Mencegah Rentenir Politik [20/07/04]

Dalam putaran pertama pemilihan presiden dan wakil presiden yang baru lalu, kita menyaksikan banyak sekali spanduk, posko, tanda gambar, sampai pernak-pernik kecil lainnya. Tentu keseluruhan materi kampanye itu membutuhkan uang. Uang adalah minyak pelumas yang akan memperlancar proses negosiasi, sosialisasi, dan akomodasi kampanye. Tanpa uang, politik hanyalah bagian dari bahasa akademis, bahkan mungkin kalimat kaum fisolof, karena terdengar ideal, nyaris tanpa cela, demi kedaulatan rakyat.

Dengan uang, politik mengalami proses perceraian dengan landasan idealnya. Ideologi juga menghilang, diganti dengan berbagai bentuk 'penyesuaian' keadaan. Bukan hal yang baru lagi, kalau politik bisa menjadi tangga naik mencapai tingkat kesejahteraan tertentu. Kemewahan kaum politisi sudah menjadi buah bibir masyarakat. Jarang sekali kaum kere sekarang menjadi bagian dari politisi, kecuali satu-dua orang yang tetap mempertahankan integritas dan martabat dirinya, antara lain dengan naik bus ke Senayan.

Sayangnya, sering kali kekuasaan uang ini mengalahkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Ideologi, platform, program, sampai rincian janji-janji kampanye yang bejibun hanya dianggap sebagai alas duduk. Semuanya akan dimasukkan ke brankas, atau dibuang di tong sampah, pascapemilu. Sulit kita mendapatkan politikus yang secara keras, tegas, dan spartan memperjuangkan apa yang mereka katakan ketika kampanye berlangsung.

***

Salah satu program yang mestinya dientaskan dalam fase transisi demokrasi ini adalah membatasi ruang gerak kaum konglomerat, terutama konglomerat hitam. Sangatlah janggal, di tengah masyarakat miskin yang hanya mampu makan singkong atau sagu, sejumlah orang makan dengan rakusnya di banyak restoran luar negeri dengan mengandalkan bisnis haram. Bisnis itu bersifat ilegal, termasuk mengimpor gula sehingga petani tebu kehilangan pencarian, impor beras sehingga jutaan petani hancur masa depannya, ekspor pasir dan kayu secara tidak sah, hingga penguasaan industri hulu sampai hilir dengan tak memberikan kesempatan kepada koperasi. Masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan usaha kecil-menengah dan industri berbasis keluarga, akhirnya juga harus bersaing dengan sejumlah konglomerat yang mendapatkan perlindungan politik.

Dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam Indonesia yang kaya raya, mustahil kemiskinan menjadi hantu bagi rakyat banyak. Persoalan utamanya terletak pada manajemen pemerintahan dan ketiadaan political will kalangan yang berkuasa untuk membatasi kepemilikan sumber daya alam oleh segelintir orang. Padahal, negara bukanlah hak milik seseorang atau sekelompok orang saja, melainkan hak milik semua warga negara, termasuk hak milik generasi mendatang. Negara adalah hak milik kaum miskin, kaum kaya, juga kelompok orang-orang cacat, termasuk hak milik orang-orang yang dianggap tak waras dan ditempatkan di rumah-rumah sakit jiwa.

Sebagaimana dicatat oleh sejarah, krisis nilai tukar sejak Juli 1997 salah satunya disumbangkan oleh utang pemerintah dan utang swasta yang jatuh tempo. Utang swasta ini dikendalikan oleh sekelompok orang yang jumlahnya tak sampai 200 orang, namun memiliki ribuan perusahaan. Orang-orang itu dalam rezim otoriter-birokratik Orde Baru dilindungi lewat berbagai macam peraturan, bahkan hanya dengan mengandalkan surat sakti. Ketika perusahaan mereka kolaps, maka Indonesia turut runtuh, disapu oleh badai krisis moneter, sampai kemudian krisis peradaban secara total. Indonesia akhirnya turut diombang-ambingkan oleh perbuatan hanya segelintir orang. Krisis merajalela, konflik terbuka bangkit ke permukaan, lantas kekerasan menjadi pemandangan harian. Aparatur pertahanan dan keamanan pun gagal menjalankan tugasnya, karena juga mengalami krisis persenjataan, demoralisasi personel, sampai ketersediaan anggaran yang minim.

Konsep 'reformasi' kemudian hadir, yakni penataan kembali formasi-formasi awal yang ternyata rapuh. Hanya saja, reformasi di Indonesia tidak dijalankan berdasarkan konsep utuh, melainkan berdasarkan slogan semata. Reformasi di Indonesia berbeda sekali dengan Restorasi Meiji di Jepang pada abad ke-19. Di Jepang, hak-hak pemilik tanah dibatasi, lalu struktur masyarakat diubah dengan lebih mementingkan kaum pedagang dan petani. Di Indonesia, reformasi hanyalah diartikan sebatas pengingkaran atas sosok mantan Presiden Soeharto, penghapusan Dwifungsi ABRI, pergantian kepemimpinan nasional, dan penyelenggaraan pemilihan umum. Akibatnya adalah apa yang kita saksikan sekarang, reformasi mengalami institusionalisasi dalam konstitusi dan undang-undang, namun dengan struktur masyarakat yang hampir sama dengan sebelumnya.

***

Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua tanggal 20 September, hendaknya persoalan reformasi di bidang sosio-ekonomi mengalami pembenahan, sebagaimana juga sudah kian tampak di bidang sosio-politik. Banyak 'teori' yang mengatakan, bahwa masyarakat demokratis baru bisa lahir ketika struktur kepemilikan atas sumber-sumber ekonomi dibenahi. Sebaliknya, 'teori' lain mengatakan betapa struktur ekonomi bisa diperbaiki ketika sistem politiknya mengalami perubahan. Ibarat ayam dengan telur, seyogianya di Indonesia keduanya berjalan beriringan, sembari membenahi politik, persoalan-persoalan kepemilikan atas sumber-sumber ekonomi juga diperbaiki.

Salah satu perubahan mendasar itu menyangkut UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Namun, implementasi undang-undang ini belumlah maksimal. Selain itu, jangkauannya masih terbatas, bersifat kedaerahan, sehingga sejumlah daerah kini menempati posisi sebagai daerah kaya, seperti Aceh, Papua, Kalimantan Timur, dan Riau. Kekayaan daerah an sich bukanlah berarti lantas memunculkan peningkatan kesejahteraan rakyat atau masyarakat daerah, akibat masih ada mekanisme lain yang berjalan tanpa undang-undang, termasuk eksistensi dari kalangan konglomerat yang mampu mendapatkan hak eksploitasi dan eksplorasi berlebihan tanpa melibatkan masyarakat daerah.

Untuk itulah, dibutuhkan keberanian dari calon presiden dan wakil presiden yang maju ke putaran kedua nanti untuk meneguhkan komitmennya untuk persoalan sepenting ini. Agenda pembatasan peran konglomerat, termasuk meneruskan ketentuan antimonopoli dan oligopoli, serta iktikad untuk memperbaiki nasib alam dan manusia Indonesia haruslah diutamakan. Sebagaimana halnya juga di bidang ekonomi, selayaknya juga dipotong proses monopoli dan oligopoli politik, karena hanya akan merugikan pemerataan kesempatan kepada seluruh warga-negara. Kalangan konglomerat yang sudah mendapatkan pengampunan, atau apa pun, haruslah mampu memberikan jaminan betapa mereka tidak akan lagi melakukan cara-cara yang dulu sangat merugikan kepentingan publik, bangsa dan negara. Selain itu, pemeriksaan baru juga selayaknya dilakukan, karena terdapat proses yang tidak terlalu transparan selama ini atas proses pengembalian utang kalangan konglomerat itu.

Proses itu tentu didahului dengan mencegah peran rentenir politik, yakni orang-orang yang hanya mengandalkan kedekatan dengan capres-cawapres tertentu, lalu mengambil keuntungan dari kedekatan itu, termasuk dengan cara melanggar ketentuan undang-undang. Era pasar gelap politik haruslah diakhiri, karena sebetulnya pilihan rakyat sudah terang-benderang.(Indra J Piliang, Analis Politik CSIS, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 20 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan