Mencari Pahlawan Antikorupsi

Korupsi jadi wabah yang terus memburu korban dan menyusup dalam mental manusia Indonesia. Mental koruptif warga negeri ini sudah mencapai titik akut. Pemegang kuasa dari pucuk tertinggi sampai di struktur desa sering tergoda untuk mempraktikkan korupsi.

Tindakan koruptif seolah jadi watak, mekanisme berpikir, dan strategi bekerja yang mengesampingkan sikap kreatif. Mekanisme kerja manusia koruptif didasarkan kepada struktur berpikir instan yang merasuk dalam pikiran dan tubuh. Mental dan skema kerja instan ini menghapus kreativitas untuk menjadi manusia produktif.

Sikap koruptif jadi pertaruhan di persimpangan jalan reformasi birokrasi di negeri ini: perjuangan melawan kemungkaran korupsi diteruskan atau disumbat dengan rekayasa kriminalisasi pejuang antikorupsi? Dewasa ini, pejuang antikorupsi sedang menghadapi dilema: bagaimana mungkin usaha menutup pintu korupsi akan berjalan mulus jika sistem hukum negeri ini masih memihak penjahat keadilan dan koruptor?

Perjuangan antikorupsi yang menggelora dalam iklim reformasi pasca-1998 penting untuk terus didukung. Mental koruptif yang mengidap dalam imajinasi manusia Indonesia harus dibongkar meski berbenturan dengan risiko dan pengorbanan.

Kini perjuangan antikorupsi sedang mencapai titik gawat: sengketa KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung sedang memasuki ruang pelik. Rumitnya konflik hukum dan politis itu menjadi tontonan miris di tengah upaya reformasi hukum negeri ini.

Konflik cicak-buaya tersebut terus bergulir menjadi isu nasional yang sangat politis. Kasus itu diduga berkaitan dengan kasus uang triliunan rupiah Bank Century. Transkrip dan rekaman yang menjadi bukti rekayasa hukum Indonesia bahkan mencatut nama RI-1.

Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dan Jaksa Muda Intelijen A.H. Ritonga juga ditengarai terlibat dalam kasus korupsi Anggoro-Anggodo. Usaha Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution untuk mengusut dan mencari fakta konkret sengketa rumit dalam rekayasa hukum jadi pintu melihat kejelasan kasus tersebut.

Membaca Indonesia
Kasus korupsi yang menjadi konflik antar-pejabat, perdebatan pegiat hukum, dan isu politis di ranah elite penting untuk segera dicari titik terangnya. Saat ini, Indonesia sedang membutuhkan pahlawan antikorupsi. Pahlawan kemerdekaan dan kebangsaan negeri ini sudah sedemikian banyak, namun pahlawan antikorupsi belum diikrarkan. Pahlawan antikorupsi akan berjuang dengan mental asketis, analisis progresif, dan kerja revolusioner. Aktivis dan pejuang antikorupsi hadir untuk memberikan perhatian dan kesaksian narasi sejarah perselingkuhan uang-kekuasaan di Indonesia.

Mental koruptif manusia Indonesia sudah saatnya dirombak dengan imajinasi dan cara berpikir yang lebih segar. Membaca manusia Indonesia dewasa ini adalah membaca tubuh korupsi, kepala konflik, tangan rekayasa, dan kaki dusta. Kasus korupsi yang menghantam manusia Indonesia dewasa ini merupakan cermin refleksi masa lalu, membaca masa kini, dan meneroka masa depan.

Mental pengabdi dan budak jadi warisan kolonial yang masih dianut manusia Indonesia. Mental budak jadi tanda bahwa korupsi masih ada. Genealogi korupsi manusia Indonesia bisa dilacak dari mental pengabdi warisan kolonialisme selama lebih dari tiga abad. Sikap inilah yang ditentang Bung Hatta ketika menyemai mental mandiri manusia Indonesia.

Menurut Mohammad Hatta (1953: 62), ''rakjat yang bersifat dan bersemangat budak memang sudi mengurbakan diri untuk golongan yang dipertuan atau untuk kaisar dan radjanja. Akan tetapi, rakjat yang sadar akan harga dirinja tidak akan mudah disuruh berbuat demikian. Istimewa rakjat yang insaf akan harga dirinja!...." Roh kebangsaan manusia Indonesia sedang digempur badai korupsi yang tak kunjung usai.

Pahlawan Asketis
Indonesia seolah jadi panggung pertunjukan rekayasa hukum yang rumit, pelik, dan melibatkan banyak elite politik. Orientasi pejabat negeri ini sering berujung akumulasi profit dan penumpukan kekayaan. Pahlawan korupsi yang berjiwa asketis dan bekerja progresif sangat dirindukan.

Keith Foulcer (2008) melukiskan bagaimana pahlawan dan founding fathers negeri ini berani memperjuangkan impian yang pada waktu itu hampir mustahil tercapai. Perjuangan hidup pejuang kemerdekaan didasari asketisme politik dan visi kebudayaan yang konkret.

Dalam risetnya tentang politik bahasa dan kemerdekaan Indonesia, Foulcer mengungkap sikap pejuang pada masa persiapan kemerdekaan yang rela berkejaran dengan militer kolonial agar tak tertangkap ketika memberi semangat pemuda di beberapa wilayah.

Pejuang semisal Bung Karno, Hatta, Yamin, Armijn Pane, dan beberapa tokoh lain yang ngotot memakai bahasa Indonesia sebagai sarana memperjuangkan cita-cita besar kemerdekaan. Walaupun Indonesia masih ditentang pejabat kolonial, founding fathers itu bertekad menghadirkan pewujudan nation-state bernama Indonesia, yang oleh Arnold Toynbe disebut sebagai imagine community.

Sikap asketis para pendiri pahlawan kemerdekaan jadi refleksi untuk membaca tokoh Indonesia dewasa ini. Cindy Adams (1965) dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Masyarakat Indonesia mengisahkan bagaimana Soekarno hidup dengan uang terbatas ketika mengorganisasi pemuda.

Bagaimana kondisi manusia Indonesia mutakhir? Sikap asketis sulit ditemukan dalam laku-ilmu manusia negeri ini. Pahlawan yang punya mental asketis, visi antikorupsi, dan keberanian bertindak sedang dinanti. Rekayasa hukum, konflik elite, dan skandal korupsi di Indonesia membutuhkan pahlawan penyelamat.

Ganyang Mafia (GM) yang digelorakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jadi gerbang dukungan perjuangan antikorupsi. Pahlawan antikorupsi sedang dinanti, pikiran dan kerja kreatifnya penting untuk menyelamatkan bangsa besar bernama Indonesia. (*)

Munawir Aziz, esais dan peneliti, bergiat di Cepdes, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan