Mencegah Jurnalisme RRI Lumpuh Layu

Lewat uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komisi I DPR telah terpilih lima orang anggota Dewan Pengawas Radio Republik Indonesia (RRI). Eksistensi Dewan Pengawas RRI sebagai konsekuensi diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam UU itu kewenangan Dewan Pengawas begitu besar dan luas, antara lain menetapkan kebijakan umum Lembaga Penyiaran Publik ( LPP ) RRI dan mengangkat Dewan Direksi serta mengawasi pelaksanaan tugas-tugas direksi.

Terbentuknya Dewan Pengawas justru pada saat posisi RRI sedang berada di titik kritis serta dibelit oleh gurita korupsi. Kondisinya bertambah parah karena problem over-staffing dan merosotnya kompetensi SDM. Oleh sebab itu seiring dengan berkembangnya tren global teknologi digital untuk radio maka arah kebijakan umum berupa perencanaan dan manajemen strategi yang akan digariskan oleh Dewan Pengawas RRI harus mampu mencegah jurnalisme RRI lumpuh layu.

Walaupun RRI sebagai LPP, namun aspek dan budaya korporasi masih tetap harus dijalankan. Tanpa pendekatan portofolio korporasi, RRI akan bertambah keropos dimakan usia.

Sebagai pengemban predikat LPP, RRI harus mengubah visi dan misi jurnalismenya. Karakter jurnalistik RRI yang selama ini sekadar jurnalisme pernyataan atau corong penguasa yang terkesan miskin investigative reporting harus banting setir menjadi corong perubahan.

Untuk itu seluruh stasiunnya harus diisi oleh orang-orang yang cerdas, progresif dan kreatif sehingga apa yang disiarkan bukan sekadar celotehan kosong dan hal-hal yang klise. Selain ituRRI harus berani mengharamkan jurnalismenya semata-mata sebagai corong penguasa.

Dengan PP No.37/2000. status RRI mulai Januari 2001 memasuki era Perjan (Perusahaan Jawatan). Dalam era ini diberlakukan prinsip radio publik bagi 58 stasiun radionya. Namun status Perjan tidak mampu membuat jurnalisme RRI berkembang sebagai radio publik. Status itu justru menyuburkan praktik korupsi. Hal itu terbukti dengan pengusutan tindak pidana korupsi oleh KPK yang untuk sementara waktu berhasil menjadikan dua direksi sebagai tersangka.

Maraknya korupsi di tubuh RRI juga membuat jurnalisme radio menjadi lumpuh layu sehingga kehilangan para pendengarnya secara drastis. Hal itu juga menjadi faktor penyebab kalah bersaing dengan radio swasta.

Aktivitas siaran RRI pada saat ini serba ala kadarnya, ibarat peribahasa hidup segan mati tak mau. Dalam kondisi RRI yang serba coreng-moreng maka penetapan sebagai LPP analog dengan kondisi besar pasak daripada tiang.

Penetapan sebagai LPP merupakan konsekuensi yang amat berat bagi Dewan Pengawas, direksi dan seluruh karyawan RRI. Oleh sebab itu diperlukan langkah terobosan yang mampu mengoptimalisasi peran sebagai lembaga publik. Untuk menuju kearah itu selain dibutuhkan budaya kerja baru yang antikorupsi juga diperlukan nilai tambah profesionalisme bagi para jurnalis RRI.

Solusi Teknologi
Kata kunci lain untuk membuat terobosan di RRI adalah menentukan solusi teknologi yang mampu mengembangkan portofolionya. Solusi teknologi itu pada prinsipnya adalah sistem pendukung untuk melakukan operasional sehari-hari yang efektif, efisien dan akuntabel. Selama ini teknologi terbaru yang diaplikasikan oleh RRI sangat tergantung kepada barang impor yang harganya kelewat mahal dan rawan mark-up.

Aplikasi teknologi DAD buatan luar negeri yang sebagian sudah dipakai beberapa stasiun radio RRI terlihat mubasir dan tidak terintegrasi. Proyek pengembangan teknologi penyiaran dengan teknologi DAD terlihat dikadalin oleh para rekanan dan kontraktor. Lebih-lebih selama ini bercokol mafia tender di tubuh RRI yang sering mengaburkan harga dan spesifikasi teknik.

Untuk ke depan Dewan Pengawas, manajemen dan karyawan RRI harus sadar bahwa kemajuan teknologi informasi mengarah kepada dibangunnnya suatu sistem operasional stasiun radio yang dapat dikelola secara terintegrasi, mulai dari pengelolaan program acara hingga penyiaran (on air). Semua itu targetnya adalah peningkatan kinerja bisnis dan operasional sebuah stasiun radio.

Sudah saatnya pengelola baru RRI mengkaji dan memilih solusi teknologi penyiaran secara terintegrasi, murah, dan hasil rancang bangun dari dalam negeri. Solusi itu nantinya memungkinkan kontrol operasional stasiun radio secara remote, kerja sama yang praktis antara stasiun radio dengan mitra kerjanya yakni; biro iklan, penyedia lagu, production house, penyedia berita, regulator, pengelola hak cipta. Juga memungkinkan perluasan jangkauan siaran keseluruh dunia via teknologi audio-streaming.

Solusi teknologi penyiaran radio secara terintegrasi akan menggairahkan jurnalisme radio. Salah satu sistem integrasi yang murah dan adaptif terhadap segala macam persoalan di RRI adalah sistem RISE (Radio Broadcasting Integrated System) hasil rancang bangun Pusat Inkubasi Bisnis Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut Ir Sofwandi Noor, MSE dari Pusat Inkubasi Bisnis ITB yang merupakan salah satu engineer perancang dan pengembang RISE, sistem itu selain meliputi perangkat keras juga perangkat lunak untuk manajemen operasional sebuah stasiun radio.

Terdiri dari modul-modul inti sistem penyiaran (core radio) seperti program director, music director, audio production, on-air, logger, serta audio streaming. Modul-modul inti tersebut juga mampu diintegrasikan dengan modul manajemen RRI, pihak regulator, KPI dan website. Lebih lanjut Sofwandi menyatakan sistem teknologi RISE selain murah dan handal, rancang bangun dalam negeri itu dijamin mampu menciptakan akuntabilitas dan transparansi di tubuh RRI. Sehingga mudah dimonitor dan didayagunakan oleh publik sehingga predikat RRI sebagai LPP dapat terartikulasikan secara baik dan optimal.(Totok Siswantara, Pemerhati masalah Transformasi Industri dan Teknologi)

Tulisan ini diambil dari Sinar Harapan, 11 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan