Menelisik Dugaan Penyimpangan Menggunakan Open Tender
Tiga wartawan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menelusuri dugaan peyimpangan di pelaksanaan proyek pemerintah. Ketiga jurnalis itu adalah Arif Hernawan dari Gatra, Haris Firdaus dari Kompas, dan Bhekti Suryani dari Harian Jogja. Dengan menggunakan Opentender.net, mereka menginvestigasi proyek pembangunan gedung untuk relokasi pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro.
Proyek pembangunan sentra PKL Malioboro menghabiskan anggaran sebesar Rp62 miliar. Situs Opentender.net (setelahnya disebut Open Tender) yang dikembangkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkategorikan pembangunan gedung itu sebagai proyek berisiko penyelewengan tinggi dengan nilai 19. Proyek ini memiliki skor risiko tertinggi di Provinsi DIY, sekaligus nomor delapan untuk skala nasional pada tahun 2018.
Salah satu faktor yang membuat Open Tender menilai proyek ini berisiko tinggi adalah jumlah peserta lelang. Pada pembangunan tahap pertama, hanya ada satu perusahaan yang menjadi peserta lelang yaitu PT. Matra Karya. Di luar itu, efisiensi proyek ini juga rendah. Berdasarkan perbandingan antara nilai proyek sebesar Rp43,994 miliar dengan harga perkiraan sendiri sejumlah Rp44,054, efisiensi yang diperoleh hanya sekitar Rp60 juta.
“Open Tender membuat membuat kami memiliki dasar untuk menulis kasus dugaan penyimpangan proyek,” kata Arif Hernawan, wartawan Gatra yang terlibat dalam kolaborasi ini. Arif mengatakan, mereka berani menulis sebuah proyek dinilai memiliki risiko penyimpangan karena ada metode pengujian yang bisa dipertanggungjawabkan. “Sehingga kami berani melangkah untuk menelisiknya,” tambahnya.
Hal lain yang mencurigakan dari proyek ini adalah profil dua perusahaan pemenang pembangunan tahap dua dan tahap tiga yang memunculkan dugaan monopoli. Dua perusahaan ini terhubung pada satu orang bernama Muhammad Lutfi Setiabudi, seorang pengusaha lokal di Yogyakarta. Saat dikonfirmasi, Lutfi menyanggah dugaan itu dan mengatakan kepada jurnalis bahwa pengerjaan proyek ini bebas dari kongkalikong.
Perkenalan dengan Open Tender
Selama ini, wartawan memilih untuk tak banyak menulis mengenai isu ini. Alasannya, pengadaan barang kerap dianggap bukan isu seksi dan tidak memiliki nilai berita.
Tak hanya itu, Arif Hernawan menuturkan, jurnalis sering mengalami kesulitan untuk mengakses data pengadaan barang dan jasa dari pemerintah. Karena itu, investigasi wartawan di Provinsi DIY acap mandeg di tengah jalan karena kurangnya informasi. Untuk menyiasati hal itu, Haris Firdaus mengatakan, sebagai jurnalis, dia kerap mengandalkan situs terbuka Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) pemerintah Provinsi DIY dan aplikasi SiRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk keperluan pembuatan berita.
Sayangnya, meski sudah memiliki informasi awal, Arif bercerita, para wartawan kerap tidak tahu harus memulai dari mana untuk mengivestigasi sebuah kasus. Alhasil, mereka pun memilih menulis isu pengadaan barang dan jasa setelah kasus korupsinya terungkap.
Arif merasa beruntung mendapatkan pelatihan mengenai Open Tender dari ICW. Dia bersama Haris, Bhekti, dan 20 peserta dari kelompok jurnalis dan organisasi masyarakat sipil mendapat pelatihan untuk mengawasi proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah pada 1-3 Juli 2019 di Kota Yogyakarta. Pelatihan ini terselenggara atas kerja sama antara ICW dengan LKPP.
Selain menggali ilmu tentang proses pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah dan modus-modus kecurangannya, mereka juga berkenalan dengan Open Tender dan belajar menggunakannya untuk mengawasi proyek-proyek pemerintah. Menurut Arif, aplikasi ini menjadi modal besar buatnya untuk menulis isu-isu sensitif dan menelisik kejanggalan dalam sebuah proyek pengadaan meskipun tak ada whistleblower. “Sebab, hasil Open Tender menggunakan parameter yang jelas,” kata Arif.
Tantangan Jurnalis
Meski Open Tender mempermudah para jurnalis memperoleh informasi, mereka masih menghadapi sejumlah tantangan di lapangan. Mereka sempat kesulitan meminta konfirmasi atas temuan yang didapat kepada yang tertuduh, Muhammad Lutfi Setiabudi. Dia tak mudah ditemui. Petinggi dua perusahaan pemenang proyek itu juga berupaya meredam investigasi.
Arif dan Bhekti berkali-kali menghubungi Lutfi. Hasilnya nihil. Lutfi hanya bersedia ditemui oleh Haris Firdaus, melalui bantuan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator. Lutfi kemudian bersepakat menemui Haris Firdaus.
Dalam pertemuan itu, Haris menjelaskan bahwa dua koleganya bukan wartawan abal-abal. Dia juga berterus terang, mereka sedang menulis mengenai proyek pengadaan gedung relokasi pedagang kaki lima di Maliboro. Dalam pertemuan itu, Lutfi berkali-kali menekankan bahwa nama dan bisnisnya bebas dari kongkalikong. Lutfi juga mengutarakan kekhawatirannya kelangsungan usahanya jika investigasi itu dimuat dan dibaca publik.
Tantangan lainnya yang dihadapi wartawan di Yogyakarta saat menulis dugaan penyimpangan proyek pemerintah, menurut Bhekti Suryani, adalah kultur masyarakat. Kultur komunikasi di sana cenderung mengarah ke musyawarah, ngobrol, dan menghindari keributan. “Ketika ada pelanggaran, masa mereka diam saja?” kata Bhekti. Kritik serupa juga disampaikan oleh Arif Hernawan. “Teman-teman (jurnalis) tidak menulis dengan lugas, banyak sungkannya,” tutup Arif.
Di tengah kultur masyarakat itu, peliputan menggunakan Open Tender ini tetap berjalan. Mereka mempublikasikan dugaan penyimpangan itu di Harian Jogja, Kompas, dan Gatra pada 20-23 November 2019. Mereka berharap, wartawan bisa memanfaatkan situs Open Tender untuk mengecek proyek-proyek yang dikerjakan pemerintah. Mereka juga berharap, pemerintah Provinsi DIY bisa membuka dokumen-dokumen publik, termasuk dokumen pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan.(*)