Mendongkrak (Lagi) Semangat Antikorupsi
Reformasi 1998 telah menelurkan semangat baru dalam bernegara. Salah satu semangat yang paling memancar begitu gegapgempita adalah dalam hal mengenyahkan praktik korupsi, kolusi,dan nepotisme (KKN) dari bumi Indonesia. Pada masa-masa itu,korupsi dipandang sebagai salah satu pangkal penyebab yang membuat bangsa Indonesia nyaris terpuruk ke titik nadir.
Berbekal semangat itu,bermunculanlah berbagai perangkat hukum,mulai TAP MPR No XI/MPR/1998,UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari KKN,UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,hingga UU No 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai alat yang sangat diharapkan untuk menyikat habis korupsi di Indonesia,KPK sadar betul bahwa tugas yang diemban itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Korupsi telah begitu menggerogoti nyaris di segenap sendi kehidupan. Bahkan,korupsi telah menggeser sistem nilai yang ada di masyarakat. Berbagai kalangan mulai merasionalisasikan korupsi sebagai budaya dan the way of life sehingga tidak mungkin diberantas lantas bersikap permisif terhadap tindakan korupsi.
Sebagai contoh,pengusaha merasionalisasi korupsi dalam bentuk penyuapan dan lain-lain sebagai biaya yang wajar dikeluarkan untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Juga banyaknya pandangan bahwa setiap pemberian dari orang lain dianggap rezeki tanpa merasa perlu untuk memikirkan asal-usul uang yang diberikan.
Lebih parah lagi,di masyarakat ada anggapan bahwa setiap pejabat adalah orang kaya sehingga dijadikan sasaran untuk dimintai sumbangan.Dampaknya,si pejabat terpaksa berbuat sesuatu yang melanggar hukum. Memandang kondisi objektif itu dan sebagaimana yang tertuang dalam UU No 30 Tahun 2002,dalam upaya pemberantasan korupsi,KPK tidak hanya berkonsentrasi melakukannya secara represif.
KPK tidak hanya melakukan penyelidikan,penyidikan, penuntutan,serta pemeriksaan di muka hakim atau yang lebih dikenal dengan menangkapi para koruptor.KPK juga melakukan apa yang dinamakan tindakan preventif yang dilaksanakan secara sistematis dengan pendekatan sosiologis dan legislatif.Karena itu, KPK juga gencar melakukan sosialisasi dan pendidikan antikorupsi.
Melemahnya Semangat
Apa yang menjadi concernKPK tentang pentingnya melakukan berbagai upaya demi mengubah persepsi masyarakat dan mendorong terciptanya perilaku sosial baru, ternyata terbukti memang merupakan hal yang sangat penting.Reformasi belum lagi genap menjejakkan kaki di angka 10 tahun,indikasi melemahnya semangat antikorupsi mulai terlihat.
Tengok saja fenomena yang terjadi belakangan ini.Mulai terlihatnya berbagai upaya yang menjurus kepada pembelaan terhadap para koruptor dengan dalih tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.Serangan balik (corruptors fight back) ini sangat terlihat pada upaya gencar pemberantasan yang dilakukan khususnya oleh KPK.
Sangat disayangkan, upaya perlawanan yang sangat tidak proporsional terutama sekali diungkapkan tokoh masyarakat bahkan para akademisi yang menyatakan bahwa KPK telah salah sasaran,bahkan ada yang menuntut supaya KPK dibubarkan saja. Kalau dikaji lebih jauh,ternyata berbagai serangan balik tersebut selain sebagai upaya mendiskreditkan KPK, juga disebabkan kurangnya pemahaman mengenai makna korupsi itu sendiri dan makna pemberantasan.
Sebagian masih ada memaknai pemberantasan korupsi terbatas sebagai upaya represif,sehingga ketidakpuasan tersebut diungkapkan dengan istilah tebang pilih,salah sasaran,dan lain-lain.Pemahaman tentang perangkat hukum yang ada juga memberi andil.Banyak pihak yang menyatakan KPK tidak bernyali karena tidak menyentuh kasus mantan Presiden dan BLBI.Padahal,secara nyata dalam undang-undang bahwa KPK tidak diberikan wewenang melakukan represif terhadap kasus korupsi yang terjadi sebelum 1999.
Sangat mengecewakan pula saat kita mendapati berbagai pendapat yang memandang tindak pidana korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime)yang telah ada sejak dulu. Persepsi demikian