Mencemaskan RUU Tipikor Terbengkalai

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 memiliki waktu kurang lebih 80 hari saja untuk bisa mengesahkan rancangan undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi (RUU tipikor).

UU itu sangat dinanti-nanti oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang pro pemberantasan korupsi. Harapan masyarakat tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pengadilan tipikor bisa memberikan putusan-putusan yang jauh lebih berat bagi pelaku korupsi dibandingkan pengadilan umum. Alasannya, banyak pengadilan umum yang memberikan hukuman satu tahun penjara, bahkan vonis bebas bagi koruptor.

Melihat kondisi peradilan umum yang masih jauh dari harapan, bahkan sering dijuluki "surga" bagi koruptor, masyarakat pemerhati korupsi sangat berharap agar DPR yang sekarang bisa menyelesaikan RUU tipikor sebelum habis masa jabatannya. Sebab, bila belum bisa diselesaikan dalam kurun waktu yang kurang dari tiga bulan itu, nasib pemberantasan korupsi akan terkatung-katung, bahkan berjalan mundur.

Kehadiran pengadilan tipikor sangat dibutuhkan untuk melakukan akselerasi pemberantasan korupsi yang menggunung di negeri ini. Sebab, pengadilan tipikor adalah salah satu alternatif untuk mengatasi kebuntuan ketika pengadilan umum belum memperlihatkan geliat berbenah diri menjadi penyangga gerakan reformasi dalam penegakan hukum. Ketidakpercayaan terhadap kinerja pengadilan umum inilah yang melatarbelakangi lahirnya pengadilan tipikor.

Kondisi pengadilan umum tersebut ke depan semakin parah seiring dengan kondisi Mahkamah Agung (MA) yang cenderung dinilai banyak pihak berjalan mundur. Ada kesan bahwa MA ke depan akan semakin sarat dengan beban politik dan "utang jasa" kepada banyak pihak atas disahkannya UU MA yang menetapkan masa pensiun hakim agung 70 tahun.

Lolosnya usia pensiun hakim agung 70 tahun tidak mungkin lepas dari peran banyak pihak yang terkait dengan korupsi. Sebab, secara empiris, putusan-putusan kasus korupsi yang ditangani pengadilan negeri di berbagai daerah dan pusat (Jakarta) sejak bergulirnya reformasi, mayoritas pada 2009, akan memasuki meja MA (kasasi).

Kita memang belum bisa memberikan justifikasi MA pasti akan membayar dengan putusan-putusan ringan atau membebaskan bagi para koruptor. Tetapi, sebagai bangsa yang menghendaki korupsi diberantas secepatnya, kita patut curiga atas fenomena politik seperti ini.

Mencemaskan
Secara matematis, waktu kurang dari tiga bulan adalah waktu yang amat sempit untuk bisa menyelesaikan sebuah RUU yang cukup penting dan krusial itu. Apalagi, dalam waktu tiga bulan itu pula, anggota DPR harus melakukan kampanye untuk Pemilu 2009. Jelas, mereka akan lebih mementingkan mengunjungi calon pemilih daripada berjibaku duduk di kursi parlemen untuk menyelesaikan RUU tipikor.

Kesibukan di luar gedung DPR tersebut tak terelakkan. Sebab, mereka semua ingin terpilih kembali untuk bisa duduk di kursi empuk itu. Keinginan tersebut tidak bisa diperoleh dengan santai-santai seperti pemilu yang lalu. Saat itu, penentuan calon menjadi lewat nomor urut. Bila nomor urut sudah dikantongi, setidaknya sudah nyicil ayem terlebih dahulu.

Tapi, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan calon jadi didasarkan pada suara terbanyak menjadikan kepanikan tersendiri di kalangan para caleg. Prediksi untuk bisa duduk kembali sebagai wakil rakyat yang terhormat harus dipikir ulang. Sebab, tiket nomor urut sudah tidak berlaku lagi. Kini, yang terjadi ialah kompetisi murni, baik di internal partai maupun eksternal. Semua sekarang memiliki peluang yang sama untuk jadi atau tidak jadi.

Kondisi tersebut semakin sulit untuk mendorong para anggota DPR sekarang agar bisa bekerja penuh menyelesaikan RUU tipikor. Jangankan memikir nasib RUU tipikor, memikir nasib sendiri saja sekarang ini para anggota DPR sangat susah. Masa depannya sangat tidak menentu.

Dalam situasi politik yang seperti ini, kita patut cemas. Kecemasan itu bisa kita alamatkan pada dua kemungkinan. Pertama, kemungkinan RUU tipikor akan bisa selesai dengan dipaksakan yang berarti kelahirannya pasti "cacat" alias tidak ideal. Masih banyak kelemahan di sana sini yang bisa-bisa sangat merugikan proses percepatan pemberantasan korupsi.

Kedua, kemungkinan tidak bisa selesai karena waktu yang tidak mencukupi. Dua kondisi tersebut sangat merugikan bagi gerakan pemberantasan korupsi.

Kondisi yang serbasulit dan mencemaskan tersebut bukan berarti murni karena situasi memang seperti itu. Bisa juga, sebenarnya kondisi itu terjadi karena diskenario secara baik oleh para pemegang kebijakan mulai dari eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR). Kemungkinan adanya skenario untuk menunda-nunda pengesahan RUU tipikor tersebut sangat mungkin mengingat waktu yang diberikan MK adalah dua tahun dan akan berakhir Desember 2009. Waktu selama satu tahun, Desember 2007-Desember 2008, telah gagal dimanfaatkan untuk menyelesaikan RUU tersebut.

Jika tidak selesai dengan tenggang waktu yang diberikan oleh MK, kasus-kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dilimpahkan ke pangadilan umum yang menjadi surga bagi para koruptor. Mungkin, kondisi inilah yang diharapkan politisi yang "bermasalah".

Pertanyaannya, di manakah letak keseriusan pemerintah dan DPR untuk memberantas korupsi? Korupsi tidak akan berkurang kalau hanya digembar-gemborkan. Pemberantasan korupsi perlu instrumen-instrumen hukum dan institusi yang benar-benar netral, baik, dan progresif. Tetapi, dengan masih belum jelasnya RUU tipikor dengan limit waktu yang sebegitu sempit, kita tidak bisa berharap banyak, kecuali mudah-mudahan ada mukjizat yang menggerakan hati anggota DPR untuk menyeriusi masalah tersebut.

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Janauri 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan