Mencegah Korupsi Anggaran Pendidikan
Sebulan setelah dilantik, Muhadjir Effendy, menteri pendidikan dan kebudayaan yang baru, mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 31 Agustus 2016 lalu. Selain menyerahkan laporan kekayaan, Muhadjir ingin berkonsultasi dengan KPK mengenai upaya mencegah korupsi anggaran pendidikan.
Langkah Muhadjir melakukan konsultasi kepada KPK sudah tepat mengingat selama ini anggaran pendidikan sangat rawan dikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 17 Mei 2016 lalu melansir hasil pemantauan praktik korupsi anggaran pendidikan selama sepuluh tahun terakhir menimbulkan kerugian negara hingga Rp 1,3 triliun.
Selama tahun 2006–2015, ICW mencatat ada 425 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan melibatkan 618 pelaku di seluruh Indonesia. Para pelaku telah diproses oleh kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagian di antaranya telah diadili di pengadilan tindak pidana korupsi.
Modus korupsi yang paling banyak digunakan adalah penggelapan sebanyak 132 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp 518 miliar. Terbanyak lainnya adalah penggelembungan anggaran (mark-up) sebanyak 110 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 448 miliar. Muncul juga praktik suap untuk mendapatkan proyek di sektor pendidikan sebesar Rp 55 miliar.
Dalam pantauan ICW, setidaknya ada 17 objek anggaran pendidikan dari anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang rawan dikorupsi. Beberapa di antaranya adalah dana alokasi khusus, sarana dan prasarana sekolah, gaji dan honor guru, beasiswa pendidikan, dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan infrastruktur sekolah.
Sedangkan aktor yang paling banyak terlibat adalah pegawai dan kepala dinas pendidikan. Hal paling memprihatinkan adalah ditemukan bahwa guru, kepala sekolah, dan dosen ternyata juga menjadi pelaku korupsi di sektor pendidikan.
Beberapa contoh kasus korupsi sektor pendidikan yang ditangani oleh penegak hukum, antara lain, kasus proyek pengadaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan senilai lebih dari Rp 27 miliar yang melibatkan Angelina Soundakh, mantan anggota DPR RI. Angelina akhirnya dinyatakan bersalah dan divonis 12 tahun penjara pada tingkat Mahkamah Agung.
Kasus lainnya adalah korupsi dana pendidikan luar sekolah (PLS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merugikan negara sebesar Rp 77 miliar. Kasus ini semula ditangani oleh kejaksaan, namun kemudian diambil alih oleh KPK dan saat ini masih dalam proses penyidikan.
Kerugian negara akibat korupsi di sektor pendidikan yang nilainya sangat fantastis tidak bisa dilepaskan dari besarnya anggaran pendidikan yang disediakan negara setiap tahun. Mandat UUD 1945 Amandemen Ke-4 Ayat 4 menyebutkan ’’Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapat dan belanja negara serta dari anggaran pendapat dan belanja daerah untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional’’.
Besarnya anggaran pendidikan, misalnya, dapat dilihat dari APBN pada tahun 2015 yang alokasinya mencapai Rp 409 triliun dan pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi Rp 424 triliun. Tidak hanya di tingkat nasional, anggaran pendidikan yang besar juga terjadi pada tingkat provinsi. Misalnya saja pada tahun 2016 anggaran pendidikan di DKI Jakarta mencapai Rp 11,57 triliun, di Aceh sebesar Rp 1,13 triliun, dan Kalimantan Selatan sebesar Rp 437 miliar.
Kajian KPK pada 2014 menyebutkan bahwa akar permasalahan pengelolaan anggaran pendidikan disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem administrasi (data tidak andal), adanya kekosongan pengawasan, dan lemahnya pengawasan publik atau sosial.
Pemantauan lapangan yang dilakukan KPK menemukan banyak varian penyalahgunaan biaya operasional sekolah mulai dari penyuapan untuk pencairan anggaran hingga manipulasi data dan anggaran.
Upaya bersama agar pengelolaan anggaran pendidikan tepat sasaran dan mencegah penyimpangan dalam tahap pelaksanaannya juga pernah difasilitasi oleh KPK. Pada 15 Desember 2014, KPK bersama enam kementerian dan lembaga menyepakati rencana aksi bersama mencegah korupsi pada anggaran pendidikan pada tahun 2015.
Enam kementerian dan lembaga tersebut adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Kementerian Keuangan. Sayangnya, belum ada laporan monitoring dan evaluasi terkait rencana aksi bersama tersebut yang dapat disampaikan ke publik.
Korupsi anggaran pendidikan sudah seharusnya diberantas. Implikasi korupsi di sektor pendidikan tidak hanya dilihat dari jumlah kerugian negara, namun dampaknya jauh lebih besar. Akibat korupsi sektor pendidikan, pendidik akan kehilangan dasar legitimasi dan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan serta pimpinan lembaga pendidikan juga menjadi hilang. Dampak lainnya adalah kesempatan rakyat mendapatkan pendidikan yang berkualitas menjadi sirna akibat anggaran pendidikannya dikorupsi.
Selain melakukan upaya penindakan, ICW memberikan sejumlah rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mencegah korupsi anggaran pendidikan.
Pertama, penerima manfaat anggaran pendidikan, dalam hal ini pemerintah daerah, wajib menerapkan sistem pengadaan secara elektronik agar lebih transparan dan akuntabel.
Kedua, dalam setiap belanja ataupun pengeluaran lain-lainnya, pemerintah daerah wajib menerapkan sistem transaksi nontunai (cashless).
Ketiga, pemberdayaan komite sekolah untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam proses penyusunan anggaran pendidikan di sekolah dan pengawasan pelaksanaan pendidikan yang meliputi pengadaan, penggunaan dana operasional.
Keempat, mendorong publik dan wakil rakyat, baik di pusat maupun daerah, untuk mengawasi perencanaan dan pelaksanaan anggaran pendidikan. Sekolah, dinas pendidikan, Kementerian Pendidikan, dan pemerintah daerah yang mengelola anggaran pendidikan wajib membuka perencanaan dan besaran anggaran ke masyarakat agar dapat diawasi.
Kelima, Badan Pemeriksa Keuangan perlu lebih aktif melakukan audit terhadap anggaran pendidikan yang rutin dialokasikan seperti dana alokasi khusus dan dana bantuan operasional sekolah. Proses audit yang dilakukan secara rutin selain bertujuan menemukan penyimpangan juga mendorong seseorang lebih hati-hati dalam mengelola anggaran dan berpikir ulang untuk merampok anggaran di sektor pendidikan. (*)
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Jawa Pos, Selasa, 13 September 2016, dengan judul “Mencegah Korupsi Anggaran Pendidikan”.