Menelaah Kerja Tim Seleksi KPU
PARA anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Kegagalan penyelenggaraan pemilu akan menimbulkan krisis politik yang dapat mengguncang ekonomi nasional dan integrasi bangsa.
Karena itu, seleksi anggota KPU tidak boleh dijadikan ajang uji coba berbagai alat tes yang tidak memiliki relevansi dengan tugas, kewenangan, dan kewajiban KPU. Validitas dan reliabilitasnya pun belum teruji. Presiden menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab bila terjadi kegagalan dalam penyelenggaraan pemilu karena rendahnya kualitas anggota KPU. Sebab, presidenlah yang membentuk tim seleksi. Karena itu, ada dua pihak yang dapat bertindak untuk mencegah akibat buruk yang akan timbul, yaitu presiden dan Komisi II DPR.
Komisi II dapat menerima atau mengembalikan 21 calon yang diajukan presiden. Hal serupa pernah dilakukan Komisi III DPR ketika mengembalikan calon-calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial.
Sedikitnya ada empat kelemahan tim seleksi yang perlu dicermati. Pertama, metode dan mekanisme tes yang digunakan tidak memiliki relevansi langsung dengan kualifikasi calon. Kedua, materi dan alat tes hanya mengukur dua dari 13 persyaratan. Ketiga, validitas dan reliabilitas tes diragukan. Keempat, kemungkinan adanya kepentingan subjektif dua pribadi.
Kelima anggota tim seleksi sama sekali tidak memiliki pemahaman komprehensif mengenai tugas, kewenangan, dan kewajiban KPU dalam menyelenggarakan pemilu. Akibatnya, metode dan mekanisme tes yang digunakan tidak memiliki relevansi langsung dengan kualifikasi calon yang diperlukan. Latar belakang pendidikan dan pengalaman kelima anggota tim (dua orang dari IAIN, satu psikolog UI, satu sarjana Administrasi Publik LAN, dan satu ahli ekonomi Universitas Cendrawasih) menunjukkan hal itu.
Pemahaman yang komprehensif tentang tugas, kewenangan, dan tanggung jawab KPU tidak cukup hanya dengan membaca UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Karena pasal, ayat, dan huruf dalam UU tersebut tidak mewakili realitas yang ada. Sebagai perbandingan, tim seleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiskusi dengan kelima anggota KPK sekarang dan pihak lain untuk mencari kualifikasi calon yang dibutuhkan berdasarkan pengalaman.
Tim seleksi anggota KPU ini sama sekali tidak berdialog dengan anggota KPU sekarang yang sudah pernah menyelenggarakan Pemilu 2004. Mereka tampaknya menganggap tugas, kewenangan, dan tanggung jawab KPU tidak memerlukan kualifikasi khusus.
Kemudian, materi dan alat tes yang digunakan tim seleksi untuk menyaring 45 dari 260 calon bukan cuma tidak relevan dengan kualifikasi yang diperlukan untuk mampu melaksanakan tugas, kewenangan, dan kewajiban KPU. Melainkan juga hanya mengukur dua (tepatnya satu setengah) dari 13 persyaratan menjadi anggota KPU dan mengukur suatu persyaratan yang sama sekali tidak disebut dalam UU, yaitu mengenai kecerdasan.
Tugas dan kewenangan KPU dalam UU No 22 Tahun 2007 dapat disederhanakan menjadi tiga. Pertama, menyusun dan menetapkan peraturan berupa tata cara teknis setiap tahapan dan nontahapan penyelenggaraan pemilu berdasarkan UU. Hanya ada tiga UU di Indonesia yang tidak memerlukan Peraturan Pemerintah, yaitu UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU N0 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan UU N0 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Kedua, menyiapkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan pelaksanaan setiap tahapan dan nontahapan penyelenggaraan pemilu. Ketiga, menampung, meneliti, dan menegakkan peraturan pemilu yang tidak berupa pidana, perdata, dan tata usaha negara. Kewajiban KPU bersikap dan berperilaku netral terhadap semua peserta pemilu (partai politik dan perseorangan) dan mampu menghadapi tekanan dari manapun dan dalam bentuk apa pun dan memperlakukan semua peserta pemilu dan pemilih secara adil dan setara.
Tidak relevan
Materi dan alat tes psikologi dan psikiatri yang digunakan terhadap 260 calon sama sekali tidak menyentuh dan tidak relevan dengan tugas, kewenangan, dan kewajiban KPU tersebut. Pasal 11 UU N0 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur 13 (a s.d m) persyaratan menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Tim seleksi secara khusus hanya menguji persyaratan huruf c (setia kepada Pancasila dan UUD 1945 dan cita-cita Proklamasi) dan sebagian dari huruf d, yaitu integritas. Sedangkan, pribadi yang kuat, jujur, dan adil tidak diujikan dalam menentukan 45 calon dari calon yang memenuhi persyaratan administratif.
Persyaratan huruf e (memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang pemilu atau pengalaman menyelenggarakan pemilu) dan persyaratan lainnya sama sekali tidak diuji. Untuk mendapatkan surat keterangan pemenuhan persyaratan huruf h (sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan secara menyeluruh dari rumah sakit), para calon sudah mengikuti tes psikiatrik dari rumah sakit pemerintah (misalnya RSCM Jakarta) yang alat tesnya sama dengan salah satu alat tes yang diujikan tim seleksi.
Dua penyimpangan lain yang berkaitan dengan tes itu ialah menguji calon dari segi kecerdasan yang sama sekali tidak disebut dalam Pasal 11 UU N0 22 Tahun 2007 dan menguji integritas diri sang calon melalui tes tertulis, sedangkan menurut penjelasan Pasal 13 huruf g UU N0 22 Tahun 2007 diuji melalui wawancara.
Sedangkan, materi dan alat tes untuk menguji kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, misalnya, validitas dan reliabilitasnya masih diragukan. Salah satu contoh pertanyaan yang diajukan, yaitu Saudara tidak melakukan korupsi karena (a) ajaran agama, (b) undang-undang, dan (c) sumpah jabatan. Ketiga jawaban itu sama-sama benar dan jawaban yang satu tidak bisa digambarkan sebagai lebih nasionalis daripada jawaban yang lain. Bukankah keharusan sumpah jabatan dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa juga dirumuskan dalam UU?
Tim seleksi itu menguji calon-calon yang akan menyelenggarakan tiga jenis pemilu di Indonesia, yaitu memilih wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Karena menyangkut kepentingan orang banyak, alat tes yang digunakan harus memenuhi sedikitnya dua persyaratan, yaitu apa yang diujikan harus relevan dengan tujuan seleksi dan validitas dan reliabilitas alat tes yang digunakan harus teruji yang disusun pihak independen yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Presiden dapat meminta tim ahli independen untuk menguji validitas dan reliabilitas alat tes yang digunakan tersebut.
Perlu klarifikasi
Mengenai pertanyaan banyak pihak yang terkait dengan tidak lolosnya sejumlah nama yang memiliki pengetahuan dan keahlian mengenai pemilu, harus mendapat jawaban logis. Wakil Ketua KPU periode 2001-2007 Ramlan Surbakti, anggota KPU Valina S Subekti, atau peneliti CSIS Indra J Piliang harus menelan pil pahit karena tidak lolos seleksi.
Apakah nama-nama seperti mantan Sekum KPU Progo Nurjaman dan sejarawan Anhar Gonggong, masih diragukan integritas dan loyalitasnya kepada Pancasila dan UUD?
Sejumlah jawaban spekulatif bisa muncul. Jawaban itu perlu dikaji dan diklarifikasi. Pertama, adanya kecenderungan pribadi tim seleksi yang tidak suka kepada mereka yang sudah punya reputasi atau dianggap populer.
Apakah empat jenis tes yang digunakan perusahaan psikolog Sarlito Wirawan itu lebih berfungsi untuk menyingkirkan calon-calon yang dianggapnya populer di mata publik? Dugaan itu muncul setelah Sarlito menyebut calon-calon populer itu tidak serius dan memandang enteng terhadap tes tertulis yang dilakukan tim seleksi. Apa yang mendasari Sarlito menyimpulkan hal itu?
Kemungkinan munculnya faktor subjektif menjadi sulit terkontrol. Karena, tim seleksi menyerahkan sepenuhnya pengetesan kepada Sarlito dan perusahaannya. Presiden perlu menunjuk tim ahli independen untuk menguji relevansi alat tes dengan tugas, kewenangan, dan kewajiban KPU serta menguji validitas dan realiabilitas alat tes yang digunakan Sarlito.
Kedua, adanya kemungkinan kepentingan subjektif dari pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri agar calon-calon anggota KPU yang terpilih tidak terlalu kuat. Apakah tujuannya agar dapat dikendalikan Depdagri?
Selanjutnya, anggota KPU bisa dikendalikan untuk memuluskan proses pencalonan dan pemilihan Sekjen dan Wasekjen KPU sesuai dengan kehendak Depdagri. Apakah petinggi itu melaksanakan atau tidak arahan presiden dan Mendagri (kalau ada) dalam mendampingi tim seleksi? Itu perlu klarifikasi.
Perangkat kerja dalam melaksanakan pemilu jelas sangat menentukan pembangunan demokrasi di Indonesia. Kegagalan dalam memilih anggota KPU yang berkualitas tidak saja akan membahayakan berlangsungnya proses demokrasi yang sedang kita bangun, namun juga membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa. ***
Ridaya Laodengkowe, Wakil Koordinator ICW, Alumnus Universitas Birmingham, UK
Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 21 Augustus 2007