Menata Sistem Penggajian PNS

Ketimpangan dan kesenjangan luar biasa pada sistem penggajian pegawai negeri sipil, TNI/Polri, dan BUMN sudah berlangsung sepanjang republik ini berdiri, yang semakin lama semakin kacau, tetapi baru sekarang mendapat perhatian.

Sudah lama kita mendengar gerutuan dari pegawai rendahan Bank Indonesia (BI) betapa para petingginya di luar gaji yang tinggi membeli perabotan rumah tangga yang sama sekali tidak masuk akal mahalnya, melancong setiap minggu dengan kursi kelas satu di pesawat, serta membayar dengan kartu kredit atas nama dan atas beban BI untuk kepentingan pribadi. Siapa tokoh-tokoh yang jahat dan korup sudah menjadi rahasia umum. Namun, justru mereka yang (pernah) dipilih DPR menjadi orang sangat penting di BI.

Tingkat gaji di badan usaha milik negara (BUMN) juga tidak kalah gilanya. Ketika Bank Danamon belum dijual, gaji direktur utamanya Rp 300 juta sebulan yang tercantum dalam laporan keuangan yang diaudit. Para pengamat ekonomi yang tenar namanya tercantum sebagai komisaris dengan gaji buta sebesar Rp 30 juta sebulan. Juga sudah merupakan pengetahuan umum bahwa untuk membungkam para ekonom yang kritis dan vokal diberi jabatan komisaris BUMN dengan gaji sangat tinggi untuk pekerjaan yang hanya proforma saja.

Dalam rapat resmi antara pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Komisi IX DPR (ketika itu) ada anggota Dewan yang minta daftar gaji seluruh karyawan BPPN. Yang diberikan hanyalah angka-angka skala gaji yang disorotkan ke layar dari pegawai menengah yang berkisar Rp 30 juta-Rp 70 juta sebulan. Tidak ada dokumen yang diberikan.

Jadikan momentum
Kalau sekarang diributkan dan menjadi perhatian, marilah kita jadikan ini sebagai momentum untuk membenahi sistem penggajian secara menyeluruh yang dikaitkan dengan perbaikan dalam bidang- bidang lain.

Sistem penggajian pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek lain dari penyelenggaraan negara. Mengapa? Karena mereka semuanya penyelenggara negara, dan aspek penyelenggaraan negara yang terkait dengan sistem penggajian sangat banyak.

Usulan yang termuat dalam buku kecil saya berjudul Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan akan saya ulangi lagi sebagai berikut.

Semua kementerian dan lembaga pemerintah non-departemen (LPND) diaudit struktur organisasi dan manajemennya. Jadi, bukan audit keuangan, tetapi audit organisasi. Apakah setiap kementerian itu memang diperlukan untuk penyelenggaraan negara yang baik buat Republik Indonesia dewasa ini? Kalau tidak, ya tidak perlu dibubarkan. Kalaupun ada bagian- bagian yang dirasa perlu dipertahankan, digabung dengan kementerian yang dipertahankan. Kementerian yang dipertahankan dirampingkan dengan membubarkan direktorat jenderal atau direktorat maupun bagian yang tidak berguna.

Setiap kementerian dan LPND yang dianggap harus dipertahankan diaudit untuk memutuskan berapa direktorat jenderal dan divisi yang dibutuhkan, dan dengan tugas pokok serta fungsi (tupoksi) apa? Harus diuraikan mendetail.

Prinsip meritokrasi
Perbandingan besarnya gaji dari presiden sampai pegawai terendah dibuat adil sesuai dengan prinsip meritokrasi. Dengan demikian, tanpa memperhitungkan apakah besarnya gaji sudah mencukupi, perbandingannya sudah dirasakan adil karena sesuai dengan perbedaan dalam pendidikan, keterampilan, pengalaman, kepemimpinan, dan faktor-faktor lain yang relevan.

Jadi, perbandingannya sudah dibuat adil, tetapi besarnya gaji masih begitu rendahnya, yang hanya cukup untuk hidup selama dua minggu dalam sebulan. Tingkat gaji yang rendah ini dinaikkan sampai jumlah yang tanpa keraguan sedikit pun mencukupi semua kebutuhannya dengan standar hidup yang sangat layak.

Kalau semuanya ini sudah dipenuhi dan masih berani berkorupsi, hukumannya tidak tanggung-tanggung, yaitu hukuman mati.

Dengan cara ini, pembenahan sistem penggajian dikaitkan dengan pemberantasan korupsi yang pendekatannya komprehensif, menciptakan lingkungan yang tanpa beban menembak mati para koruptor karena semua kebutuhannya sudah dipenuhi lebih dari cukup.

Uangnya diambil dari mana? Kalau dengan cara ini korupsi dapat dihemat dengan 20 persen saja, semua pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK), biaya konsultan, dan kenaikan gaji yang tidak terkena PHK lebih dari mencukupi.

Presiden mengetahui dan paham betul tentang adanya gagasan dan pikiran ini. Sayang belum kunjung dilaksanakan. Ini proyek jangka sangat panjang yang pelaksanaannya tidak menyakitkan siapa- siapa. Mereka yang akan terkena PHK diberi pesangon yang besarnya sangat manusiawi, bahkan menggiurkan.

Ini bukan teori kosong, tetapi banyak sekali contohnya di negara-negara lain yang sangat berhasil.

Kwik Kian Gie Ekonom Senior, Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas

Tulisan ini disalin dari Kompas, 29 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan