Mencegah Selingkuh Kepentingan

Fenomena dwifungsi tetap mewarnai jagat politik Indonesia. Setelah dwifungsi ABRI dihapuskan, muncul dwifungsi lain. Pengusaha berbondong-bondong menjadi pejabat publik, tidak hanya di eksekutif, tapi juga di legislatif.

Di kabinet Indonesia Bersatu, sepertiga menteri adalah pengusaha. Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah pengusaha ngetop dari kelompok jaringan bisnis di kawasan timur Indonesia. Di Senayan pun, hampir 40 persen anggota DPR merangkap pengusaha.

Tidak semua pengusaha yang berpolitik berdampak negatif. Namun pengalaman empirik di negara berkembang menunjukkan, kemungkinan tabiat koruptif dari dwifungsi justru semakin membesar. Mengapa? Karena umumnya, motivasi utama para 'taipan' berpolitik guna mempertahankan kepentingan bisnisnya (Harris, 2003).

Tracking yang dilakukan menunjukkan, pebisnis di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan entrepreneur sejati. 'Kerajaan' bisnis yang dibangun bukan hasil persaingan usaha sehat dan inovasi bisnis, tetapi dari privilege dan konsesi yang diberikan patron politik. Yashuhiro Kunio (1990) menamakannya ''kapitalis semu'' (ersatz kapitalism), yaitu pengusaha yang tumbuh karena memiliki hubungan mesra dengan rezim.

Contohnya, Thaksin Shinawatra, kini Perdana Menteri Thailand, adalah taipan media dan telekomunikasi. Peneliti dari Universitas Chulalongkorn, Pasuk Phongphaichit, dan pengamat politik, Cris Baker, mengurai perkembangan bisnis Shin Corporation (tadinya Shinawatra Corp).

Thaksin yang mantan perwira polisi, memulai bisnis dengan memasok peralatan komputer dan ATK untuk kepolisian. Awal 90-an ia mendapat konsesi di bidang telekomunikasi (paging, telepon seluler, card-phone), satelit, TV kabel, dan datanet sebesar 1,3 miliar bath (Pasuk dan Baker, 2004).

Bahaya dwifungsi
Faktanya, dwifungsi mempunyai bahaya laten. Yang paling sering terjadi adalah selingkuh kepentingan. Pejabat publik yang juga pengusaha sangat sulit memisahkan kepentingan pribadi dan publik. Jika terjadi split personality, maka kolusi dan nepotisme akan terjadi. Kebijakan publik, akses terhadap sumberdaya publik, konsesi dan lisensi, kontrak proyek-proyek pemerintah, serta kemudahan lainnya akan dinikmati oleh kelompok bisnisnya.

Dampaknya, ekonomi dan pembangunan tidak akan berkembang, karena dijalankan oleh pengusaha dengan kemampuan dan inovasi rendah. Karena ekonomi dikuasai pemburu rente dan cenderung tidak kompetitif, entreprenuer sejati dan investor asing menjadi enggan berbisnis.

Pun, keuntungan dari korupsi hampir pasti tidak diinvestasikan pada aktivitas yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, keuntungan dari rente ekonomi diinvestasikan pada bisnis berorientasi jangka pendek, sektor yang ''aman'' dan mudah dilarikan keluar negeri (capital flight), atau ditimbun di bank-bank di Swiss (Hutchcroft, 2002).

Kedua, dengan superioritas finansialnya, kapitalis-pejabat dengan mudah mendominasi proses politik. Dengan dukungan kampanye media, bahkan ada yang memiliki jaringan media, membuat propaganda untuk proyek politik pribadi. Kompetisi pemilu menjadi tidak seimbang lagi. Thaksin bahkan berusaha mengontrol pemberitaan media. Sesuatu yang sangat berbahaya bagi demokrasi (Pasuk dan Baker, 2004).

Bahaya lainnya jika saudagar sudah melebarkan jaringan dengan menguasai institusi publik, baik birokrasi dan komisi negara, adalah jaringan politico-business yang merajai ranah politik dan ekonomi.

Pencegahan
Untuk mencegah institusi publik dimanfaatkan bagi kepentingan sempit pengusaha, harus ada mekanisme agar selingkuh kepentingan tak terjadi. Keinginan Presiden SBY membuat instruksi presiden (inpres) yang mengatur bisnis pejabat perlu disambut baik.

Tapi sangat disayangkan jika kemudian inpres ini hanya melegitimasi pejabat berbisnis, tanpa melarangnya sama sekali. Sebab di negara tetangga seperti Thailand dan Filipina, serta Afrika Selatan, konstitusi negara melarang dwifungsi dan pembatasan lainnya untuk mencegah selingkuh kepentingan. Konstitusi Filipina 1987 yang disusun setahun setelah Presiden Aquino berkuasa, tegas melarang dwifungsi anggota Kongres (DPR dan senat), maupun pejabat publik lainnya. Konstitusi ini disusun dengan semangat people power yang menggulingkan rezim diktator Marcos. Bab VI mengenai Legislative Department mengatur secara khusus anggota Kongres.

Pasal 12 mewajibkan anggota Kongres membuka semua kepentingan finansial dan bisnisnya. Dalam mengajukan RUU pun, anggota Kongres wajib memberitahukan potensi selingkuh kepentingan dari materi rancangan peraturan itu.

Anggota Kongres juga dilarang merangkap jabatan di pemerintahan dan BUMN/D. Yang bersangkutan juga tidak boleh menduduki jabatan dari suatu institusi yang dibentuk pada masa ia menjabat sebagai legislator (Pasal 13). Anggota Kongres juga tidak boleh merangkap pengacara atau penasihat hukum. Yang paling penting adalah larangan mendapatkan kontrak proyek dan privilege lainya dari pemerintah, termasuk BUMN/D, koperasi yang mendatangkan keuntungan finansial secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 14). Tujuannya jelas agar anggota Dewan tidak menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan proyek dan kemudahan lainnya. Bahkan, mereka tidak akan mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan walau UU yang dibuat mengesahkan kenaikan tersebut. Kenaikan 'dinikmati' anggota Kongres periode mendatang. Sungguh bertolak belakang dengan praktik di negeri kita.

Untuk eksekutif, UUD Filipina Bab VII mengatur pencegahannya. Pasal 13 menyebutkan bahwa presiden, wakil presiden, anggota kabinet dan para deputi serta asistennya, dilarang rangkap jabatan, rangkap kerja, dan memiliki bisnis. Juga larangan mendapatkan kontrak dan privilege dari institusi publik apapun.

Pasal ini juga menegaskan bahwa istri/suami Presiden dan keluarganya sampai tingkat keempat (fourth civil degree) tidak boleh diangkat ataupun ditunjuk menduduki jabatan publik apapun --termasuk di birokrasi dan BUMN/D.

Bahkan, Presiden tidak boleh mengangkat pejabat dua bulan sebelum pemilu presiden sampai akhir masa jabatannya, kecuali pengangkatan sementara dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan publik (Pasal 15). Konstitusi Filipina juga mengatur akutabilitas pejabat publik pada Bab XI seperti bunyi Pasal 16: ''Bank-bank maupun institusi keuangan pemerintah tidak diperkenankan memberikan pinjaman, garansi kepada bisnis dari Presiden, anggota Supreme Court, Komisi Konstitusi, dan Ombudsman selama masa jabatannya. Pasal 17 mengatur masalah pelaporan kekayaan dari pejabat publik termasuk perwira militer. Laporan kekayaan ini harus dibuka ke publik.

Di Thailand, setelah melalui berkali-kali kudeta dan dikuasai oleh ''diktator trifungsi'' (militer-pejabat-pebisnis) dan dilanda krisis ekonomi, Raja Bhumibol Adulyadej membubarkan pemerintahan. Kemudian dibentuk Majelis Konstitusi beranggota 99 orang yang dipilih melalui pemilu. Konstitusi Thailand yang baru disebut sebagai ''Konstitusi Rakyat'' membawa perubahan politik yang fundamental.

Konstitusi inipun memasang rambu-rambu untuk mencegah selingkuh kepentingan dan dwifungsi pejabat publik. Dalam bagian kedua dan ketiga memuat peraturan untuk anggota Majelis Nasional (DPR dan Senat). Pada Pasal 110 tertera aturan yang melarang rangkap jabatan. Anggota Majelis Nasional juga dilarang menerima konsesi dan kontrak dari pemerintah serta dilarang mempunyai saham maupun kerja sama di perusahaan. Larangan mencakup penerimaan uang dan keuntungan lainnya dari institusi manapun (kecuali gaji sebagai anggota Majelis Nasional).

Untuk perdana menteri dan jajarannya, berlaku larangan mempunyai usaha, saham dan kerja sama di perusahaan tertentu. Ditambah larangan menjadi pegawai perusahaan apa saja (Pasal 208). Yang bersangkutan harus melaporkan ke Komisi Nasional Anti-Korupsi (NCCC) perihal usaha bisnisnya dan dalam waktu 30 hari kepemilikannya sudah harus ditranfer ke orang lain (Bab VII Pasal 209).

Konstitusi Thailand juga mengatur laporan kekayaan kekayaan pejabat sampai ke istri/suami dan anak-anak (Bab X, Pasal 291). Sebuah mekanisme yang memungkinkan pemecatan seorang pejabat juga dibuka untuk publik. Konstituen cukup mengumpulkan 50 ribu tandatangan dan diserahkan kepada Presiden Senat yang akan diteruskan ke NCCC.

Konstitusi Afrika Selatan, hasil amandemen Oktober 1996, menyebutkan di Pasal 96 Ayat 2: ''Anggota kabinet dan para wakil menteri tidak boleh mengambil pekerjaan lain yang menghasilkan uang.'' Anggota kabinet yang juga anggota Majelis Nasional, tidak boleh melakukan segala sesuatu yang menimbulkan selingkuh kepentingan. Juga tidak boleh menggunakan jabatannya atau informasi untuk memperkaya diri sendiri ataupun menguntungkan orang lain.

Jika dibandingkan dengan UUD Thailand dan Filipina, memang konstitusi Afsel tidak secara detail mengatur pembatasan penyalahgunaan jabatan. Akan tetapi, konstitusi ini memiliki suatu lembaga yang disebut Public Protector. Institusi ini berhak menginvestigasi misconduct dari posisi publik dan memberikan sanksi. Public Protector diatur UU khusus dan memiliki akses yang tak terbatas (Pasal 182).

Inpres tidak cukup
Jika dibandingkan dengan Filipina, Thailand, dan Afsel, pencegahan selingkuh kepentingan pejabat publik minimal diatur UU. Inpres saja tidak cukup. Pemerintah bisa mengusulkan amandemen UU No 28/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN yang perlu direvitalisasi. UU ini harus mensyaratkan pejabat publik yang juga usahawan melepaskan semua jabatan di perusahaan miliknya. Perusahaan tersebut tidak boleh menerima proyek, konsesi, dan kemudahan yang dananya dari negara. Juga aturan mengenai pengungkapan kepentingan (interest disclosure) untuk mengurangi 'selingkuh' kepentingan. Jika tidak, lebih baik melepaskan jabatan publik. Untuk anggota kabinet yang masih tetap ''mendua'', Presiden jangan ragu mengganti mereka.

Luky Djani, Wakil Koordinator ICW

Tulisan ini disalin dari Republika, 21 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan