Menanti Aksi Tim Pemburu

Memburu koruptor di luar negeri tentu tak semudah menangkap maling motor. Aksi mereka mungkin tak segagah gaya polisi menangkap bandar toto gelap (togel) dalam tayangan kriminal di televisi. Tak ada aksi bentak-bentak, tak ada aksi main tonjok, dan tak ada aksi dar-der-dor dari pucuk pistol. Memburu koruptor butuh cara elegan, cerdas, dan bermartabat. Apalagi para pengembat uang rakyat ini sering menjadi warga terhormat di negeri orang. Tentu bermacam kesulitan bakal menghadang.

Kesulitan ini sudah dirasakan Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar tak lama setelah tim terpadu terbentuk awal Februari lalu. Tim ini merupakan gabungan empat institusi, yakni Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Direktorat Jenderal Imigrasi, serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Basrief M. Arief ditunjuk sebagai ketua dan Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Irjen Dadang Garnida sebagai wakil. Markas tim ini di salah satu ruang di kantor Kejaksaan Agung.

Tim terpadu punya beban berat. Pemerintah mentargetkan 13 tersangka tindak pidana korupsi bisa dipulangkan ke Indonesia. Tak lupa triliunan rupiah yang mereka jarah bisa ditarik kembali dan masuk kas negara. Masalahnya, tidak semua negara punya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, kata Da'i Bachtiar. Tak aneh jika Kepala Polri tidak berani memasang target waktu. Meski begitu, bukan berarti tim pimpinan Basrief ini tak segera bekerja.

Langkah awal yang dilakukan tak lain dari mengumpulkan data para buron negara. Enam terdakwa yang telah divonis pengadilan menjadi target awal. Selain itu, tujuh tersangka kasus pelarian uang negara masuk daftar perburuan awal. Pendataan ini termasuk keberadaan mereka dan aset yang berserakan di luar negeri. Kami akan bekerja secara insentif meski belum ada target waktu, kata Dadang Garnida.

Hasil pendataan itu akan dijadikan pijakan awal melacak mereka. Untuk itu, tim terpadu akan melakukan koordinasi dengan negara-negara penampung koruptor. Termasuk negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi. Kami masih mempelajari cara selain ekstradisi, katanya.

Meski memberi harapan, pembentukan tim ini dinilai sangat terlambat. Terutama untuk mengejar kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi pada 1997-1998. Bisa jadi uang jarahan itu sudah berpindah tangan atau jauh berkurang dari penilaian pemerintah, bahkan tak tertutup kemungkinan telah raib sama sekali. Karena kejadiannya sudah lama sekali, kata Koordinator Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi Romli Atmasasmita.

Sukses-tidaknya tim ini sangat bergantung pada lobi diplomatik dengan negara-negara penampung buron pemerintah Indonesia. Karena itu, Romli menyayangkan tim ini tidak dipimpin langsung oleh Departemen Luar Negeri. Menurut guru besar hukum Universitas Padjadjaran Bandung ini, peran Departemen Luar Negeri untuk urusan penegakan hukum ke luar negeri sangat penting. Supaya mereka juga ikut bertanggung jawab, katanya.

Jika tim pemburu koruptor ini dipimpin langsung Departemen Luar Negeri, akan mudah kerja samanya dengan Kejaksaan Agung dan kepolisian. Bila Departemen Luar Negeri melobi ke negara-negara penampung itu, kepolisian dan Kejaksaan Agung bisa menyiapkan perangkat hukum dan bukti-bukti untuk mengekstradisi mereka.

Dia juga mengingatkan agar pemerintah mengkaji biaya pengejaran para buron itu. Bila biayanya tidak sebanding dengan aset yang bisa ditarik kembali, sebaiknya niat itu diurungkan saja. Romli mengingatkan biaya pengejaran Hendra Rahardja yang lebih besar dibanding harta yang bisa ditarik kembali. Kalau seperti itu, secara finansial negara mendapat apa? katanya. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Luky Djani juga mengingatkan bahwa pengejaran koruptor ini butuh waktu lama dan perjuangan panjang.

Ia mencontohkan perburuan pemerintah Filipina untuk mendapatkan kembali harta kekayaan bekas presiden Ferdinand Marcos. Waktu yang dibutuhkan tak singkat: 15 tahun. Pemerintah Filipina membentuk satu unit khusus di bawah presiden yang menelusuri harta kekayaannya satu per satu dari perusahaan milik Marcos di luar negeri.

Meski kendala menghadang di depan tim terpadu, janji kerja keras rupanya mulai mereka tunjukkan. Salah satu perkembangan positifnya, tim ini telah membentuk satuan tugas pemburu aset tersangka korupsi. Singapura juga sudah membuat satuan tugas serupa, kata Basrief. Soal sukses atau tidak, biarkan waktu yang menjawabnya. erwin dariyansyah/istiwomatul hayati/edy can/arif f

Sumber: Koran Tempo, 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan