Mencari Kiat Melepas Gelar Juara

Rencana induk pembangunan kembali Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara belum lagi rampung. Pemerintah mentargetkan akhir bulan ini. Tapi rekonstruksi daerah yang dilanda gempa dan tsunami itu mendapat perhatian serius dari lembaga survei korupsi di Hong Kong.

Political and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC), nama lembaga itu, cemas akan nasib bantuan miliaran dolar dari berbagai negara dan organisasi donor. Apa hendak dikata, Indonesia sekali lagi menjuarai kontes negeri terkorup 12 negara Asia tahun ini.

Gelar itu diraih Indonesia berdasarkan survei terhadap 900 lebih pengusaha ekspatriat yang tinggal di Asia. Menurut persepsi mereka, risiko bisnis akibat korupsi di Indonesia paling tinggi dibanding negara lain di kawasan ini, dengan nilai 9,10 pada skala 0 sampai 10. Seperti biasa, Singapura menjadi juru kunci dalam kejuaraan ilmu hitam ini dengan skor 0,65.

PERC memberi sedikit hiburan saat peluncuran hasil survei itu Selasa (8/3) lalu. PERC menilai Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden karena rakyat Indonesia sudah muak dengan korupsi elite sekuler yang sudah mendarah daging. Sayang, tak dijelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan elite sekuler itu. Yang jelas, PERC tampak begitu menaruh harapan pada Yudhoyono, yang disebutnya dari kalangan luar.

PERC mendesak Yudhoyono supaya memastikan bantuan asing digunakan secara transparan dalam berbagai proyek agar bermanfaat bagi masyarakat yang terkena bencana. Menurut PERC, program bantuan pascatsunami menjadi peluang yang riil untuk memperbaiki standar transparansi dalam pengucuran uang, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara berkembang lainnya.

Selain soal pentingnya pembangunan Aceh dalam konteks pemberantasan korupsi, PERC berteori seperti ini: Isu korupsi menjadi taruhan sukses atau hancurnya Indonesia. Jika sang bekas jenderal ini berhasil memerangi korupsi, ekonomi Indonesia akan membaik dan kelompok radikal seperti Jemaah Islamiyah akan termarginalkan, sehingga kian kurang ancamannya bagi Indonesia dan kawasan lain.

Silakan menerima atau menolak teori PERC. Tapi agaknya tak ada alasan untuk menutup mata pada hasil survei lembaga itu tentang maraknya korupsi di Indonesia. Seperti kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas, tak perlu mempersoalkan validitas survei PERC. Jelas, kata Erry, ada pekerjaan besar di depan mata: memerangi korupsi.

Peringkat korupsi Indonesia tidak bisa diharapkan banyak berubah jika pemberantasan korupsi hanya sebatas retorika normatif, kata Almuzzammil Yusuf, Wakil Presiden Partai Keadilan Sejahtera, saat ditanya tentang hasil survei PERC.

Almuzzammil punya sederet resep untuk mewujudkan kerja besar itu. Pertama, kata dia, pemerintah harus berani mengganti para pejabat di tingkat eselon I yang terindikasi bermental korup. Kedua, pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Saksi. Ketiga, wewenang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus diperbesar.

Ia menilai sosok Presiden Yudhoyono, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah cukup bersih. Namun, hal itu tak cukup jika tak diikuti dengan keberanian mengadili kasus-kasus korupsi besar dan melibatkan orang besar. Bersih saja tak cukup, tapi harus juga berani menyeret koruptor-koruptor besar, ujarnya.

Anggota Komisi Hukum DPR ini berharap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi yang sebetulnya telah disiapkan sejak 2002 segera dibahas dan diundangkan. Sebab, seperti yang terjadi di Korea Selatan, pembongkaran kasus korupsi umumnya berhasil karena dilakukan oleh orang dalam. Jika si pembongkar kasus menghadapi tekanan dari atasannya, kata Almuzzammil, si bos itu yang akan balik dituntut.

Tapi orang hanya berani mengungkap sesuatu jika keamanan dirinya dijamin, katanya. Selain itu, masih merujuk Korea, para saksi yang membongkar kasus korupsi juga diberi bonus 10 persen dari nilai aset negara yang dikorup. Jadi yang diberi bonus atau insentif tak cuma aparat hukum yang bisa menuntaskan kasus korupsi, tapi juga para saksi.

Upaya lain yang bisa ditempuh adalah memperkuat kewenangan PPATK. Di Thailand, lembaga semacam itu justru berhasil menjadi profit center. Di Negeri Gajah Putih itu, kata Almuzzammil, PPATK diberi wewenang membekukan dan menyita aset hasil transaksi gelap.

Karena itu, UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu segera diamendemen. Agar dapat menyelamatkan aset negara, PPATK perlu diperkuat kewenangannya dalam hal penyelidikan, penyidikan, pembekuan, dan penyitaan aset.

Selain itu, akses informasinya harus diperluas tak hanya ke perusahaan jasa keuangan, tapi juga ke berbagai instansi terkait. Sebab, tindak pidana pencucian uang bisa muncul dalam berbagai bentuk dan hubungan lembaga, seperti Badan Pertanahan Nasional (pembelian tanah), kepolisian (pembelian mobil mewah), Telkom (rekaman pembicaraan dan Internet), dan Imigrasi.

Lembaga PPATK di Thailand itu sudah mengalahkan Amerika dalam hal pengembalian aset negara yang dicuri koruptor, karena dia diberi wewenang yang besar, katanya. yanto musthofa/sudrajat

Sumber: Koran Tempo, 10 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan