Mendambakan (Kampanye) Partai Politik Berkualitas

Tudingan mencuri start kampanye pemilu yang dialamatkan kepada partai politik tertentu mencuat kembali. Baru-baru ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan menunggangi momen peringatan Hari Ibu, melalui organisasi sayapnya, Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB), melakukan gerak jalan santai yang melibatkan kurang lebih 6.000 orang (Kompas, 29 Desember 2003).

Aktivitas yang melibatkan massa dengan mempertontonkan atribut PKB ini dianggap sebagai bagian dari mencuri start kampanye. Namun, bagi Ketua Umum PKB Alwi Shihab, kegiatan itu bukan bagian dari kegiatan kampanye karena angka 15 yang merupakan nomor PKB sebagai peserta pemilu tidak ditampilkan. Alasan lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai saat ini belum memberikan batasan resmi mengenai kegiatan yang bisa dikategorikan sebagai kampanye.

Sesungguhnya kegiatan seperti yang dipraktekkan PKB bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Partai peserta pemilu lainnya dalam beberapa momen juga melakukan hal serupa. Ini mudah dipahami karena secara yuridis-formal, dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif, terdapat kelemahan mendasar karena permasalahan seputar kampanye tidak dirumuskan secara detail. UU tersebut tidak memberikan batasan yang jelas mengenai kampanye pemilu dan perincian kegiatan pemilu yang bisa ditoleransi atau diterima.

Titik lemah UU ini tentu saja merupakan berkah bagi para peserta pemilu--tidak hanya partai politik--karena dapat dimanfaatkan untuk melakukan kampanye terselubung tanpa ada risiko hukum apa pun. Dalam UU itu tidak ada sama sekali pasal yang dapat digunakan untuk menindak peserta pemilu yang mencuri start kampanye. Bagaimana mungkin UU bisa menjerat peserta pemilu yang diduga mencuri start kampanye jika yang disebut sebagai kampanye sendiri tidak pernah jelas?

Dalam pada itu, sebenarnya posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi penting karena telah mendapat mandat UU Pemilu Legislatif untuk merumuskan ketentuan, pedoman, ataupun aturan main kampanye yang lebih teknis dan operasional dalam bentuk keputusan. Dengan adanya keputusan KPU, diharapkan potensi kecurangan dan kerawanan seputar kampanye pemilu dapat dikurangi. Tapi sayangnya, hingga detik ini KPU belum menetapkan keputusan apa pun untuk mengatur kampanye pemilu. Maka, jangan heran seandainya ada partai lain dengan massa yang lebih besar akan melakukan hal serupa seperti yang dipertontonkan PKB di luar waktu yang diberikan UU untuk melakukan kampanye, yakni selama tiga minggu.

Berdebat soal kategori apakah suatu acara yang dibuat partai politik merupakan kegiatan kampanye atau bukan, bagi saya sangat membuang energi dan cenderung sia-sia. Pasalnya, hampir tidak ada sumber hukum yang dapat dijadikan referensi untuk menilai kategori kampanye dan bukan kampanye. Ada baiknya polemik soal mencuri start kampanye kita alihkan untuk menilai seberapa berkualitas kegiatan kampanye (resmi atau terselubung) yang selama ini dipraktekkan partai politik. Dengan menilai kualitas kampanye mereka, kita setidaknya dapat memberi pertimbangan bagi pemilih (voters) yang akan menentukan pilihan politiknya pada pemilu April 2004.

Kualitas kampanye partai politik bisa dinilai dari beberapa ukuran sederhana. Pertama, apakah kegiatan kampanye itu mampu meningkatkan kemelekan (literacy) politik konstituen partai atau tidak? Semua orang paham bahwa kegiatan kampanye merupakan medium pendidikan politik masyarakat, khususnya konstituen partai. Namun, kegiatan kampanye itu harus didukung oleh model, materi, dan cara kampanye yang tepat supaya misi membuka cakrawala politik konstituen dapat tercapai.

Melihat dari strategi kampanye partai politik yang masih menggunakan model pengerahan massa atau arak-arakan tentunya rasa pesimistislah yang mengemuka. Hampir tidak ada nilai tambah dari kampanye semacam itu untuk meningkatkan kapasitas politik massa. Bahkan yang terjadi sering sebaliknya, kekerasan, bentrok antarmassa, dan umpat-mengumpat antara satu pendukung partai dan pendukung lainnya kental tergambar. Tidak ada sikap santun, saling menghormati, dan sikap antikekerasan yang menjadi inti pendidikan demokrasi. Dengan kata lain, model kampanye yang selama ini dikembangkan partai politik cenderung bertolak belakang dengan misi pendidikan politik yang ingin diraih.

Di samping kelemahan model kampanye, seringkali materi kampanye partai politik tidak mengandung nilai pendidikan politik yang memadai. Namun, menguatkan ikatan patronase politik yang didasarkan pada basis emosional tertentu, seperti agama, ideologi, suku, atau golongan. Kasus bentrokan pendukung partai Golkar dan PDIP di Bali yang menewaskan beberapa orang hanya karena soal bendera partai dapat dijadikan ajang refleksi bahwa pendidikan politik lewat media kampanye yang seharusnya diperankan oleh partai politik belum berjalan.

Kedua, apakah kampanye itu merupakan instrumen untuk menanggapi isu-isu populis yang kemudian dikerangkakan dalam bentuk output kebijakan partai politik atau kebijakan pemerintah jika partai itu berkuasa? Jika kita hanya melihat dari janji-janji kampanye yang diumbar partai politik, tentunya kita tidak akan dapat mengukur seberapa berkualitas kampanye itu dilakukan, karena tidak ada partai yang tidak menjanjikan sesuatu yang bermanfaat bagi publik. Apalagi menimbang waktu yang sangat singkat untuk melakukan kegiatan kampanye seperti yang dialokasikan UU Pemilu Legislatif telah memaksa partai politik lebih fokus pada kampanye lisan (baca: mengumbar janji).

Oleh karena itu, ada baiknya kampanye itu tidak dipahami hanya sebatas tiga minggu seperti yang diatur UU. Karena di berbagai waktu dan kesempatan, banyak kejadian atau peristiwa yang menyangkut nasib publik harus diputuskan. Di saat itulah, momen itu bisa digunakan sebagai ajang kampanye. Namun, tidak ada partai politik yang sadar dan lantas bisa memanfaatkannya. Sebut saja, misalnya, bencana longsor di Bohorok beberapa waktu lalu. Adakah partai politik yang melakukan aksi dan memberikan sekadar ucapan belasungkawa? Demikian pula halnya dengan krisis kemanusiaan di Aceh yang tidak bisa diprediksi kapan selesainya. Adakah partai politik yang berteriak lantang menentang kebijakan yang cenderung mengabaikan hak asasi manusia di kalangan masyarakat Aceh?

Masih ada sekian ribu deret persoalan publik yang seharusnya ditanggapi oleh partai politik untuk dijadikan investasi politiknya. Namun, rupanya semua terlalu asyik dengan urusan penyusunan daftar calon legislatif dan persyaratan lainnya untuk dapat berkuasa. Singkatnya, saat ini urusan partai politik adalah urusan domestik yang tendensinya mencerminkan rendahnya rasa keberpihakan dan berorientasi pada kekuasaan semata.

Ketiga, kampanye yang berkualitas seharusnya mampu mendorong partai politik untuk mengaktualisasikan demokrasi internalnya secara nyata. Sebenarnya, dua momen kampanye positif bagi partai politik untuk menunjukkan jati dirinya sebagai partai yang dapat bertanggung jawab (accountable) dan demokratis di hadapan publik adalah ketika kebijakan KPU mengenai penyerahan rekening dana kampanye partai politik dikeluarkan. Sampai batas akhir yang diberikan KPU, partai politik hanya memberikan nomor rekening kampanye tanpa disertai sumber dan jumlah saldo awalnya.

Fakta ini setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, memang partai politik tidak memiliki saldo sama sekali sehingga tidak bisa dicantumkan. Kedua, partai politik tidak memiliki political will untuk berlaku terbuka dan bertanggung jawab di hadapan publik. Jika alasan kedua yang lebih kuat, tentunya kita bisa menduga bahwa dana pemilu partai berasal dari sumber yang tak jelas, bahkan bisa jadi berasal dari tindak kejahatan (korupsi) sehingga tidak mungkin untuk dibeberkan kepada publik melalui KPU.

Momen lainnya adalah ketika daftar calon anggota legislatif untuk diserahkan ke KPU disusun. Proses penyusunan calon di dalam partai masih jauh dari gambaran demokratis. Bahkan di saat-saat terakhir penyusunan, aspirasi bawah di lingkungan dalam partai bisa dikhianati. Misalnya, Marwah Daud dari Golkar yang semula dicantumkan sebagai calon anggota legislatif nomor jadi, harus terpental ke nomor empat. Jika aspirasi bawah di lingkungan dalam partai saja bisa dikhianati, bagaimana dengan aspirasi masyarakat pemilih yang tidak memiliki ikatan struktural dengan partai?

Seandainya partai politik tidak dapat mewujudkan mekanisme demokrasi internalnya sebagai tradisi berpolitik, akankah partai politik bisa memikul tanggung jawab untuk menyebarkan benih-benih demokrasi di lingkungan sosial politik yang lebih luas? Sepertinya, kita masih berada jauh dari harapan itu.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, Selasa, 13 January 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan