Menegakkan Hukum atau Serangan Balik Koruptor
Publik penggiat antikorupsi dibuat kaget saat Kejaksaan Agung menangkap Prof Romli Atmasasmita, seorang pakar hukum pidana dan aktivis antikorupsi.
Mantan Dirjen Administrasi Badan Hukum Departemen Hukum itu diduga terlibat korupsi pada sistem administrasi badan hukum di Departemen Hukum dan HAM yang merugikan negara Rp 400 miliar lebih. Peristiwa ini mengagetkan karena Romli dikenal sebagai aktivis antikorupsi.
Kecurigaan pun muncul. Ada kabar, Romli ditangkap karena selalu menyalahkan Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI. Kabar lain, Romli ditangkap karena selalu mempersoalkan uang pengganti di Kejaksaan Agung yang tidak transparan, dan lainnya. Sebaliknya, praktisi dan akademisi yang pernah menjadi murid Rombli menilai, ini merupakan aksi balas dari para koruptor. Betulkah demikian?
Ujian bagi Kejaksaan Agung
Penetapan sebagai tersangka dan penahanan Romli merupakan ujian bagi profesionalisme kejaksaan. Tanpa perlu merasa disudutkan, yang penting kejaksaan memiliki alasan cukup untuk melakukan tindakan itu sesuai hukum yang berlaku. Asas praduga tidak bersalah tetap harus dikedepankan, dan Romli tetap harus dihormati hak-haknya. Kecurigaan miring publik atas penangkapan sang profesor harus dibuktikan oleh kejaksaan bahwa itu tidak benar.
Kasus Romli terkait dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum. Kejaksaan juga telah menahan Dirjen AHU Syamsuddin Sinaga dan mantan Dirjen AHU sebelumnya, Zulkarnaen Yunus. Prosedur penetapan sebagai tersangka dan penahanan sudah diatur KUHAP.
Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan, seorang tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasar bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Lalu berdasar Pasal 17 KUHAP, penangkapan dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga melakukan pidana berdasar bukti permulaan yang cukup.
Doktrin menyebut bukti permulaan yang cukup diartikan sebagai ”dugaan keras”. Seperti apa ”dugaan keras” itu menjadi kewenangan kejaksaan untuk menentukannya, dan dengan alasan kepentingan penyidikan/pemeriksaan, dugaan keras semacam itu tidak wajib diberitahukan kepada publik.
KUHAP sendiri sama sekali tidak menyatakan, penetapan tersangka dilakukan jika seseorang telah diperiksa. Kita sendiri sudah sering mendengar penetapan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa didahului pemeriksaan. Mengapa demikian? Karena penyidik KPK telah memiliki bukti permulaan cukup untuk itu. Karena itu, menurut hemat kami, penetapan sebagai tersangka tanpa pemeriksaan lebih dulu bukanlah perbuatan yang melanggar HAM.
Selain isu serangan balik koruptor, isu tebang pilih juga merebak. Bagi praktisi hukum atau mereka yang bergerak di bidang hukum, isu tebang pilih sudah menjadi isu politis ketimbang yuridis. Dengan adanya banyak kasus korupsi yang sedang disidik kejaksaan dan KPK, dengan tingkat kesulitan dan pembuktian berbeda-beda, isu tebang pilih dalam penegakan hukum menjadi tidak relevan untuk dibahas. Yang terpenting, penegakan hukum harus dilakukan sesuai hukum.
Menegakkan hukum korupsi berarti menangkap dan menghukum mereka yang benar-benar terbukti melakukan korupsi. Jangan sampai orang tidak bersalah dihukum karena pengadilan kita lebih pandai menghukum ketimbang mengadili. Banyak orang telah menjadi korban birokrasi, tetapi belum tentu mereka bersalah. Karena itu, pengadilan tipikor, misalnya, jika dihadapkan pada seseorang yang diduga koruptor ternyata tidak bersalah, maka mereka harus dibebaskan. Sebaliknya, jika mereka bersalah, mereka harus dihukum setimpal dengan kesalahannya tanpa kecuali.
Korban birokrasi
Jika ditanyakan mengapa seorang aktivis antikorupsi bisa terlibat korupsi? Bisa saja, dengan kemungkinan paling kecil, mereka menjadi korban birokrasi. Tak ada yang bisa menjamin seorang aktivis antikorupsi bisa bebas dari korupsi, apalagi jika menjadi bagian birokrasi.
Saya sependapat dengan pendapat Zaenal Mochtar Arifin dari UGM, penangkapan Romli adalah bagian dari potret birokrasi. Dengan kata lain, Romli menjadi korban birokrasi. Dengan karut-marutnya birokrasi, siapa pun bisa menjadi korban apabila berada di dalamnya meski orang itu seorang penggiat antikorupsi.
Kondisi seperti ini bisa menyeret siapa saja terlibat di dalam penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Sudah banyak contoh kasus yang terjadi di berbagai departemen yang membuktikan hal itu, misalnya kasus helikopter MIIV-17 di Departemen Hankam.
Hukum harus diberlakukan untuk semua, siapa pun orangnya. Presiden SBY sendiri telah memberi contoh untuk taat pada proses hukum yang berjalan saat nama baiknya dicemarkan pihak lain. Demikian juga semua warga negara harus tunduk dan menghormati hukum, tanpa kecuali.
Apa pun yang dilakukan kejaksaan atau KPK harus dipandang sebagai bagian dari penegakan hukum tanpa harus dicurigai.
AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 November 2008