Menanti Lahirnya Pengawas Kejaksaan

Kerutan di kening Abdul Rahman Saleh makin bertambah saja. Sejak dia dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Jaksa Agung lima bulan silam, setumpuk pekerjaan tak pernah berhenti mampir di meja kerjanya. Kini tugas itu kian bertambah seiring dengan rencana pembentukan Komisi Pengawas Kejaksaan. Arman, sapaan Abdul Rahman Saleh, seperti dikejar waktu karena pembentukan komisi ini sebenarnya masuk program 100 hari pertama pemerintahan Yudhoyono.

Pembentukan komisi ini diatur dalam Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Indonesia. Sampai kini, pembentukan komisi ini baru menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 yang dirilis 7 Februari lalu. Kini Arman dihadapkan pada satu soal, yakni pembentukan komisi. Di sinilah persoalan pelik mulai muncul.

Semula Arman tak tertarik membuat panitia seleksi. Dia ingin menunjuk langsung 14 kandidat anggota komisi. Nama para kandidat inilah yang akan diserahkan kepada Presiden Yudhoyono, yang bakal memilih tujuh calon. Nama tujuh kandidat ini rencananya dipublikasikan kepada masyarakat untuk direspons. Jika masyarakat menemukan calon bermasalah, tak tertutup kemungkinan Presiden menggantinya dengan calon baru. Langkah ini untuk menghindari orang yang tidak jelas masuk ke dalam komisi, kata Asep Rahmat Fajar, seorang tenaga ahli Kejaksaan Agung.

Namun, tak sedikit yang keberatan dengan cara Arman main tunjuk. Dia disarankan membentuk panitia seleksi agar lebih obyektif. Rupanya desakan ini membuahkan hasil. Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini setuju membentuk panitia seleksi. Kini proses pembentukan panitia ini berada di tangan Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief. Keruan saja Basrief kian sibuk. Pasalnya, dia juga ditunjuk sebagai Ketua Tim Satgas Buru Koruptor, yang tugasnya memburu koruptor yang kabur dan berada di luar negeri.

Basrief mengaku belum bisa memastikan berapa jumlah anggota panitia seleksi. Saya kira lebih dari tujuh, katanya. Penghitungan ini didasari banyaknya jumlah orang yang tertarik menjadi anggota komisi. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh akan menunjuk siapa yang duduk di panitia seleksi. Yang pasti, panitia ini terdiri atas unsur Kejaksaan Agung, masyarakat, pakar hukum, dan lembaga swadaya masyarakat.

Menurut Basrief, proses seleksi anggota komisi ini akan meniru model perekrutan Komisi Yudisial, yakni dibuka untuk umum. Uji kepatutan dan kelayakan tidak akan melalui DPR seperti seleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Alasannya, Komisi Kejaksaan dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Soal waktu yang mepet, Basrief cukup optimistis sesuai dengan target. Apalagi dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 disebutkan bahwa anggota Komisi Kejaksaan ditetapkan paling lambat 90 hari setelah penetapan peraturan presiden. Saya menyadari dan tentu secepatnya membentuk tim seleksi itu, katanya. Jika tak ada aral, komisi ini akan terbentuk sebelum Mei 2005.

Ide pembentukan komisi ini sebenarnya sudah dirintis pada 2001. Waktu itu, beberapa lembaga swadaya masyarakat merekomendasikan perlunya lembaga pengawas independen kinerja para jaksa. Menurut Asep Rahmat Fajar, gagasan ini muncul karena kerja pengawasan internal kejaksaan masih dianggap tidak maksimal.

Dalam lingkungan internal kejaksaan sendiri, sebenarnya muncul keinginan serupa. Salah satunya bersumber dari disertasi Marwan Effendy di Universitas Padjadjaran Bandung yang dibuat tahun lalu. Semula Marwan melihat munculnya Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi kinerja para hakim. Saya pikir apa salahnya ada Komisi Kejaksaan, kata Asisten Umum Jaksa Agung itu.

Menurut Marwan, Jaksa Agung Muda Pengawasan hanya bisa mengawasi kinerja jaksa. Adapun penilaian atas administrasi dan keuangan bukan masuk wilayah pantauan Jaksa Agung Muda Pengawasan. Tugas ini justru dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Marwan pun mengusulkan bagaimana jika penilaian dilakukan oleh satu lembaga independen.

Dalam disertasi itu, Marwan menjelaskan obyek kerja komisi kejaksaan, yakni mengawasi teknis yudisial akuntabilitas dari kinerja jaksa. Tugas ini dimulai dari teknis penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Di luar mengawasi kinerja jaksa, Komisi Kejaksaan juga memberikan penilaian atas sumber daya manusia, akuntabilitas administrasi, dan akuntabilitas keuangan organisasi Kejaksaan Agung.

Namun, DPR sendiri tak terlalu merespons adanya komisi ini. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan DPR Agustin Teras Narang, Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengatur pembentukan komisi itu tidak mengharuskan adanya Komisi Kejaksaan. Dalam undang-undang itu tidak ada keharusan membentuknya, katanya.

Teras Narang justru menyarankan agar Jaksa Agung memaksimalkan kinerja Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Pasalnya, tugas kedua jaksa agung muda ini hampir serupa dengan tugas komisi. Selain itu, Arman sebaiknya menginventarisasi titik-titik lemah kejaksaan. Jika upaya itu sudah dilakukan tapi tak menunjukkan hasil, baru dipikirkan pembentukan pengawasan eksternal. Pembentukan komisi merupakan jalan terakhir.

Menurut Teras Narang, pembentukan komisi ini hanya menambah beban anggaran negara. Keberadaan komisi ini bisa meniadakan pekerjaan Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Namun, jika komisi ini terbentuk, dia berharap tugasnya tidak dimaknai seperti Komisi Yudisial, yakni mengawasi perilaku dan menjaga moralitas para jaksa. Tugasnya limitatif, untuk meningkatkan kinerja kejaksaan, ujarnya.

Sumber Tempo di Kejaksaan Agung juga mempertanyakan keberadaan komisi ini. Soalnya, jika menyerahkan rekomendasi kerjanya kepada Jaksa Agung, komisi ini tidak independen. Kalau begitu, siapa yang mengawasi Jaksa Agung? katanya. Menurut dia, mestinya komisi ini menyerahkan rekomendasi langsung kepada presiden.

Namun, anggapan ini dibantah Basrief. Yang berhak menilai kinerja Jaksa Agung adalah presiden, katanya. Jika dipandang perlu, komisi ini juga bisa mengawasi Jaksa Agung. Hasilnya bisa langsung diserahkan kepada presiden tanpa melalui Jaksa Agung. istiqomatul hayati

Sumber: Koran Tempo, 28 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan