik atau tidak.
Panitia sembilan itu sendiri tidak digaji. Yang menunjuk adalah wali kota. Mereka tidak perlu digaji karena memang pekerjaannya tidak banyak dan juga agar tidak ada konflik kepentingan. Sembilan orang itu terdiri atas tokoh pengusaha, wartawan, guru, petani, pengusaha kecil, pegawai negeri rendahan, pegawai swasta, dan seterusnya. Variasinya diatur sedemikian rupa agar gaji mereka tidak kebesaran atau kekecilan.
Seorang pengusaha tentu bisa ngomong gaji segitu terlalu kecil. Sebaliknya, petani akan bilang kok besar sekali ya? Lalu, si guru akan bilang gaji segitu tidak mendidik. Dan seterusnya. Intinya, dengan berbagai pertimbangan itu, gajinya tidak akan kekecilan dan tidak akan kebesaran.
Di Jepang, yang menunjuk tim sembilan itu adalah wali kota. Di sini, bisa saja yang menunjuk DPRD atau juga wali kota. Intinya, janganlah sampai terjadi, seseorang menentukan sendiri gaji dan fasilitas untuk dirinya sendiri. Kalau yang satu ini bisa dilaksanakan, alangkah sempurnanya demokrasi kita.
Jangan sampai DPRD baru nanti pun jadi keledai. Gejala untuk ke sana sudah tampak. Misalnya, soal mengukur baju seragam anggota DPRD, sepertinya, menjadi yang paling penting yang harus dilakukan calon anggota DPRD. Sepertinya, calon anggota DPRD itu begitu miskinnya sehingga baju saja tidak punya!
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 27 Juni 2004