Menelusuri Dugaan Korupsi di Perhutani (Bagian 1)

Hutan Seluas 1,1 Juta Hektare Dibiarkan Rusak

MENTERI Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) Sugiharto, beberapa waktu lalu, mengungkapkan adanya dugaan korupsi di 16 BUMN. Misalnya, beberapa bank plat merah, Pertamina, PLN, dan lain-lain. Disinyalir, masih ada sejumlah BUMN lain melakukan perbuatan sama. Salah satunya Perhutani. Pada 28 Maret 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa Direktur Utama (Dirut) Perum Perhutani Marsanto. Ia dituduh menyelewengkan dana pengadaan proyek fiktif corporate image di lingkungan Perhutani sekitar Rp34 miliar. Seminggu sebelum pemeriksaan (22/3), Menteri Kehutanan MS Kaban meminta Meneg BUMN mengganti Direksi Perhutani. Senin lalu (27/6), sekitar 500 karyawan Perhutani menggelar aksi unjuk rasa menuntut Direksi Perhutani diganti. Aksi dilakukan di Monas, Istana Negara, dan kantor Meneg BUMN. Akhirnya, Meneg BUMN mengganti Direksi Perhutani, Rabu (29/6). Jabatan Marsanto diserahkan ke Transtoto Handadari yang berasal dari lingkungan Departemen Kehutanan. Pemicu penggantian diduga karena maraknya korupsi di lingkungan Perhutani yang diduga merugikan negara triliunan rupiah. Media mencoba menelusuri, dimana saja indikasi korupsi terjadi, bagaimana modusnya, dan mengapa Perhutani mengaku untung padahal asetnya jauh berkurang. Hasilnya disajikan berseri, selamat mengikuti.

HARI masih pagi. Kereta Sancaka dari Yogyakarta tujuan Surabaya sudah sekitar dua jam melaju dari angka 07.00 WIB. Kereta mulai meninggalkan Jawa Tengah (Jateng) memasuki daerah Jawa Timur (Jatim).

Ketika memasuki Ngawi, Jatim, pemandangan terasa nyaman. Di kiri kanan rel tampak kumpulan pohon jati. Umumnya, tinggi pohon di bawah tiga meter. Namun tidak terlihat lagi hutan jati seperti dulu. Terkadang dapat dilihat jati yang sudah tinggi namun diameter pohonnya antara 10 hingga 15 sentimeter. Menandakan pohon-pohon itu masih tergolong muda, berusia sekitar 15 tahun.

Dulu, 20 tahun lalu, di kiri kanan rel banyak hutan jati. Rimbun sekali. Matahari tidak bisa menembus ke dalam kereta. Tapi sekarang, kita kepanasan, ujar seorang penumpang kereta, Sapto, 56, Sabtu (18/6).

Di hari yang sama, Media menelusuri Jalan Raya Surabaya-Solo. Pemandangan sedikit berbeda. Di sana, masih dapat dijumpai pohon jati besar yang sudah tua di kiri dan kanan jalan. Dilihat dari ukuran diameter pohon, usianya bisa di atas 40 tahun.

Senin (20/6) pagi, Media kembali ke hutan jati di Ngawi. Menggunakan kendaraan jenis jeep, Media masuk ke dalam kawasan hutan. Ternyata, pemandangan di kiri kanan Jalan Raya Surabaya-Solo itu, hanya kamuflase belaka.

Semakin masuk ke dalam kawasan hutan, semakin tidak ditemukan pohon jati yang rimbun dan besar. Kebanyakan berusia di bawah sepuluh tahun. Bahkan tidak sedikit yang baru ditanami.

Hutan jati di kawasan Ngawi dan hutan jati lainnya di Pulau Jawa, dikelola oleh Perum Perhutani. Perhutani meliputi tiga unit. Unit I mengelola kawasan hutan jati di Jateng, unit II di Jatim, unit III di Jabar dan Banten.

Dilihat dari luas wilayah, Perhutani bisa digolongkan sebagai BUMN terkaya, menguasai 2,56 juta hektare tanah di seluruh Jawa. Dari Laut Jawa sampai pantai Laut Selatan, dari Banyuwangi sampai Merak. Sumber daya hutan pun sangat komplit. Dari total lahan yang dikuasai, seluas 1,45 juta hektare merupakan hutan produksi.

Data lapangan Perhutani 2003 yang diperoleh Media menyebutkan luas area hutan produksi seluruh Jawa hanya tinggal 453.000 hektare yang ditumbuhi pohon jati. Itu pun 50% pohon jati muda, usia 0-10 tahun. Sisanya, berusia antara 10-90 tahun.

Usia 30-40 tahun terdapat di areal seluas 54.000 hektare. Sekitar 56.000 hektare berusia di atas 40 tahun, merupakan peninggalan Belanda. Dilihat dari luas area dan usia pohon, terdapat perbedaan luas area yang sangat signifikan antara usia di bawah 10 dan di atas 10 tahun. Padahal, pohon jati besar dan memiliki kualitas baik untuk ditebang hanyalah berusia di atas 40 tahun.

Jika total lahan hutan jati produksi hanya tinggal 453.000 hektare, bagaimana nasib hutan produksi lainnya yang mencapai 1.500.000 hektare? Menurut data di Perhutani, sekitar 360.000 hektare yang dikelola tersebut sudah menjadi lahan kosong.

Sekitar 500.000 hektare lainnya ditumbuhi pohon jati usia 0-4 tahun. Sisanya, beragam pohon. Ini belum ditambah dengan penebangan dan penanaman yang dilakukan pada 2004.

Seorang pejabat di Unit II Jatim mengaku kualitas hutan jati di wilayahnya semakin lama kian mengkhawatirkan. Di Ngawi, Anda dapat melihatnya dari kereta Solo-Surabaya. Tidak ada pohon jati usia tua. Semua sudah habis ditebang untuk keuntungan perusahaan. Saya pikir dalih untuk keuntungan perusahaan ini perlu dilihat apakah benar demikian? Jangan-jangan bukan untuk perusahaan, ujarnya, Senin (27/6).

Kerusakan hutan jati demikian hebat dikarenakan Perhutani menebang pohon sebelum waktunya. Bahkan banyak pohon yang ditebang di luar rencana. Pada 1995, KPH Ngawi dapat memproduksi lebih 40.000 m3 kayu jati. Namun saat ini, produksinya hanya sekitar 4.000 m3. Artinya, pohon jati usia tua hampir habis.

Guna mencetak laba besar, pejabat Perhutani menjual kayu sebanyak-banyaknya tapi di pihak lain mengurangi biaya reboisasi dan rehabilitasi hutan. Makanya kondisi hutan di Jawa semakin mengerikan. Pada 2004, Perhutani bahkan sudah memotong pohon yang seharusnya menjadi jatah tebangan 2007. Ini betul-betul berbahaya, tambahnya.

Reboisasi

Marsanto tentu saja menyangkal kebijakannya itu merugikan negara. Menurutnya, Perhutani sangat peduli akan kelestarian lingkungan. Reboisasi dan rehabilitasi hutan jati terus dilakukan dari tahun ke tahun. Rata-rata reboisasi dan rehabilitasi per tahunnya mencapai 80.000 hektare.

Kita ingin Perhutani terus produktif dalam menghasilkan kayu tanpa merusak lingkungan. Makanya, reboisasi terus kita lakukan, ujar Marsanto di ruang kerjanya, Kamis (23/6), ketika masih menjabat sebagai Dirut Perhutani.

Kenyataan di lapangan tidak semanis ucapan. Pada 2001, jumlah tanah kosong yang terlantar mencapai 350.000 hektare. Setahun kemudian meluas menjadi 379.000 hektare. Pada 2003, luas hutan gundul mencapai 368.000 hektare. Pada 2004 dilakukan reboisasi sehingga lahan kosong sedikit berkurang menjadi 347.000 hektare.

Dirut Perhutani yang baru, Transtoto mengakui terjadinya kerusakan hutan yang cukup parah di Pulau Jawa. Di atas kertas memang hanya 360.000 hektare lahan hutan yang kosong. Tapi faktanya, hutan yang harus diperbaiki mencapai 1,1 juta hektare. Padahal, hutan produksi cuma 1,5 juta hektare, keluh Transtoto kepada Media setelah dilantik menjadi Dirut Perhutani.

Namun, Marsanto punya alasan, kerusakan hutan lebih banyak disebabkan penjarahan dan penebangan liar. Hal itu sudah berlangsung sejak lama. Oleh sebab itu, jika tadinya tidak diturunkan dari kursi dirut, Marsanto berencana menebang semua jati berusia di atas 30 tahun.

Pohon itu akan digantikan dengan jati unggulan yang siap diproduksi pada usia 20 tahun. Penanaman jati unggulan ini sudah mulai dilakukan sejak 2002.

Untuk mengukur program Perhutani tidak menyimpang cukup mudah. Menurut seorang pejabat di BUMN itu, saat ini, seharusnya luas area hutan jati usia 0-10 tahun sama dengan 10-20 tahun, sama pula dengan usia 20-30 tahun. Usia 20-30 tahun sebaiknya memiliki luas sama dengan 30-40 tahun serta sama dengan luas hutan jati berusia di atas 40 tahun. Kenyataannya tidak.

Kalau luas hutan produksi sekitar 1,5 juta hektare, luas hutan jati usia 0-10 tahun seharusnya hanya 300.000 hektare. Usia 10-20 tahun, 20-30 tahun, 30-40 tahun, dan 40 tahun ke atas juga sekitar 300.000 hektare. Bila tidak, patut dipertanyakan? ungkap pejabat Perhutani yang sudah 20 tahun bekerja di lingkungan itu. (CR-43/Rdn/Yes/X-9)

Sumber: Media Indonesia, 5 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan