Menelisik Dana Siluman di MA

Kita tidak ingin lembaga terhormat di negeri ini tersungkur hanya di tangan kelompok yang antitransparansi dan akuntabilitas. Mahkamah Agung (MA), misalnya, belakangan lembaga tinggi negara ini justru tumbuh dan dikenal dalam personifikasi negatif.

Selain hasil survei indeks korupsi kelembagaan yang tidak pernah membaik dari waktu ke waktu, berbagai putusan kontroversial, kebijakan, dan sikap-sikap MA pun nyata-nyata terus berbenturan dengan hasrat keadilan yang secara eksistensial melekat padanya.

Justru yang kita inginkan, MA terus menjadi lebih baik, terbuka, mempunyai sensitivitas empati, antimafia peradilan, dan bersedia mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Karena itu, seharusnya pertikaian antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan MA tidak perlu terjadi.

Khusus untuk pertikaian BPK-MA, ungkapan klasik Lord Acton kembali mempunyai relevansi signifikan, yakni power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Sebab, MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman yang diamanatkan konstitusi mau tidak mau harus diposisikan sebagai sebuah kekuatan (power) yang mempunyai andil sangat besar dalam perjalanan kenegaraan Indonesia.

Sebagai sebuah kekuatan, tentu ia mempunyai potensi-potensi negatif, yang dikonkretkan Acton menjadi tends to corrupt. Karena itu, kekuatan MA harus terus dikawal agar tidak justru kontradiktif dengan harapan sebagai penegak keadilan. Suatu saat, dalam kondisi kekuasaan yang mengarah absolut, bukan tidak mungkin MA berada di level corrupt absolutely, sebuah kekuasaan yang mutlak korup!

Hal tersebut sangat berhubungan sekaligus bergantung pada tingkat keterbukaan (transparansi), akuntabilitas, dan akses keadilan yang murah. Karena itulah, sistem hukum mana pun di dunia mengakui bahwa transparansi, akuntabilitas, serta pengadilan cepat dan biaya murah menjadi salah satu asas inti.

Namun, dalam permasalahannya dengan BPK, ternyata, MA justru mengingkari prinsip-prinsip universal tersebut. MA cenderung berdiri di sisi yang hampir-hampir untouchable dan seolah berkeinginan membangun struktur tirani dalam lembaga yudikatif.

Menolak Diaudit

Persoalannya sederhana. Bagaimana mungkin MA menolak diaudit BPK atas pungutan biaya perkara yang dilakukannya selama ini? Hanya dengan alasan uang tersebut milik pihak ketiga, tidak termasuk keuangan negara, BPK dinilai tidak berhak mengaudit anggaran tersebut.

Preseden itu dinilai sangat berbahaya dalam rangkaian upaya membangun peradilan bersih, terbuka, dan bertanggung jawab. Apalagi, Tim Audit BPK menemukan sembilan rekening atas nama Ketua MA Bagir Manan senilai Rp 7,45 miliar.

Bahkan, jika merujuk pada laporan tahunan MA, terlihat bahwa sepanjang 2005, terdapat 2.545 perkara perdata umum yang masuk, 477 perdata agama, 609 perkara tata usaha negara, 36 perdata niaga kepailitan, dan 51 perdata hak kekayaan intelektual untuk tingkat kasasi.

Di tingkat peninjauan kembali (PK), terdapat 828 perkara perdata umum, 35 perkara perdata agama, 69 perkara tata usaha negara (TUN), 150 perkara PK pajak (TUN), 15 perkara perdata niaga kepailitan, dan 16 perkara perdata hak kekayaan intelektual.

Kuantitas perkara yang ditangani MA berkorelasi signifikan dengan uang Rp 7,45 miliar yang bertahun-tahun tercatat di rekening Bagir Manan. Kalkulasi yang jauh lebih besar dapat dihitung ketika diketahui telah terjadi peningkatan drastis biaya perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Tercatat, pada 2002, MA menaikkan biaya kasasi dari Rp 200.000 menjadi Rp 500.000.

Inti permasalah yang disesali publik dalam kasus tersebut adalah penolakan MA untuk diaudit BPK. Hal itu berhubungan dengan ketertutupan MA di tengah dorongan perbaikan dan kritik keras terhadap MA.

Apa pun alasannya, tidak logis jika suatu lembaga publik -apalagi lembaga peradilan- menyatakan tertutup untuk dilihat pihak yang justru mempunyai kewenangan untuk itu. Apalagi, biaya perkara yang ditutup-tutupi tersebut berasal dari masyarakat pencari keadilan. Meskipun dengan alasan, biaya tersebut masuk cluster titipan dan dikeluarkan sesuai alokasi riil kebutuhan penanganan perkara.

Dapat dibayangkan, jika setiap lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, atau bahkan Badan Pertanahan Nasional serta lembaga yang berhubungan dengan pelayanan publik lainnya kemudian melakukan pungutan liar dan menutup diri dari pihak lain. Lalu, mereka berdalih bahwa dana itu hanya titipan, akan digunakan sesuai dengan kebutuhan administrasi, penyelidikan, turun ke lapangan, dan sebagainya.

Tidakkah dapat dikatakan bahwa preseden tersebut justru sedikit demi sedikit menyeret konstruksi penyelenggaraan negara tak ubahnya seperti organisasi mafia? Hal itu harus dihindari. Dilawan.

Penerbitan PP PNBP
Seperti dilansir Jawa Pos (23/9), untuk menyelesaikan sengketa MA-BPK, presiden dalam waktu sebulan akan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PP PNBP) dan mengualifikasikan biaya perkara MA sebagai salah satu item di dalamnya.

Agar mempunyai kekuatan, seharusnya PP tersebut mencantumkan konsideran UU Keuangan Negara (UU 17/2003) dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU 20/1997). Jadi, ke depan diharapkan masalah pemungutan dan audit keuangan terhadap MA tidak lagi menguras energi dalam pertikaian yang sama sekali tidak dewasa.

Jika dicermati, saat ini memang PP PNBP (PP 75/2005) telah menghilangkan item biaya perkara di MA. Akan tetapi, sebelum terjadinya restrukturisasi MA, yaitu semua urusan administrasi dan keuangan diberikan kepada MA setelah dulu dipegang Depkum HAM, PP 26/1999 yang merupakan penjabaran UU 20/1997 mengategorikan biaya perkara sebagai penerimaan negara bukan pajak sehingga masuk dalam kulaifikasi keuangan negara.

Atas dasar itulah, rencana penerbitan PP PNBP baru oleh presiden harus disikapi secara hati-hati. Sebab, terdapat banyak potensi masalah yang akan muncul. Setidaknya, dengan diterbitkan PP, berarti secara tidak langsung presiden menutup kemungkinan BPK mengaudit keuangan pemungutan dan pengelolaan biaya perkara yang terjadi selama masa berlaku PP 20/1997 jo PP 26/1999, yaitu 1997 -2005 (sekitar 8 tahun). Padahal, bukan tidak mungkin dugaan penyalahgunaan keuangan negara justru banyak terjadi pada masa itu.

Kita khawatir, penerbitan PP justru menjadi alasan pembenar untuk tidak dilakukannya audit biaya perkara pada dua tahun terakhir (2005-2007). Sebab, tidak mungkin membuat PP yang bersifat retroaktif atau berlaku surut. Secara sederhana, presiden hanya mampu menyusun dan menerbitkan PP yang berlaku ke depan (prospektif) sehingga BPK akan tetap terhalang melakukan audit pada masa sebelum PP PNBP yang baru tersebut terbit. Pada akhirnya, dana siluman di rekening MA tetap tak tersentuh. (*)

Febri Diansyah, peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan