Menebar

Kamis, 27 Agustus 2009 sekitar jam 13.30 WIB, kami dari Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi, menggelar aksi di DPR. Seperti biasanya, pada aksi kali ini kami membawa Poster bertuliskan 1 Bulan Lagi. Hal itu untuk mengingatkan DPR, bahwa DPR tinggal memiliki waktu 1 bulan untuk menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Jika tidak, pengadilan terancam bubar.

Pada kedatangan ini kami membawa semprotan pembasmi tikus, racun tikus, dan perangkap tikus. Kami menyemprotkan pembasmi tikus dan menaburkan racun tikus di DPR, untuk membersihkan DPR dari hegemoni kepentingan koruptif, dan menahan serangan tikus dari luar DPR, yang membawa kepentingan koruptif ke DPR, untuk menggagalkan pembentukan UU Pengadilan Tipikor.

Mulut kami bertutup kain hitam, aksi diam ini menunjukkan bahwa kami sudah kehabisan kata-kata, untuk mengingatkan DPR, guna segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Segala cara sudah kami lakukan, untuk mendesak DPR segera mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor. Namun, kerja DPR tetap saja lambat, dan terkesan menunda-nunda penyelesaian pembahasan RUU Pengadilan Tipikor.

Berikut pernyataan kami selengkapnya:
------------------------------------------------------------------------------------

Pernyataan Pers
Menebar “Racun Tikus,” untuk Bersihkan DPR

Mulai kemarin, Rabu, 26 Agustus 2009, Panitia Kerja (Panja) RUU Pengadilan Tipikor, sudah memulai kembali pembasan RUU Pengadilan Tipikor, yang sempat terhenti beberapa waktu lamanya. Akan tetapi, waktu yang tersisa sangat sempit. Jika sampai 30 September 2009 RUU tidak disahkan, bukan tidak mungkin ini akan menjadi awal kemenangan perlawanan balik para koruptor. Sementara, komitmen Panja pun masih belum cukup meyakinkan. Kekuatan koruptif dibalik semua hambatan pengesahan RUU terasa lebih mengemuka dibanding itikad baik memberantas korupsi, dengan segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, yang materinya sesuai dengan harapan masyarakat.

Pembahasan RUU, yang dilakukan secara tertutup di luar gedung DPR, memerlihatkan begitu tingginya nilai kepentingan yang hendak mereka transaksikan melakui UU Pengadilan Tipikor. Sudah seharusnya, pembahasan RUU ini dilakukan secara terbuka. Agar masyarakat dapat melakukan pemantaun secara aktif, dan memberikan masukan-masukan terhadap materi muatan UU Pengadilan Tipikor. Supaya, subtansi dari RUU tersebut, materinya tidak bajak oleh segelintir kelompok kepentingan koruptif di lingkaran kekuasaan. Jika pembajakan dibiarkan berlangsung, sudah pasti Pengadilan Tipikor sebatas menjadi lembaga kerdil, yang tidak punya taring, dalam memerangi korupsi.

Sampai saat ini, setidaknya masih terdapat 10 point krusial, yang belum disepakati oleh pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR. Point-point krusial tersebut antara lain mengenai: judul, pengertian hakim karir, pengertian hakim ad hoc, pengertian penuntut umum, kedudukan dan tempat Pengadilan Tipikor, komposisi hakim Pengadilan Tipikor, tuntutan ganti rugi yang menjadi dasar tuntutan, kewenangan Pengadilan Tipikor untuk mengadili penggabungan tuntutan ganti kerugian yang menjadi dasar dakwaan, kewenangan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dan lamanya pemeriksaan di pengadilan.

Hari ini, kami dari Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi, kembali datang ke gedung rakyat, untuk membersihkan gedung kami dari “serangan tikus.” Sudah kami siapkan ”Racun Tikus” dan ”Perangkap Tikus.” Sebagai simbol upaya membersihkan DPR dari praktek ”tikus koruptor” yang menghambat pengesahan RUU Pengadilan Tipikor.

Kami datang dengan, kain hitam penutup mulut, simbol kekecewaan masyarakat pada DPR. Karena meskipun telah sangat sering memberikan masukan, ide dan dorongan, bahkan makian, namun pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tetap lamban dan terseok-seok.

Kami menuntut kepada DPR:

  1. Sahkan RUU Pengadilan Tipikor, sebelum 30 September 2009.
  2. Pertahankan komposisi hakim, dengan 3 adhoc dan 2 karir. Usulan yang menginginkan hakim karir lebih banyak, atau komposisi hakim ditentukan oleh Ketua PN, adalah usulan dari mereka yang menghendaki Pengadilan Tipikor setengah bubar. Karena dibawah dominasi Pengadilan Negeri. Sementara sebagian besar Pengadilan Negeri, integritasnya masih diragukan.
  3. Pembentukan Pengadilan Tipikor cukup di lima wilayah, yang mewakili masing-masing region. Meliputi Jakarta Pusat, Medan, Makassar, Balikpapan, dan Surabaya. Sebab jika Pengadilan Tipikor di setiap ibukota kabupaten/kota, maka tak ada ubahnya dengan Pengadilan Negeri.
  4. Pembentukan Pengadilan Tipikor di tiap ibukota kabupaten/kota adalah suatu bentuk pemborosan anggaran negara. Dalam hitungan kami, jika Pengadilan Tipikor hanya dibentuk di lima wilayah, negara bisa melakukan penghematan anggaran gaji hakim, setidaknya Rp. 543.320.000.000,00 (Lima Ratus Empat Puluh Tiga Milyar  Tiga Ratus Dua Puluh Juta Rupiah) per tahun, yang dapat dialokasikan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Jakarta, 27 Agustus 2009


Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi


(KRHN, ICW, LBH Jakarta, MAPPI FH UI, TI Indonesia, MTI, LeIP, PSHK, ILR, ILRC, IBC, ICEL, PuKAT FH UGM, YLBHI, RACA Institute, Wahid Institute, FITRA, LBH Padang, ICM Yogyakarta, SaHDAR Medan,PuSaKo Universitas Andalas, AMAK, KP2KKN Jawa Tengah, PATTIRO Semarang, Pokja 30 Kaltim, Malang Corruption Watch (MCW), Bali Corruption Watch (BCW), MATA Aceh, Garut Governance Watch (GGW), PIAR Kupang)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan