Menanti Surat Izin Istana
Kejaksaan Agung melansir data mengejutkan. Ternyata sejak tahun 2005 Presiden SBY belum mengeluarkan izin pemeriksaan 61 kepala daerah tersangkut perkara korupsi, baik sebagai tersangka maupun saksi. Akibatnya, pengusutan kasus korupsi di daerah berjalan di tempat.
Data itu terdengar sumbang di tengah kenyaringan komitmen antikorupsi yang selalu dipidatokan Presiden. Ternyata pemberantasan korupsi dikalahkan oleh sekadar alasan administrasi bernama surat izin presiden.
Benang kusut
Terlihat bahwa kusut masai upaya memberantas korupsi kepala daerah disebabkan dua hal. Pertama, ketiadaan ketegasan sikap Kejaksaan Agung. Kedua, absennya itikad baik Istana.
Ketidaktegasan Kejaksaan Agung terkait surat izin presiden sebenarnya tak perlu. Pasal 36 UU No 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah ada persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Dalam hal persetujuan tertulis tak diberikan Presiden paling lambat 60 hari terhitung sejak permohonan diterima, penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Secara sederhana ketentuan itu bermakna: kalaupun Presiden tak memberi persetujuan tertulis, proses hukum dapat dimulai. Ketentuan Pasal 36 ini sebenarnya juga menegaskan bahwa izin Presiden tak perlu, apalagi setelah Surat Edaran Mahkamah Agung No 9/2009 keluar, yang menguatkan mengenai jangka waktu 60 hari itu.
Tak lagi ada alasan bagi Kejaksaan Agung menunda proses hukum kepala daerah yang korup. Kejaksaan Agung harus tegas dan berani melanjutkan pengusutan korupsi kepala daerah meski tanpa izin Presiden.
Kedua, absennya itikad baik Istana. Tak jelas apa alasan Istana menunda surat izin keluar. Kejaksaan Agung hanya melansir bahwa ketersendatan surat izin presiden karena masalah administrasi di Sekretariat Kabinet. Yang dimaksud dengan masalah administrasi itu pun tak jelas. Publik patutlah menduga ada kongkalikong berjubah administrasi di lingkaran satu Istana.
Kusut masai administrasi di lingkaran satu Istana bukan kali ini saja. Masih ingat polemik mengenai keabsahan jabatan mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang bersumber dari kecerobohan administrasi di lingkaran satu Istana?
Kali ini soal administrasi me- ngorbankan pemberantasan ko- rupsi. Karut-marut proses administrasi perizinan pemeriksaan seorang kepala daerah menjadi bukti bahwa Istana tak pernah berbenah diri. Istana harus segera merespons persoalan ini karena bila tidak, Istana dapat dituduh menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Pihak-pihak yang menghambat pemberantasan korupsi dapat dihukum pidana. Pasal 21 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, ataupun para saksi perkara korupsi dipidana penjara paling singkat tiga tahun, paling lama 12 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta, paling banyak Rp 600 juta.
Menunda penerbitan izin pemeriksaan kepala daerah yang korup tanpa alasan jelas merupakan tindakan yang secara tak langsung menghalang-halangi pengusutan kasus korupsi.
Transaksi politik
Selain masalah teknis prosedural, patut diduga ada transaksi politik di belakang ketersendatan surat izin pemeriksaan kepala daerah itu. Istana sepertinya memberi proteksi politik kepada politisi daerah yang tersandung kasus korupsi. Dengan proteksi itu, boleh jadi ada konsesi politik yang ditransaksikan elite politik Istana dan elite politik daerah.
Sulit dibantah bahwa saat ini ada manuver politik yang menghambat proses hukum terhadap kepala daerah. Akibatnya, kasus korupsi kepala daerah tak pernah serius ditangani. Kasus korupsi Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2008 tak jelas kelanjutannya. Demikian juga Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak.
Tak sedikit juga kasus korupsi daerah di-SP3-kan. Kalaupun masuk pengadilan, vonis hukumannya sangat ringan atau bebas. Itulah indikasi jelas bahwa penegakan hukum terhadap kepala daerah dan elite politik daerah tidak serius.
Presiden seharusnya mampu mengatasi kebuntuan penegakan hukum antikorupsi di daerah. Melalui kewenangannya, ia dapat memerintahkan aparat penegak hukum dan jajaran birokrasi di lingkaran satu Istana mempercepat proses hukum terhadap kepala daerah yang korup. Tindakan tegas inilah yang dibutuhkan. Sebab, jika tidak, kuat dugaan bahwa Istana menjadi bungker para koruptor daerah.
Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 April 2011