Menangkal Korupsi Dana Desa

Operasi tangkap tangan korupsi dana desa di Pamekasan, Jawa Timur, melibatkan serentak kepala desa, inspektorat daerah, kepala kejaksaan negeri, dan bupati (Kompas, 3/8). Sangkaan korupsi Rp 100 juta membengkak menjadi suap Rp 250 juta.
 
Ironi korupsi sistemis memberi pelajaran, tidak pernah cukup menyalahkan satu pihak, tetapi perlu memperbaiki keseluruhan sistem keuangan desa. Terbawa arus sistemis, niscaya satu kesalahan menggelindingkan bola salju kerugian raksasa.
 
Sistem korupsi desa
 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan empat kelemahan pencetus korupsi dana desa, yaitu regulasi, pelaksanaan, pengawasan, dan kapasitas perangkat desa. Operasi tangkap tangan (OTT) di Pamekasan membuktikan tiga pencetus terakhir di lapangan, sekaligus mengindikasikan keruwetan regulasi sebagai penyebab prima.
 
Janji penyederhanaan laporan dana desa ”hanya dua lembar” tidak pernah terwujud sekalipun tercantum dalam SKB Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan, akhir 2015. Sebaliknya, kumulasi regulasi ketiga kementerian menggandakan jumlah dan tahapan pelaporan, bahkan mengubah struktur akuntansinya.
 
Meski sejak 2015 risiko kerumitan laporan menghambat dana desa, tak ada pelatihan pelaporan pertanggungjawaban bagi perangkat desa. Pelatihan gigantik Kemendagri berkutat pada perencanaan awal kegiatan dan penganggaran sesuai peraturan Mendagri. Pelatihan pelaporan akhir ditinggalkan lantaran mengacu peraturan Menkeu.
 
Tata laksana pembangunan menjadi domain Kementerian Desa PDTT. Walaupun sporadis melatih perangkat desa, tetapi tidak terfokus pada administrasi sebagai bukti pendukung kegiatan. Tanpa menitikberatkan pelatihan syarat-syarat dokumen sesuai peraturan Menkeu, pendamping desa pun kerap gamang memastikan kelengkapan dan keabsahan administrasi pembangunan desa.
 
Alhasil, transparansi anggaran sudah terpampang di pinggir jalan dan situs desa. Namun, terlalu jarang mendapati akuntabilitas pelaksanaan kegiatan ataupun laporan pertanggungjawaban dana desa. Apalagi format laporan terbaru mencampur sumber pendanaan lantaran terfokus pada rincian kegiatan bidang pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan pembinaan kemasyarakatan. Permintaan laporan khusus dana desa berarti tindakan ekstra memecah laporan desa sehingga berpeluang salah penghitungan.
 
Menekan pemda
Hampa dukungan pemerintah pusat dalam memadukan regulasi keuangan desa dan pelatihan khusus pelaporan keuangan, maka segenap tata laksana, pengawasan, dan kapasitas desa jadi beban pemerintah daerah. Sejak 2016 pemda tidak bisa mengelak lagi lantaran kinerja buruk dana desa langsung dihukum dengan pengurangan dana alokasi umum (DAU) dari pusat.
 
Apalagi, kini dipersepsi pemerintah pusat gemar menggunting celah anggaran. Padahal, DAU mendominasi keuangan pemda, dan proporsinya membesar pada daerah miskin. Bupati disalahkan kala DAU merosot, dan kedudukannya langsung diincar legislatif.
 
Dalam berbagai peraturan menteri, pemda wajib menelaah tiap dokumen keuangan dan pembangunan desa. Itu mencakup RPJM Desa pasca-pemilihan kepala desa. Secara rutin, pada Januari ditelaah Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa dan pertanggungjawaban dana desa tahun lalu. Pada Maret disortir lagi laporan dana desa, diikuti usulan distribusi baru. Pada Mei pencairan dana desa dicek sesuai peraturan bupati. Pada Juli ditelaah laporan pertama dana desa serta rencana kerja pemerintah desa tahun depan. Pada Agustus pengecekan pencairan dana desa tahap akhir. Pada Desember ditelaah laporan final dana desa.
 
Kenyataannya bukan sekadar telaah dokumen, pemda turut membantu desa yang gagal menyusun laporan berikut lampiran administrasi pendukung. Dana desa menambah pertanggungjawaban pemda dari 20-an dinas menjadi 70-an hingga lebih dari 350 laporan lembaga.
 
Bantuan perbaikan laporan dilakukan dinas pemberdayaan masyarakat dan lazim melibatkan pengawas inspektorat daerah. Alasannya, inspektorat lebih memahami tata cara yang diinginkan BPKP, BPK, dan Kemenkeu.
 
Penangkal sistemis
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) telah berinisiatif menyederhanakan pelelangan kegiatan tingkat desa sejak 2015. Namun, merujuk anjuran pemerintah pusat, peraturan bupati tentang dana desa mengarahkan metode swakelola pembangunan. Akibatnya, pelaporan menjadi rumit kembali, dan desa harus menyediakan barang/jasa terlebih dahulu.
 
Pokok penangkal korupsi desa secara sistemis ialah kepaduan regulasi pusat. Sebanyak 19 peraturan mendagri, 12 peraturan menteri desa PDTT, 2 peraturan menkeu sebaiknya dilebur. Mulai sekarang, regulasi desa paling tepat berupa peraturan menteri bersama (PMB) dari ketiga kementerian dan bisa ditambah kementerian serta lembaga lain.
 
Mendesak pula menjalankan pelatihan pengadministrasian pelaksanaan kegiatan dan pelaporan hasil. Akuntansi khusus yang sederhana bagi desa harus ditetapkan untuk pola swakelola ataupun pelelangan.
 
Wajib pula menentukan gaji perangkat desa, termasuk ketua RT dan RW. Meski sudah diatur di UU No 6/2014 tentang Desa, kenyataannya penghasilan mereka tak menentu. Bahkan, edaran terbaru menghapus penghasilan tetap kepala desa juga ketua RT dan RW dari alokasi dana desa. Kini rata-rata honor perangkat desa Rp 1,6 juta/bulan. Penghasilan tak tetap dan kecil ini bermakna menyilakan mengorupsi desa. Maka, penghasilan seluruh perangkat desa (termasuk hansip dan tenaga lepas) sebaiknya ditetapkan minimal 1,5 kali upah minimum setempat.
 
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN IPB
---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Menangkal Korupsi Dana Desa".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan