Mencari "Kutu" di MK
Emas adalah emas, loyang akan tetap loyang. Apabila Mahkamah Konstitusi emas, isu suap akan menguap bersama angin (Kompas, 25/10).
Refly Harun menulisnya dan Mahfud MD sebagai Ketua MK menanggapinya dengan membentuk tim investigasi. Refly yang menulis artikel ”MK Masih Bersih?” ditunjuk sebagai ketua tim. Apakah pilihan ini dilakukan untuk benar-benar mengungkap mafia di tubuh MK? Bisa jadi ya, atau sebaliknya sekadar untuk menyelamatkan wajah MK.
Mengacu artikel Mahfud MD di Kompas, 10 November, entah kenapa tertangkap sinyal yang ”lain”. Bagi saya, yang menonjol dari artikel tersebut adalah aspek personal yang terlalu dalam dari seorang penyelenggara negara yang menjadi Ketua MK.
Saya kira, hal itu pula yang menjadi salah satu dasar dibentuknya tim investigasi dan ditunjuknya si kolumnis sebagai ketua tim. Semoga aspek personal yang terasa emosional tersebut tidak lebih kompleks dibandingkan dengan substansi artikelnya. Apalagi jika sempat ada pikiran untuk mengkriminalkan penulis. Semoga, tidak.
Yang jelas tim investigasi sudah terbentuk, bahkan tokoh-tokoh kredibel, seperti Adnan Buyung Nasution dan Bambang Harimurti, bersedia bergabung. MK menunjuk dua tokoh publik sebagai anggota tim. Ada Saldi Isra, guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan Bambang Widjojanto, calon pemimpin KPK. Mampukah mereka bekerja maksimal? Yang pasti tugas tim sangat berat.
Kutu busuk
Dilihat dari perdebatan pembentukan tim, sepertinya lima pendekar hukum tersebut harus berani menunjuk nama hakim dan pihak pemberi uang dan mengungkap pihak penyedia dana. Bisakah? Seperti menegakkan benang basah, ini sungguh sulit.
Oleh karena itu, dibutuhkan bukti kuat adanya serah terima uang. Kemudian, harus dicari apakah transaksi tersebut dimaksudkan memengaruhi perkara yang ditangani. Setidaknya itulah unsur minimal yang dikehendaki Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2), atau Pasal 12 Huruf (c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 jo 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Bagaimana cara membuktikan adanya serah terima uang? Atau, setidaknya percobaan suap? Di KPK, pelaku suap biasanya dibuktikan jika tertangkap tangan, kecuali kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Itu pun karena cek yang digunakan sebagai alat pembayar menggunakan sarana perbankan dan aliran uang masih bisa dilacak.
Dalam kasus MK? Bahkan, Refly pada tulisanya mengatakan, ia hanya melihat uang Rp 1 miliar yang ”menurut pemiliknya” akan diberikan kepada salah seorang hakim MK. Di sini terlihat, sama sekali belum terjadi serah terima, kecuali ada bukti yang belum disampaikan kepada publik.
Demikian juga dengan pembuktian adanya maksud dan keterkaitan pemberian uang dengan perkara pilkada yang ditangani. Hebat, jika tim investigasi bisa membuktikan. Namun, saya tidak ingin pesimistis lebih dulu. Tim tetap bisa menyisir secara berputar. Dengan syarat, MK harus memberikan kewenangan besar dan akses yang luas untuk mendukung kerja tim. Tak cukup hanya dengan pemeriksaan ala wawancara. Lebih jauh dari itu, MK tetap perlu membangun kerja sama institusional dengan lembaga negara lain terkait.
KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah dua lembaga minimal penting untuk membongkar kasus ini. Sudah sepantasnya, MK membangun kerja sama, membantu tim dan membuka ruang bagi KPK untuk menyisir lorong-lorong gelap di MK.
Buka daftar kekayaan
Karena para hakim konstitusi adalah juga penyelenggara negara, semangat keterbukaan kepemilikan harta kekayaan perlu dipertimbangkan. Akan sangat memberikan kontribusi pada pengungkapan kasus ini jika para hakim membuka harta kekayaannya, termasuk rekening pribadi dan keluarga, untuk melihat kemungkinan ketimpangan kekayaan daripada penghasilan yang sah (illicit enrichment). United Nation Convention Against Corruption 2003 juga menganut terminologi ini sebagai salah satu norma yang direkomendasikan diatur di negara pihak.
Namun, saya sadar, saran ini pasti akan terbentur prinsip kerahasiaan perbankan. Oleh karena itu, saat ini kita butuh kerja sama luar biasa dari para hakim. Lagi pula prinsip kerahasiaan perbankan bisa ditembus jika pemilik rekening mengizinkan.
Peran Ketua MK sangat dibutuhkan untuk menjamin keterbukaan dan memastikan akses luas kepada tim. MK pun perlu memfasilitasi kemungkinan temuan lain berupa ”praktik terlarang”. Tanpa itu, pembentukan tim lebih terasa sebagai ”jebakan” emosional ketimbang iktikad tulus membersihkan MK.
Publik sejauh ini masih memercayai MK sebagai salah satu lembaga yang relatif bersih meski saat ini MK juga sedang diterpa badai akibat penetapan tersangka mantan paniteranya dalam kasus pemalsuan surat terkait dengan penghitungan suara pilkada di Sumatera Selatan.
Adalah tugas kita bersama untuk menjaga dan merawat MK, termasuk menyingkirkan ”kutu busuk” yang bisa menggerogoti kredibilitasnya. Semoga pembentukan tim investigasi adalah bagian dari tugas ini.
Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Nopember 2010