Menanti Hakim Agung yang Agung
Batas akhir pendaftaran calon hakim agung yang dibuka oleh Komisi Yudisial, pada 8 Mei 2006 lalu telah ditutup. Kekhawatiran akan sepinya peminat yang mendaftarkan diri ternyata tidak terbukti. Jumlah pendaftar mencapai 126 orang dari berbagai macam profesi. Di antara para kandidat calon hakim agung ini terdaftar 61 orang hakim karier yang mendaftarkan diri.
Tugas berat menanti
Lembaga peradilan di negeri kita ibarat gudang padi yang penuh tikus. Kasus penyuapan terhadap oknum-oknum lembaga peradilan terus terjadi. Mulai dari panitera pengadilan negeri (Andri Djeni Lumanauw ), panitera pengadilan tinggi (Ramadhan Rizal dan M Sholeh) sampai hakim pengadilan negeri (Herman Alossitandi) terkena suap. Keadaan ini membuat masyarakat meragukan adanya keadilan di lembaga peradilan tempat untuk mencari keadilan.
Terjadi jual beli kasus yang dilakukan oleh tikus-tikus pengadilan baik itu dalam bentuk panitera, jaksa, maupun pengacara. Bahkan hakim pun ikut terlibat. Reformasi menuntut dibersihkannya lembaga peradilan kita dari tikus-tikus. Pertanyaannya bagaimana cara kita membunuh para tikus ini tanpa menghancurkan gudang kita?
Salah satu cara yang diharapakan berjalan efektif adalah dengan dilakukannya pembenahan MA. Hal ini karena MA adalah induk dari seluruh lembaga peradilan yang ada sebagaimana amanat amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang No 5/2004 tentang MA. Selain itu juga wewenang yang dimiliki oleh MA dalam hal pengadilan sangat besar.
MA berwenang memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan, sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Seiring dengan hal ini presiden dan KPK juga telah menjadikan MA sebagai pilot project dalam reformasi birokrasi.
MA terdiri dari ketua, dan hakim agung. Dengan demikian yang menjalankan MA adalah para hakim agung. Tugas para hakim agung ini semakin berat karena saat ini telah bertambah ruang lingkup tugas dan tanggung jawab MA antara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah MA.
Berdasar Pasal 1 Undang-undang No 5/2004 tentang MA, jumlah hakim agung paling banyak 60 orang. Realitanya saat ini jumlah keseluruhan hakim agung hanya 49 orang. Jumlah ini akan dikurangi lagi dengan adanya beberapa hakim agung yang memasuki masa pensiun. Setelah melalui kesepakatan antara MA dan Komisi Yudisial, ditentukan bakal dilakukan rekrutmen enam orang hakim agung.
Rekrutmen hakim baru ini tentunya menjadi angin segar untuk percepatan reformasi lembaga peradilan kita pada umumnya dan internal MA pada khususnya. Masuknya hakim agung yang baru ini dapat menjadi katalisator gerakan pembaruan. Pengangkatan hakim agung yang baru sebagai usaha untuk mereformasi institusi lembaga peradilan kita.
Harapan ini diberikan walau terkesan terlalu berlebihan. Namun kita beranggapan bahwa calon hakim agung yang baru ini adalah orang-orang yang masih suci dan belum terkontaminasi dari kebobrokan MA sebelumnya. Pada kenyataannya memang para calon hakim agung ini juga tidak benar-benar bersih, karena di antara mereka ada juga hakim karier yang masih aktif yang merupakan bagian dari sistem MA yang lalu.
Prosedur rekrutmen
Selama ini proses seleksi hakim agung ada di tangan MA. Berdasar Undang-Undang No 5/2004 tentang MA pasal 8, pencalonan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini juga sejalan dengan wewenang Komisi Yudisial yang diberikan oleh Undang-Undang No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Cara penyeleksiaan hakim agung saat ini adalah cara yang baru dan ini untuk pertama sekali dilakukan.
Penyeleksian hakim agung oleh Komisi Yudisial ini diharapkan dapat berjalan secara independen, bebas KKN, kredibel, dan berintegritas tinggi. Terobosan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam melakukan penjaringan calon hakim agung bagi saya cukup baik diiklankan di media cetak. Walau banyak pihak yang tidak setuju dengan cara ini termasuk ketua MA yang kemudian melarang hakim karier di pengadilan tinggi untuk ikut serta mendaftar sebagai calom hakim agung ke Komisi Yudisial.
Persyaratan untuk menjadi hakim agung yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang tentang MA yaitu pertama, persyaratan bagi hakim karir adalah : a) Warga negara Indonesia b) Bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa c) Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum d) Berusia sekurang-kurangnya 50 tahun e) Berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi.
Kedua, persyaratan untuk hakim nonkarier adalah: a) Memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam poin a,b,d,e di atas b) Berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun c) Berijazasah magister dalam ilmu hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum d) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Komisi Yudisial dalam melaksanakan seleksi para calon hakim yang mulanya berjumlah 126 orang menjadi 18 orang tidaklah mudah. Kalau hanya berdasarkan persyaratan yang disebutkan dalam undang-undang, tentu para calon yang telah mendaftarkan diri ini memenuhi persyaratan semua. Namun bagaimana Komisi Yudisial dapat memilih calon hakim agung yang benar-benar hakim agung yang agung.
Ada hal-hal yang perlu dilakukan Komisi Yudisial dalam menyeleksi calon hakim agung yaitu pertama memilih orang-orang yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk melakukan pembenahan dan perbaikan MA secara khusus dan lembaga peradilan secara umumnya. Kedua bagi hakim karier hendaknya Komisi Yudisial mempelajari track record para hakim ketika menjalankan tugas kedinasannya sebagai hakim. Bila para calon dari hakim nonkarier ini pernah memberikan putusan yang tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat, maka orang seperti ini tidak layak dicalonkan menjadi hakim agung.
Ketiga, keterlibatan masyarakat harus dibuka seluas-luasnya. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam memberi laporan tentang diri para calon hakim agung ini akan membantu Komisi Yudisial untuk mengetahui integritas dari para calon hakim agung ini.
Keempat, Komisi Yudisial harus meminta bantuan KPK untuk memeriksa kekayaan calon hakim agung. Dengan dilibatkannya KPK maka kita akan mengetahui seberapa besar kekayaan para calon hakim agung ini dan dari mana sumbernya.
Hakim agung adalah karier tertinggi dari para hakim. Di tengah keterpurukan sistem peradilan, kita mengharapkan hakim agung yang baru nantinya benar-benar hakim yang agung yang memiliki kepribadian dan integritas yang tidak mudah tergoda.
Mutammimul'Ula, Anggota DPR RI Komisi III Fraksi PKS
Tulisan ini disalin dari Republika, Rabu, 17 Mei 2006